Mohon tunggu...
Difa Dhiyaul Auliyah
Difa Dhiyaul Auliyah Mohon Tunggu... Lainnya - Hello good people.

Tugasmu hanya taat, selebihnya biarkan Dia yang menentukan skenario hidupmu.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pohon Bambu

6 Desember 2020   10:23 Diperbarui: 6 Desember 2020   10:28 332
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.benwicak.com/2013/04/ilmu-pring.html?m=1 [sumber foto]

Mentari mulai memancarkan cantiknya, disambut kicauan burung pipit yang menari di ketinggian pohon berdaun kecil nan rimbun itu. Tak lain dengan kakek tua yang memikul cangkul dengan tanah sebagai alas kakinya. Semangatnya dalam mengais rezeki bak sinar surya yang menyinari pertiwi, menghadap lahan luas milik tetangganya. Langkah demi langkah kakinya terselimuti tanah lembek yang terguyur hujan semalaman. Kakek Rahmat namanya, seorang kuli tani dan penggarap lahan sawah orang lain.

"Alhamdulillah Duh Gusti, pagi ini Engkau masih menganugerahi saya kesehatan sehingga hamba-Mu ini bisa bekerja sebagai bentuk ibadah kepada-Mu'' ujar kakek tua itu sambil memandang lahan dengan penuh suka cita.

Usia kakek Rahmat sebenarnya tak mengharuskan Ia bekerja keras seperti ini, namun apalah daya jika Ia tak bergegas nekat, makanan tak akan memenuhi perut kakek tua ini. Ia tinggal di rumah tua miliknya bersama satu orang cucunya yang diterlantarkan oleh anaknya.

Adzan dzuhur mulai berkumandang, kakek Rahmat bergegas memikul cangkul dan berjalan kembali melewati tanah lembek yang sedikit terpapar surya menuju rumahnya. Sampai dirumah, Ia segera membersihkan diri dan mengajak cucunya untuk sembahyang di surau.

"Cu, ayo segera berangkat keburu iqamah nanti" ujar kakek sambil memakai baju koko yang sudah kusam.
"Sebentar kek, sandalku yang sudah ku tali sekarang putus lagi, aku sholat dirumah saja ya kek" jawab Alif, cucu kakek Rahmat dengan kecewa.
"Kalau begitu, kakek gendong saja ya dari pada sholat sendirian lagi pula lantai tanah rumah kita kan agak basah" ajak kakek kepada cucunya.

Kemudian kakek berangkat sambil menggendong cucunya dengan nafas terengah-engah menyusuri jalan batuan yang panas karena terik sang surya. Kegigihan kakek tua ini menyebabkan munculnya rasa iba dan belas kasih tetangganya. Tak jarang mereka memberikan makanan untuknya.
Sesampainya dirumah, kakek tua ini mengajak cucunya untuk berteduh dan beristirahat dibawah pohon bambu dekat rumahnya. Mentari yang sangat terik membuat rumah kakek terasa sangat panas. Dibawah pohon bambu terdapat amben yang sudah lama dibuatnya.

"Kek, aku lapar" keluh Si Alif.
"Oh iya, kakek lupa kita belum makan. Sebentar kakek belikan nasi uduk diwarung Bu Anah" jawab kakek Rahmat sambil memakai sandal jepitnya.
Tak lama kemudian kakek Rahmat yang renta itu kembali dengan membawa dua bungkus nasi uduk yang dibungkus daun pisang serta dua plastik air putih yang biasanya Bu Anah memberikannya secara gratis.

Istirahat dibawah pohon bambu yang bertahun-tahun lamanya dapat membawa ketenangan serta kedamaian bagi si kakek dan keluarganya sejak dahulu. Namun sayang, istri kakek Rahmat telah meninggal lima tahun silam karena mengidap penyakit yang sangat parah. Kedua anak Pak Rahmat pun entah kemana setelah berkeluarga meninggalkan lelaki renta ini.

"Cu, setelah ini tolong bantu kakek mengumpulkan kayu kering sama ranting bambu ya" pinta si kakek kepada Alif.
"Baik kek" jawab alif dengan senang hati.

Sesekali kakek Rahmat istirahat saat mengumpulkan ranting dan kayu kering karena usia yang tak mendukungnya.
Suatu hari pak Rahmat yang sedang istirahat dibawah pohon bambu didatangi dua orang perangkat desa dengan membawa sekantong plastik yang diberikan kepada kakek tua ini. Perangkat desa itu menanyakan kabar dan kondisi keluarga pak Rahmat. Anehnya, selama ini tidak ada satu pun perangkat desa yang mempedulikan keadaan pak Rahmat. Akan tetapi, pak Rahmat tetap menyambut kedatangannya dengan penuh harapan.
Keesokan harinya, pak Jamal pemilik lahan sawah yang digarap pak Rahmat menghampiri rumah kakek itu.
"Assalamu'alaikum mbah" salam pak Jamal di depan pintu pak Rahmat.
"Wa'alaikumsalam, Ehh ada pak Jamal.. mangga masuk pak" jawab si kakek dengan semangat.
"Disini saja mbah, sejuk" ujar pak Jamal sembari duduk di amben teras.
"Begini mbah, saya itu denger kalau kemarin ada perangkat desa yang menghampiri mbah Rahmat" ujar pak Jamal.
"Oiyaa pak, saya ya kaget lha biasanya nggak pernah peduli hehehe.. memangnya ada apa lho pak Jamal?" ujar si kakek.
"nggak ada apa-apa mbah, ya heran ya seneng gitu mereka jadi peduli" sahut pak Jamal dengan sedikit tersenyum.
"Ohh saya ya jadi seneng kok pak mal" jawab kakek Rahmat dengan penuh harap.
Pak Jamal langsung berpamitan dan meninggalkan begitu saja dengan ekspresi bimbang. Akan tetapi, Si kakek dengan kepolosannya tak memperdulikan hal itu. Ia bergegas mengumpulkan kayu kering untuk memasak air. Namun sayang, sore itu kayu dan ranting banyak yang basah sehingga terpaksa kakek pulang dengan membawa kayu dan ranting basah untuk dijemur dahulu. Kedaan seperti ini sudah menjadi hal yang biasa bagi kakek Rahmat. Tak jarang Ia tak bisa mengumpulkan kayu karena penyakit yang dideritanya kambuh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun