Penjurusan Pendidikan: Antara Paulo Freire, Ki Hajar Dewantara, dan Indonesia Emas
Oleh Dikdik Sadikin
Merujuk pada pemikiran Paulo Freire dan Ki Hajar Dewantara, bagaimana kita melihat penjurusan dalam konteks arah pembangunan Indonesia Emas 2045?
SEORANG ayah di pinggiran Bogor menghela napas panjang. Anak perempuannya pulang sekolah, bertanya dengan wajah gusar. "Ayah, katanya dulu aku boleh pilih pelajaran sesuai minat, sekarang katanya harus pilih jurusan? IPA, IPS, atau Bahasa. Katanya biar lebih jelas..."Â
Anak itu baru kelas X, dan belum yakin apakah ia ingin menjadi peneliti, penulis, atau justru desainer. Ia belum selesai mengenal dirinya, tetapi negara telah memberinya peta, dengan rambu-rambu yang hanya menunjuk tiga arah.
Saya jadi teringat Paulo Freire (1921--1997), seorang pendidik dan filsuf asal Brasil. Ia dikenal luas sebagai salah satu pemikir pendidikan paling berpengaruh pada abad ke-20. Freire percaya bahwa pendidikan bukan soal mengisi kepala murid dengan isi buku. Pendidikan adalah soal membangkitkan kesadaran akan dunia dan diri sang murid sendiri.Â
Pendidikan, kata Freire, seharusnya menyalakan api, bukan menuangkan air. Tetapi di negeri ini, kita terbiasa membangun labirin sistem lalu memasukkannya dengan murid-murid. Seakan-akan anak-anak adalah wadah-wadah kosong yang bisa ditentukan takdirnya melalui jalur IPA, IPS, atau Bahasa.
Freire menyebut itu sebagai "pendidikan perbankan", sebuah istilah yang ia perkenalkan dalam bukunya "Pedagogy of the Oppressed" (1968, versi Inggris 1970). Dalam "pendidikan perbankan", guru berperan sebagai "penyetor" yang menyalurkan pengetahuan ke dalam "rekening siswa". Tanpa dialog, tanpa interaksi, tanpa pemikiran kritis. Maka di situ Freire menawarkan alternatif: pendidikan dialogis, di mana guru bukan pemberi, dan murid bukan penerima. Tetapi keduanya bersama-sama menciptakan makna.
Lalu saya ingat Ki Hajar Dewantara  (1889 - 1959). Bapak pendidikan kita ini menekankan bahwa mendidik adalah "menuntun segala kodrat anak agar mereka dapat hidup sebagai manusia dan anggota masyarakat yang bahagia." Bukan memilihkan jalan, melainkan mendampingi murid menemukan jalan itu sendiri.
Namun kini, setelah sempat menjanjikan kebebasan melalui Kurikulum Merdeka, pemerintah kembali ke sistem penjurusan. Tahun ajaran 2025/2026 akan kembali mengenal IPA, IPS, dan Bahasa sebagai jalan yang dipetakan bagi siswa SMA. Konon, agar lebih selaras dengan sistem seleksi perguruan tinggi. Katanya, agar tidak bingung. Tapi benarkah kebingungan itu ada pada siswa? Atau pada sistem yang tak siap mengelola kebebasan?
Seorang guru BK di Cibinong mengeluh: "Baru kami terbiasa dampingi siswa memilih lintas minat, sekarang disuruh lagi kembali ke jurusan. Padahal anak-anak sudah belajar membuat kombinasi sesuai cita-cita mereka."