Biden memang berjanji akan selalu ‘membersamai’ Ukraina, saat dia melakukan kunjungan dramatis ke Kiev akhir Februari silam . Tetapi sejumlah ketegangan muncul. Meledaknya pipa gas alam milik Rusia di dasar Samudra Atlantik (nord stream) adalah salah satu Isu.
Intelejen Amerika menganalis bahwa ‘bisa jadi’ sabotase pipa gas yang mengarah ke Eropa itu dilakukan kelompok pro-Ukraina. Berbicara secara anonim kepada The New York Times, pejabat intelejen Amerika mengatakan, memang belum tentu peledakan pipa dilakukan Zelenskyy dan pembantunya. Tetapi operasi itu (jika benar dilakukan milisi Ukraina), melanggar pesan Amerika agar Ukraina hanya berperang di dalam negeri.
Isu Crimea
Isu lain adalah perbedaan pendapat bagaimana cara mengakhiri perang. Zelenskyy mengatakan tidak ada pembicaraan damai sebelum Rusia mengembalikan Crimea. Adapun Amerika menilai, kecil kemungkinan Rusia bersedia melepaskan wilayah yang sudah satu windu mereka duduki.
Menteri Luar Negeri Anthony Blinken menilai, merebut kembali Crimea akan menjadi garis merah bagi Putin. Yang mungkin mengarah pada eskalasi dramatis dari Moskow.
Selain itu, Pentagon juga secara konsisten menyatakan keraguan apakah pasukan Ukraina—meskipun dipersenjatai dengan senjata Barat yang canggih—akan mampu mengusir Rusia dari Crimea.
Juru bicara Dewan Keamanan Nasional Adrienne Watson mengatakan Gedung Putih akan terus membantu Ukraina. “Kami mendukung perjuangan mereka dalam mempertahankan kedaulatan dan integritas teritorial mereka."
Dia menambahkan, dengan Putin tidak menunjukkan tanda-tanda menghentikan perang, “hal terbaik yang dapat kita lakukan adalah terus membantu Ukraina berhasil di medan perang. Sehingga mereka dapat berada di posisi terkuat di meja perundingan, ketika saatnya tiba.”
Ya benar. Perundingan di atas meja mungkin merupakan jalan terbaik untuk mengakhiri perang. (Sumber: Voice Of America, Politico, Kompas, The New York Times).