Surat Cinta untuk Ramadan Tahun Depan
Oleh Dikdik Sadikin
Kepada yang hanya datang sekali dalam setahun,
tapi menetap lama dalam ingatan:
Ramadan.
Aku menuliskan surat ini dengan hati yang ragu, seperti orang yang menulis pada kekasihnya yang melambai pergi dan belum tentu datang kembali. Bukan karena tak ingin, tapi karena usia kadang tak memberi janji.
Ramadanku sayang,
Setiap tahun kau datang, engkau membawa pelukan yang tak kasat mata, namun terasa nyata di dada. Engkau menenangkan hati yang letih, dan menaburkan embun pada jiwa yang gersang.Â
Kau ajarkan aku tentang sabar. Bukan sekadar menahan lapar, tapi kesanggupan menahan diri dari keluh dan keluh kesah. Tentang syukur yang hadir dalam tiap teguk air selepas Adzan Magrib, dan tentang ikhlas, dalam sujud yang tak perlu dilihat siapa pun.
Kau perkenalkan aku pada sunyi yang sarat makna. Pada malam-malam yang lebih berharga dari seribu bulan. Pada sepi yang ternyata bisa berdzikir.
Namun, Ramadan, izinkan aku bertanya: apakah aku telah menjadi tuan rumah yang baik untukmu? Apakah hatiku cukup bersih untuk menyambut dan menjalani hari-harimu, ataukah masih ada noda-noda dunia yang menghalangi cahaya keberkahanmu?
Karena kurasakan Ramadan kemarin sedikit berbeda. Barangkali karena engkau memulainya 1 Maret 2025, bertepatan dengan 1 Ramadan 1446 H, bertepatan pula aku yang resmi memasuki masa pensiun. Semakin mengingatkanku bahwa semua kemewahan di dunia, termasuk jabatan, hanyalah titipan yang sewaktu akan dicabut kembali.Â
Namun, di saat itu, aku justru dapat fokus padamu, Ramadan. Â Tidak ada lagi agenda kantor yang mengejar-ngejar, tak ada lagi rutinitas yang mendesak-desak. Waktu kini bukan milik pekerjaan, melainkan milik ibadah, milik tulisan-tulisan yang selama ini tersembunyi dalam draf-draf di ruang penantian. Dan, yang paling penting, milik keluarga.