Gratis, Tapi Berharga: Mengapa Kita Enggan?Â
Oleh Dikdik Sadikin
SEORANG senior saya, Â jabatannya tinggi, tetapi memiliki kebiasaan yang orang lain pikir barangkali "unik". Ia kerap menyapa orang-orang yang dijumpainya dengan sebutan "Bos." Panggilan itu bukan saja ditujukan kepada pimpinannya, atau koleganya, tetapi juga staf-staf di bawahnya, bahkan office boy dan satpam. Ketika ditanya alasannya, ia menjawab dengan sederhana, "Mengapa tidak? Untuk apa kita ragu atau segan mengucapkan itu. Toh gratis. Tapi dengan itu kita bisa menyenangkan orang lain. Dampaknya pada kehangatan hubungan luar biasa loh, dan tidak melanggar aturan."
Saya pikir, iya juga. Di sebuah dunia yang semakin dipenuhi hiruk-pikuk, kita sering kali lupa bahwa ada hal-hal yang tak memerlukan biaya, namun mampu mengubah suasana, mempererat hubungan, bahkan mendatangkan kebahagiaan. Senyum, sapa, dan pujian yang tulus adalah di antara keajaiban itu. Tetapi anehnya, meskipun gratis, banyak orang enggan melakukannya. Barangkali gengsi, barangkali tak tahu manfaatnya.
Oscar Wilde pernah berkata, "Ada banyak cara membuat dunia ini lebih baik, dan salah satunya adalah dengan senyuman." Senyum bukan sekadar gerakan bibir, ia adalah pesan bahwa kita hadir dengan keramahan. Sapa bukan sekadar kata-kata, ia adalah jembatan yang menghubungkan satu manusia dengan manusia lainnya. Dan pujian, jika diberikan dengan proporsi yang tepat, adalah bahan bakar bagi semangat.
Namun, mengapa banyak yang malas menyapa, pelit tersenyum, atau enggan mengucapkan pujian yang layak? Mungkin karena merasa tak perlu. Mungkin pula karena dunia telah mengajarkan bahwa ketulusan adalah sesuatu yang mahal. Padahal, kita melihat keakraban bisa terjalin hanya dengan panggilan sederhana: "Bos," "Bang," "Kang," atau "Bro." Ada kehangatan di sana, ada penghormatan yang tanpa pretensi.
Juga, tidak perlu biaya untuk mengucapkan kata-kata ajaib: "maaf," "terima kasih," "tolong," dan "permisi." Tetapi sering kali, ego menghalangi kita untuk mengatakannya. Kita lebih senang diam daripada mengakui kesalahan. Lebih suka menganggap bantuan sebagai kewajiban orang lain daripada mengapresiasinya. Lebih memilih memerintah tanpa menambahkan "tolong." Seperti kata Dale Carnegie, "Orang akan melupakan apa yang kita katakan, tetapi mereka tidak akan melupakan bagaimana kita membuat mereka merasa."
Dan yang lebih mengejutkan, kebaikan-kebaikan kecil itu berdampak langsung pada diri kita sendiri. Ilmu kedokteran telah membuktikan bahwa tersenyum memicu pelepasan endorfin—hormon kebahagiaan—yang mengurangi stres dan meningkatkan kesehatan. Menyapa orang lain dengan tulus memperkuat hubungan sosial dan, dalam jangka panjang, memberi kita rasa memiliki.
Tapi, jika semua ini benar, mengapa masih banyak yang enggan? Mungkin, karena dalam masyarakat yang terburu-buru, kita lupa bahwa ada hal-hal yang lebih berharga daripada sekadar sibuk. Mungkin, karena kita lebih memilih kesan superioritas daripada membangun kehangatan. Atau mungkin, karena kita takut terlihat lemah saat menunjukkan kebaikan.
Padahal, di antara kesibukan yang mendera, di antara ambisi yang menggerus waktu, ada satu hal yang seharusnya tak kita lupakan: menjadi manusia yang saling menghargai. Dan terkadang, penghargaan itu bisa dimulai dari sesuatu yang sederhana: sebuah senyuman, sapaan hangat, atau sekadar ucapan terima kasih yang tulus.
Jakarta, 21 Februari 2025