Mohon tunggu...
Andika Lawasi
Andika Lawasi Mohon Tunggu... Lainnya - an opinion leader

Rakyat Pekerja

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

dampak sosial industri eskpansif

10 September 2016   05:48 Diperbarui: 6 Mei 2017   04:51 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Hidingartist.com

Konstruksi pengetahuan sejatinya harus melahirkan sebuah pemahaman yang komprehensif tentang tema-tema yang berkaitan dengan subyek pembahasannya. Oleh karena itu, memaknai realitas dalam konteks pengetahuan harus mampu menyentuh sisi terdalam sebuah subyek pembahasan sehingga bangunan pemahaman yang sedang dibentuk mendapatkan definisi yang terang dan padat.

Sosiologi pengetahuan deforestasi merupakan upaya untuk mengkonstruksi realitas deforestasi dan perlawanan petani secara paripurna yang berkaitan dengan gagasan yang mempengaruhi timbulnya fenomena tersebut.  Sosiologi Pengetahuan deforestasi meletakkan fokus kajian pada konstruksi realitas tentang kerusakan hutan akibat intervensi kebijakan yang tidak berpihak kepada petani serta berusaha membongkar praktek-praktek busuk dalam rekayasa kebijakan sumber daya alam dan lingkungan yang penuh muatan kepentingan kapitalis.

 Tulisan ini berusaha untuk menjabarkan dengan sederhana tentang aspek-aspek sosiologis dalam peristiwa deforestasi dengan menekankan pemahaman awal bahwa sesungguhnya dibalik deforestasi yang parah di Indonesia, disamping menyisakan lahan-lahan yang menganga dan terbakar akibat pembukaan lahan besar-besaran, telah terjadi sebuah penggerusan nilai-nilai kearifan lokal kaum tani yang tergerus bersama hilangnya kawasan hutan dan kebun-kebun hutan yang mereka miliki dan pada akhirnya hal ini membuahi embrio perlawanan kaum tani terhadap negara. 

Ekspansi industri sawit dan tambang yang menyasar kawasan hutan telah banyak berkontribusi terhadap deforestasi serta kerusakan hutan dan lingkungan di Indonesia selama bertahun-tahun. Bukan hal yang aneh ketika negara tidak menganggap hal ini sebagai masalah besar sebab ekspansi bisnis Big Moneytersebut bukan tidak mungkin justru sudah mendapat restu dari negara.  Kepura-puraan negara dengan memperlihatkan sikap khawatir atas terbakarnya lahan hutan akibat pembukaan kawasan besar-besaran demi meraih simpati konstituen adalah sebuah komedi yang tidak lucu ditengah-tengah banyaknya Perda-Perda Perlindungan Lingkungan yang banyak dibatalkan demi memuluskan rencana investasi jangka panjang yang ditargetkan akan dibangun di dalam kawasan hutan dan lingkungan yang di atasnya telah tumbuh subur kebun-kebun hutan milik kaum tani yang sejak turun temurun sudah berkembang di wilayah itu.  

Kerusakan hutan dan lingkungan yang kemudian menjelma menjadi deforestasi total nampaknya terus dipupuk dengan membuka kran investasi yang tidak lagi mengindahkan aspek-aspek lingkungan. Gerakan taktis politik lingkungan yang berkembang baik dalam bentuk demonstrasi di jalan-jalan maupun dalam kampanye-kampanye di media sosial akhirnya gagal mengcounter gagasan investasi ini karena negara terus saja berdalih bahwa APBN sedang kritis sehingga mau tidak mau harus membuka wilayah-wilayah investasi baru yang masih subur dan masih bisa menghasilkan keuntungan yang banyak. 

Negara adalah aktor utama penyebab deforestasi, dan dengan poweryang dimilikinya, negara lalu memaksa kita untuk percaya bahwa deforestasi adalah sesuatu yang harus terjadi sebagai dampak pembangunan yang dilakukan oleh negara. Seakan-akan deforestasi wajib terjadi jika kita mau membangun negara menjadi lebih baik. Kekuasaan negara dalam menyebabkan deforestasi  bukanlah sesuatu yang kabur lagi untuk disimak dengan mata telanjang.  

Deforestasi yang terjadi dikawasan-kawasan konsesi hutan merupakan bentuk pengabaian negara atas amanah UUD pasal 33 sebab telah mengizinkan beroperasinya korporasi-korporasi kelas kakap untuk mendulang laba sebesar-besarnya dari perusahaan yang beroperasi di tanah-tanah di mana kaum tani, yang seharusnya memperoleh pengayoman dari negara, pernah terusir dari sana setelah izin eksploitasi kawasan diberikan kepada para perambah legal tersebut.  Ketidakadilan sangatlah jelas terjadi disini. Pengusaha-pengusaha tersebut selalu mendapatkan lahan yang gemuk dan subur untuk usaha mereka, sementara masyarakat kecil hanya mendapat sedikit lahan dan marginal pula untuk menanam pohon dan membangun kebun-kebun hutan mereka.  

Setelah deforestasi meningkat pesat dan kebakaran hutan dan lahan makin meluas, masyarakat kecil dengan lahan marginal itulah yang kemudian disalahkan terlebih dulu dan negara kembali lupa untuk mencurigai pengusaha pemegang konsesi hutan, yang sumber deforestasi dan kebakaran hutan dan lahan terbesar sering terjadi dalam wilayah konsesi mereka. Patutlah apabila negara diduga melakukan tebang pilih penegakan hukum sebab kontribusi perusahaan-perusahaan tersebut jauh lebih besar -dalam menyumbang APBN yang katanya sedangkritis - dari pada hasil kebun-kebun hutan yang dikelola oleh petani-petani kecil.

Intervensi pembangunan yang berlebihan dan masuknya investasi asing dalam skala besar terhadap kawasan hutan telah mendesak ruang hidup (lebensraum)populasi masyarakat yang tumbuh dan berkembang didalamnya. Nilai-nilai keatifan lokal pun ikut tergusur akibat rakusnya orang-orang ini.  Konflik pun mulai terjadi antara masyarakat yang dituduh sebagai perambah illegal yang kemudian berhadap-hadapan dengan pengusaha swasta dan pemerintah daerah sebagai pihak yang merasa paling menguasai kawasan hutan tersebut. 

 Terdesaknya masyarakat atas pembukaan hutan besar-besaran demi memberi peluang bagi berdirinya industri yang sangat ekspansif dan ekstensif seperti perusahaan sawit dan tambang telah menghilangkan 4 macam kegiatan utama masyarakat dalam kawasan hutan, seperti (1) memenuhi kebutuhan pangan; (2) mencari bahan obat-obatan; (3) mata pencaharian/ekonomi keluarga; dan (4) aktivitas kebudayaan yang berkaitan dengan hutan.  Ulah negara yang memberi ruang yang begitu besar bagi kelompok industri besar tersebut telah mencederai rasa keadilan dan bertindak seolah-olah bahwa masyarakat serta kebudayaan rimba yang berkembang bersamanya dianggap tidak penting karena mungkin tidak menghasilkan, lagi-lagi, kontribusi terhadap kas  negara. 

Meminjam konstruksi sosiologi pengetahuan deforestasi dari San Afri Awang (2006), kita dapat mengatakan bahwa deforestasi sesungguhnya memiliki konstruksi makna yang berbeda apabila dilihat dari sudut pandang ekonomi-budaya. Negara sering mendefinisikan istilah deforestasi sebagai peristiwa berkurangnya populasi pohon di dalam kawasan hutan. Dengan definisi ini, negara kemudian menganggap bahwa semua tindakan masyarakat sekitar hutan untuk mengakses kawasan hutan serta menebang pohonnya dalam rangka memenuhi 4 aktivitas utamanya sebagaimana yang telah dijelaskan di atas akan dianggap sebagai tindakan merusak hutan yang akan menyebabkan deforestasi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun