Mohon tunggu...
Dikdik Sadikin
Dikdik Sadikin Mohon Tunggu... Akuntan yang Penulis

Dikdik Sadikin. Kelahiran Jakarta, berdomisili di Bogor, memiliki karir di birokrasi selama sekitar 38 tahun. Menulis menjadi salah satu hobby mengisi waktu luang, selain menggambar karikatur. Sejak SMP (1977), Dikdik sudah menulis dan dimuat pertama di majalah Kawanku. Beberapa cerpen fiksi dan tulisan opininya pernah dimuat di beberapa antologi cerpen, juga di media massa, antara lain tabloid Kontan dan Kompas. Dikdik Sadikin juga pernah menjadi pemimpin redaksi dan pemimpin umum pada majalah Warta Pengawasan pada periode 1999 s.d. 2002. Sebagai penulis, Dikdik juga tergabung sebagai anggota Satupena DKI. Latar belakang pendidikan suami dari Leika Mutiara Jamilah ini adalah Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (lulus 1994) dan Magister Administrasi Publik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (lulus 2006).

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Satu Dekade Dana Desa: Paradoks Kemandirian

17 Februari 2025   21:02 Diperbarui: 18 Februari 2025   14:06 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
PIXABAY/HARTONO SUBAGIO

Oleh Dikdik Sadikin 

"The best way to predict the future is to create it." --- Peter Drucker

SEJAK pertama kali dikucurkan pada 2015, Dana Desa telah menjadi eksperimen besar dalam desentralisasi fiskal. Hampir Rp 600 triliun telah digelontorkan ke pelosok negeri dalam satu dekade terakhir, dengan harapan menyalakan lilin pembangunan di tengah gelapnya ketimpangan antara kota dan desa.

Bagi sebagian orang, ini adalah revolusi senyap: jalan desa bertambah 320 ribu kilometer, jembatan membentang sepanjang 1,6 juta meter, pasar desa dan irigasi tumbuh seperti jamur di musim penghujan. Data Kementerian Desa mencatat angka kemiskinan desa turun dari 17,1% (2015) menjadi 12,8% (2023). Sebuah kemenangan, meski belum sempurna.

Namun, tidak semua kisah berakhir bahagia. Seperti halnya pembangunan dalam skala besar, Dana Desa juga membuka lubang bagi para pemangsa. Hingga 2024, Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat lebih dari 1.500 kasus korupsi Dana Desa dengan nilai kerugian mencapai Rp 1,5 triliun. Modusnya beragam: markup proyek, pungli, hingga fiktifisasi pembangunan. Dalam banyak kasus, kepala desa berubah menjadi pangeran kecil yang berkuasa penuh atas aliran uang.

Menteri Desa Yandri Susanto berulang kali menegaskan pentingnya pengawasan partisipatif. Tapi kenyataannya, dengan 74.961 desa di Indonesia, mekanisme kontrol seringkali tak lebih dari formalitas administratif. Audit yang seharusnya menjadi garda terakhir justru sering tersendat di birokrasi.

Paradoks Kemandirian

Ironisnya, meski Dana Desa dirancang untuk mengangkat perekonomian desa, ada gejala lain yang mencemaskan: semakin banyak desa yang bergantung pada aliran dana pusat. Alih-alih mendorong kemandirian ekonomi, desa justru semakin pasif, menunggu kucuran anggaran tahunan dari Pemerintah,  seperti kecanduan.

Mengapa demikian?

Skema pencairan Dana Desa lebih banyak berorientasi pada infrastruktur ketimbang pemberdayaan ekonomi jangka panjang. Bantuan untuk desa Mandiri justru lebih kecil dibandingkan desa tertinggal, seolah kemajuan harus dibayar dengan pengurangan insentif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun