Mohon tunggu...
Dikdik Sadikin
Dikdik Sadikin Mohon Tunggu... Akuntan yang Penulis

Dikdik Sadikin. Kelahiran Jakarta, berdomisili di Bogor, memiliki karir di birokrasi selama sekitar 38 tahun. Menulis menjadi salah satu hobby mengisi waktu luang, selain menggambar karikatur. Sejak SMP (1977), Dikdik sudah menulis dan dimuat pertama di majalah Kawanku. Beberapa cerpen fiksi dan tulisan opininya pernah dimuat di beberapa antologi cerpen, juga di media massa, antara lain tabloid Kontan dan Kompas. Dikdik Sadikin juga pernah menjadi pemimpin redaksi dan pemimpin umum pada majalah Warta Pengawasan pada periode 1999 s.d. 2002. Sebagai penulis, Dikdik juga tergabung sebagai anggota Satupena DKI. Latar belakang pendidikan suami dari Leika Mutiara Jamilah ini adalah Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (lulus 1994) dan Magister Administrasi Publik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (lulus 2006).

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Ramadan Hemat, Dompet Sehat, Ibadah Selamat

15 Maret 2025   05:45 Diperbarui: 15 Maret 2025   07:22 299
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Warga ngobrol di dekat mushola soal belanja Ramadan. (Ilustrasi: Image Creator Microsoft Bing)

Ramadan Hemat, Dompet Sehat, Ibadah Selamat

Oleh Dikdik Sadikin

Ramadan adalah saatnya menahan diri. Apabila kita justru makan berlebih, belanja berlebih, lantas saat lebaran malah mencari pinjaman karena kehabisan uang, itu artinya kita gagal memahami makna Ramadan.

RAMADAN adalah bulan pengendalian diri. Menahan lapar, haus, dan hawa nafsu. Tapi di luar sekadar haus dan lapar, ada hawa nafsu lain yang sering kali luput kita kendalikan: nafsu belanja. 

Ironi Ramadan sering kali terletak di meja makan dan keranjang belanja. Di satu sisi, kita berpuasa untuk menundukkan diri dari godaan dunia. Di sisi lain, meja iftar kita justru penuh dengan sajian yang melimpah, sering kali lebih banyak daripada kebutuhan kita.

Kondisi demikian begitu terasa pada percakapan warga di sebuah gang kecil di Bogor, menjelang waktu berbuka. Beberapa warga duduk di bangku panjang dekat musala, sambil menikmati udara sore yang sejuk. Percakapan ringan di antara mereka menggambarkan bagaimana Ramadan yang seharusnya menjadi bulan pengendalian diri, justru berubah menjadi ajang konsumsi berlebihan.

"Wah, lihat tuh! Antrian di tukang kolak udah ngular kayak ular tangga. Harganya juga makin mahal, ya?" ujar Asep sambil menatap ke arah penjual kolak di ujung gang.

Jaka yang duduk di sebelahnya ikut mengangguk. "Iya, Sep. Ramadan baru jalan seminggu, dompet udah mulai tipis. Padahal baru belanja ke pasar dua hari yang lalu, tapi kayaknya abis di takjil dan kue-kuean."

Bu Ratna yang duduk di bangku dekat mereka menimpali, "Itu karena kalian nggak bisa nahan diri! Ramadan itu kan soal pengendalian. Bukan cuma nahan lapar dan haus, tapi juga nahan nafsu belanja."

"Tapi, Bu, godaan di mana-mana," keluh Asep sambil tertawa kecil. "Jalan dikit, tukang gorengan, tukang es buah, tukang lontong sayur... Eh, pas pulang dari musala malah ketemu tukang martabak."

Bu Ratna menghela napas. "Itulah! Makanya, Ramadan itu bukan cuma soal nggak makan dan minum. Tapi juga belajar hidup sederhana. Kalau nggak bisa nahan belanja, gimana mau belajar nahan hawa nafsu yang lain?"

Apa yang dikatakan Bu Ratna benar. Peningkatan konsumsi ini bisa jadi paradoks dalam konteks spiritualitas Ramadan. 

Kita diajarkan untuk merasakan lapar dan haus, untuk memahami penderitaan mereka yang kekurangan. Tapi realitas di lapangan menunjukkan hal sebaliknya: pasar menjadi semakin ramai, permintaan meningkat, harga-harga melambung. Pedagang menyebutnya "rezeki Ramadan," sementara konsumen menyebutnya "tradisi." Namun, di balik euforia itu, berapa banyak makanan yang akhirnya terbuang percuma?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun