Di Cianjur, di jalan yang sempit dan sesekali macet itu, rasa rindu itu berkumpul dalam satu arus panjang. Setiap klakson yang berbunyi di antara kendaraan adalah isyarat bahwa orang-orang sedang berusaha pulang: bukan sekadar ke rumah, tapi ke tempat di mana hati mereka benar-benar merasa diterima.
MUDIK selalu membawa perasaan ganjil: rindu dan gelisah yang bersisian di jalur panjang menuju rumah. Jalanan yang bersisian dengan sawah hijau dan jembatan yang melintasi sungai tua menjadi saksi bagi ribuan roda yang berputar, mengantar langkah-langkah pulang. Tahun ini, Cianjur bersiap menyambut arus mudik dengan segala dinamika dan tantangannya.
Sebagai seseorang yang lahir dan besar di Jakarta dan kini berdomisili di Bogor, mudik ke Cianjur bagi saya bukanlah pengalaman pribadi sejak kecil. Cianjur selama itu hanya lintasan yang jarang disinggahi, kecuali untuk sekadar istirahat ngopi dalam perjalanan Jakarta-Bandung. Namun, sejak menikah dengan istri saya, yang lahir dan besar di Cianjur, daerah ini kemudian menjadi bagian dari perjalanan mudik setiap Lebaran.Â
Sebagai daerah lintasan utama dari Jakarta menuju Bandung, Cianjur tak pernah benar-benar sepi, terutama menjelang Lebaran. Jalan Dokter Muwardi, yang menjadi urat nadi penghubung utama, sudah mulai dipadati kendaraan sejak pekan kedua Ramadan.Â
Di tengah dinginnya udara khas Cianjur, antrean panjang mobil dan motor mengular, klakson bersahutan, sementara di pinggir jalan, penjual keliling memanfaatkan kemacetan itu dengan menawarkan gemblong, tahu goreng hangat, jagung rebus, dan kacang rebus.Â
Pemerintah daerah telah melakukan berbagai upaya untuk memastikan arus mudik berjalan lancar. Dinas Perhubungan dan kepolisian telah menyiapkan rekayasa lalu lintas untuk mengurai kemacetan di Jalan Dokter Muwardi dan jalur-jalur utama lainnya. Posko-posko mudik didirikan di beberapa titik strategis, termasuk di dekat Alun-Alun Cianjur dan Terminal Rawabango. Di pos itu, petugas siaga 24 jam, lengkap dengan ambulans dan tenaga medis untuk menghadapi segala kemungkinan.
Di pusat kota, terutama di sekitar Masjid Agung Cianjur, arus lalu lintas semakin padat mendekati Idulfitri. Masjid Agung, yang berdiri megah di tengah alun-alun, selalu menjadi pusat kegiatan keagamaan dan sosial.Â
Di Jalan Otista 1 Cianjur, tradisi pengajian rutin setiap Kamis dan Minggu pagi, yang dulu dipimpin oleh Ajengan Elim (Kyai Haji R. Abdul Halim), terus digelar diiringi Pasar Kaget "Kemisan". Â
Pasar kaget itu benar-benar secara kaget atau mendadak mengubah jalan Otista 1 menjadi sebuah pasar, sejak pagi sampai dengan siangnya. Namun saat Dzuhur tiba, jalan itu sungguh telah bersih kembali.Â
Tradisi ini, baik pengajian Ajengan Elim maupun pasar kaget yang mengiringinya, tetap berlanjut meski Ajengan Elim telah berpulang pada Februari 2025 lalu. Kini, puteranya melanjutkan tradisi tersebut, meneruskan jejak sang guru sekaligus ayahandanya.
Namun, suasana Cianjur saat mudik bukan hanya soal kemacetan dan kepadatan, tetapi juga tentang kehangatan tradisi dan kenangan.Â