Anak-Anak yang Tersingkir
Oleh Dikdik SadikinÂ
ANGIN MALAM mengibas dedaunan di trotoar yang retak. Lampu jalan berkedip-kedip, seperti mata tua yang enggan tidur. Di bawahnya, anak-anak itu berkumpul, menyalakan korek api bekas yang mereka temukan di selokan. Nyala kecil itu menyala sebentar, lalu mati tertiup angin.
Di antara mereka ada Asep, delapan tahun, mengenakan kaus lusuh dengan logo klub sepak bola yang warnanya sudah pudar. Ia menggenggam botol plastik kosong, menunggu penuh sebelum dijual ke pengepul di gang sebelah pasar.Â
Ada juga Rina, sebelas tahun, yang menjajakan gorengan dengan suara yang lebih serak dari ibunya sendiri---mungkin karena terlalu sering berteriak di jalan.
Mereka adalah anak-anak yang tumbuh tanpa taman bermain, tanpa ruang belajar. Rumah mereka, jika bisa disebut rumah, berdiri di tepian kota yang terus bergeser. Tiang-tiang beton menjulang di atas atap seng mereka, bayangan apartemen mewah menutup cahaya matahari. Setiap hari, suara mesin bor dan palu menjadi latar belakang hidup mereka.
"Besok tanah ini katanya mau dipagar," ujar Joko, yang lebih tua dari mereka. Tangannya menggenggam lem perekat yang baru saja dibeli dengan recehan.
"Kita bakal dipindahin ke tempat lain."
Rina hanya diam. Ibunya sudah dua kali dipanggil petugas kota untuk menandatangani surat penggusuran. Tapi ke mana mereka harus pergi? Tak ada saudara di desa, tak ada uang untuk menyewa kamar di tempat yang lebih layak.
Sementara itu, dari lantai tertinggi apartemen yang baru dibangun, lampu-lampu bersinar seperti bintang yang tak terjangkau. Orang-orang di dalamnya mungkin sedang menyeruput kopi dari cangkir keramik mahal, tak menyadari di bawah sana, di lorong-lorong sempit, anak-anak sedang bernegosiasi dengan nasib.
Asep menendang batu kecil di trotoar. Ia ingin menjadi pemain sepak bola, katanya suatu kali. Tapi lapangan tempat ia biasa bermain kini telah berubah menjadi pusat perbelanjaan.