Mohon tunggu...
Dikdik Sadikin
Dikdik Sadikin Mohon Tunggu... Akuntan yang Penulis

Dikdik Sadikin. Kelahiran Jakarta, berdomisili di Bogor, memiliki karir di birokrasi selama sekitar 38 tahun. Menulis menjadi salah satu hobby mengisi waktu luang, selain menggambar karikatur. Sejak SMP (1977), Dikdik sudah menulis dan dimuat pertama di majalah Kawanku. Beberapa cerpen fiksi dan tulisan opininya pernah dimuat di beberapa antologi cerpen, juga di media massa, antara lain tabloid Kontan dan Kompas. Dikdik Sadikin juga pernah menjadi pemimpin redaksi dan pemimpin umum pada majalah Warta Pengawasan pada periode 1999 s.d. 2002. Sebagai penulis, Dikdik juga tergabung sebagai anggota Satupena DKI. Latar belakang pendidikan suami dari Leika Mutiara Jamilah ini adalah Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (lulus 1994) dan Magister Administrasi Publik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (lulus 2006).

Selanjutnya

Tutup

Financial

Emas, Kecemasan, dan Investasi Orang Biasa

18 April 2025   08:24 Diperbarui: 18 April 2025   10:07 520
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menabung emas. (Ilustrasi: DALL-E)

Emas, Kecemasan, dan Investasi dari Orang Biasa

Oleh Dikdik Sadikin

"Semua emas di dunia tidak dapat membeli kembali satu saat waktu yang hilang" - Napoleon Bonaparte ("Napoleon's Maxims of War", 1831)

UNGKAPAN Napoleon itu menekankan nilai waktu yang tak ternilai disandingkan dengan nilai emas. Waktu, sekali berlalu, tidak dapat dihentikan atau diputar kembali, sehingga segala kekayaan di dunia, emas sekali pun, tidak dapat menggantikannya.

Namun emas dan waktu adalah dua hal yang saling berkait. Ketika seseorang menabung emas, ia sedang mencoba menyelamatkan nilai dari waktu yang terus menggilas kehidupannya. Dengan menyimpan emas, ia mencoba memanfaatkan waktunya dengan bijak. Ia sedang berusaha menyelamatkan hidupnya. Emas dapat disimpan, ditimbang, dijual, dan diwariskan.

Kini orang berbondong-bondong membeli emas. Bukan karena mendadak mencintai kilau logam mulia. Tetapi karena sesuatu yang lebih dalam: kecemasan. Ketakutan akan nilai uang yang tergerus inflasi seiring waktu. Kekhawatiran pada rupiah yang semakin lunglai terhadap dolar, dan kegamangan menghadapi masa depan yang tak pernah bisa diprediksi.

Pekan lalu, di sebuah warung kopi di daerah Cimahpar, Bogor, saya mendengar seorang tukang ojek online berkata kepada kawannya, "Sekarang mah beli emas aja, Bang. Gak kayak duit, makin lama makin turun harganya. Emas mah, makin disimpen makin cakep."

Kawan yang diajak bicara mengangguk pelan, sembari menyeruput kopi tubruk. "Iya, saya juga udah buka di Pegadaian Syariah. Nabung 0,05 gram per bulan. Pelan-pelan lah, yang penting jalan."

Obrolan sederhana itu lebih jujur dari seminar mana pun. Emas, bagi mereka, bukan sekadar investasi. Ia semacam baju zirah ekonomi. Semacam doa tak bersuara di tengah harga beras yang terus melambung dan harga gas elpiji yang diam-diam mendaki.

Harga emas memang terus meroket, menembus rekor demi rekor. Bank-bank sentral dunia menimbun emas layaknya bangsa Mesir kuno memuja piramida. Tapi apakah emas adalah satu-satunya jalan?

Saya ingin bercerita sedikit. Bukan sebagai pakar, melainkan penulis biasa. Saya, seperti warga di sekitar Cibinong, pernah tergoda janji manis deposito. Tertarik cuan cepat saham gorengan, dan bahkan nyaris tertipu platform investasi abal-abal yang konon menjanjikan "syariah dengan hasil pasti".

Kini saya mulai tenang. Sebab, dengan emas, saya mulai belajar menyusun panduan investasi pribadi, berdasarkan pengalaman, bukan promosi. Begini:

  1. Kenali Tujuan, Bukan Tren

Di Pasar Anyar Bogor, saya bertemu seorang ibu penjual kerudung yang bilang, "Saya nabung emas buat kuliah anak." Tujuannya jelas. Maka emas masuk akal. Tapi untuk modal usaha cepat, mungkin reksadana pasar uang lebih cocok.

2. Mulai dari yang Sederhana dan Terukur

Warga di pinggiran Bojonggede yang saya temui di forum RT mulai menabung lewat aplikasi resmi seperti e-mas dan Pluang. Ada yang beli 0,01 gram tiap Jumat. Sedikit, tapi konsisten.

3. Diversifikasi adalah Benteng Emosional

Seorang pensiunan guru di Perumahan Yasmin berkata, "Saya simpan sebagian di emas, sebagian di ORI, dan sisanya tetap saya pegang cash." Itu bukan cuma soal teknis. Itu bentuk kewarasan menghadapi ketidakpastian.

4. Jangan Lupakan Dana Darurat dan Asuransi

Banyak warga yang sempat menjual emas mendadak karena anak sakit atau butuh dana darurat. Maka urusan darurat harus ditata dulu sebelum bicara investasi.

5. Jauhkan Diri dari Janji Manis dan Investasi Abal-Abal. 

Beberapa waktu lalu, di grup WA RT, beredar ajakan ikut arisan online yang katanya berbasis "investasi koperasi digital." Setor Rp500 ribu, dijanjikan balik Rp1 juta dalam dua minggu. Banyak yang tergiur, termasuk Bu Ijah yang biasanya jual gorengan di ujung gang. Awalnya lancar, tapi setelah dua putaran, admin grup tiba-tiba hilang, uang pun hilang. "Katanya buat modal ternak kambing di kampungnya," keluh Pak RT sambil geleng-geleng.

Padahal, investasi yang membumi dan masuk akal bagi warga biasa, justru yang paling sederhana:

  • Nabung emas lewat Pegadaian Syariah
  • Beli tabungan emas melalui aplikasi resmi BUMN
  • Atau ikut Sukuk Tabungan dari pemerintah saat masa penawaran dibuka, yang bisa dibeli mulai dari Rp1 juta

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun