Mohon tunggu...
Difa Dhiyaul Auliyah
Difa Dhiyaul Auliyah Mohon Tunggu... Lainnya - Hello good people.

Tugasmu hanya taat, selebihnya biarkan Dia yang menentukan skenario hidupmu.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pohon Bambu

6 Desember 2020   10:23 Diperbarui: 6 Desember 2020   10:28 332
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.benwicak.com/2013/04/ilmu-pring.html?m=1 [sumber foto]

    2 bulan kemudian
Hari itu cuaca sedang tidak bersahabat. Tetes demi tetes air membasahi lantai tanah si kakek tua itu, suara nyanyian para katak menambah suasana syahdu. Air hujan mulai merembas naik ke dinding bambu si kakek. Kakek Rahmat keluar dari kamarnya sembari berselimut kain sarung kotak-kotak. Hujan yang semakin deras membuat kakek menjadi terpaksa tidak ke sawah hari ini. Cuaca yang buruk pun membuat badan kakek semakin tidak fit.
"Cu, tolong belikan kakek obat batuk di warung Bu Anah" pinta kakek pada alif.
"Baik kek" jawab alif dengan tersenyum.
Sembari menunggu obat yang dibelikan Alif, hujan semakin reda tetapi cuaca masih gelap. Si kakek menunggu di amben teras rumahnya. Datang lagi dua perangkat desa untuk yang kesekian kalinya tak lupa membawa sekantong plastik yang diberikan kepada kakek Rahmat. Si kakek menyambut kedatangannya dengan mata yang berkaca-kaca penuh harapan.
"Assalamu'alaikum mbah mat.." salam si perangkat desa.
"Wa'alaikumsalam pak.. mangga" sambut si kakek tua dengan ramah.
"Ohh lagi nggak enak badan to mbah kok pucat " tanya si perangkat desa.
"Oh iya pak agak kurang enak badan ini" jawab kakek Rahmat dengan lirih.
Kedatangan mereka hari itu sangat sebentar padahal masih gerimis. Akan tetapi kakek tak menghiraukannya dan mengambil kantong plastik untuk dibawa ke dalam rumah. Roti yang diberikan perangkat desa tadi dibuat sarapan si kakek dan cucunya dan lekas meminum obat yang dibelikan si Alif tadi.
Keesokan harinya, cuaca sangatlah panas. Kakek Rahmat mengistirahatkan dirinya seperti biasa dibawah pohon bambu sambil menahan lapar dan menunggu cucunya untuk mengantarkan air minum dan roti. Saat cucunya datang dan membawakan makanan, tak lama kemudian datang lagi perangkat desa dengan tiga kantong plastik makanan yang tak seperti biasanya.
"Mbah mat.. sedang istirahat ya?" ujar salah satu perangkat desa sambil memberikan sembako kepada kakek Rahmat.
"Walah.. kok repot-repot to pak saya jadi nggak enak ini" jawab si kakek.
"Halah enggak.. Mbah Rahmat sering ya istirahat disini?" tanya si perangkat desa.
"Lha disini itu seperti rumah kedua saya lho pak.. dan harta benda saya satu-satunya. Sudah sejuk, adem, enak gitu lho pak" jawab si kakek.
"Iya mbah.. adem. Gini mbah kedatangan saya disini mau nyampaiin sesuatu mengenai lahan pohon bambu milik mbah Rahmat ini" ujar si perangkat desa.
"Anu mbah.. kan selama ini warga desa sering keluhkan jalan ke sawah soalnya becek lah, kaki tenggelam di tanah lah, jalan sempit lah, banyak duri rerumputan dan sebagainya.. Nah, karena itu kami mohon ijin ke mbah Rahmat untuk mengubah daerah pohon bambu ini menjadi jalan alternatif menuju sawah, soalnya kan nanti jalannya bisa lebar dan warga desa jadi enak gitu lho mbah" penjelasan salah satu si perangkat  desa.
 "Sebenarnya kami itu tidak tega untuk membicarakan ini ke mbah Rahmat, tapi hanya ini satu-satu nya cara untuk bisa memajukan pembangunan desa agar penduduknya sejahtera mbah" sahut si perangkat desa yang satunya.
"Tapi saya ini sudah tidak punya apa-apa lho pak, hidupnya susah dan kasihan cucu saya yang sering kepanasan kalo dirumah kami siang hari.. Ya Allah Gusti" sanggahan kakek sembari meneteskan air mata.
"Maaf mbah, tapi jangan khawatir, desa akan membeli tanah lahan pohon bambu ini" hibur si perangkat desa.
"(kakek menangis tersedu seakan kehilangan keluarga nya sendiri)"
2 bulan kemudian, pohon-pohon bambu milik mbah Rahmat mulai dihancurkan menggunakan alat berat guna dibangun jalan alternatif menuju sawah. Kakek Rahmat dan Alif melihat dari kejauhan sambil meneteskan air mata, seakan-akan mereka mengerahkan separuh jiwa nya untuk kepentingan orang banyak. Tangisan kakek dan alif tak menjadi sorotan bagi perangkat desa itu, mereka berkegiatan seakan baik-baik saja. Kini, kakek dan Alif hanya bisa berdo'a kepada Yang Maha Kuasa agar diberikan keadaan lahir dan batin yang lebih baik.
Tak lama kemudian kakek Rahmat sering sakit-sakitan, penyakit livernya sering kambuh. Cucunya, si Alif yang masih kelas 5 Sekolah Dasar harus merawat kakeknya dengan kegigihan yang diajarkan oleh kakeknya. Akan tetapi, tiga bulan kemudian nyawa kakek Rahmat tak bisa tertolong. Ia meninggal dunia, meninggalkan cucunya yang masih bocah itu. Si Alif terpapar lemas dengan kenyataan yang dihadapinya, tak kuasa melihat keadaan yang sangat memukul hidupnya.
Kesedihan yang dihadapi keluarga kakek Rahmat menimbulkan rasa bela sungkawa dan turut berduka cita sedalam-dalamnya. Akhirnya Alif diasuh oleh Bu Anah yang selama ini hanya memiliki anak tunggal. Tak lupa, Alif tetap menerapkan kegigihan yang selamai ini diajarkan oleh kakeknya dalam menjalani kehidupan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun