Mohon tunggu...
Diella Dachlan
Diella Dachlan Mohon Tunggu... -

"When the message gets across, it can change the world"

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Melacak Jejak Peradaban di Lereng Gunung Pulosari Pandeglang (2)

16 Mei 2019   07:47 Diperbarui: 16 Mei 2019   08:05 1452
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Panorama Gunung Pulosari. Tersohor hingga Kerajaan Majapahit (dokpri)

Namun, Guillot mencatat ada kesesuaian waktu yang "mencolok mata" antara isi prasasti, Banten Girang dan Kerajaan Sunda. Selain itu ada kesesuaian waktu antara masa didirikannya Kerajaan Sunda dengan punahnya kerajaan di Jawa Tengah. Pemusnahan ibu kota kerajaan Jawa terjadi sekitar tahun 1016, yang merupakan tindakan pembalasan tentara Sriwijaya terhadap serangan Jawa pada sekitar tahun 992-993. Setelah abad ke-11, tidak lagi ditemukan jejak apapun dari pengaruh Jawa di Banten Girang (hal 20-21).

Mata air di Situs Cihunjuran di kaki Gunung Pulosari. Di sini penduduk setempat menyebutnya sebagai salah satu tempat petilasan kerajaan Salakanagara (Dokpri)
Mata air di Situs Cihunjuran di kaki Gunung Pulosari. Di sini penduduk setempat menyebutnya sebagai salah satu tempat petilasan kerajaan Salakanagara (Dokpri)

Candi Siwa di Pulosari Tersohor Sampai Majapahit

Lalu bagaimana dengan jejak Candi Siwa di Gunung Pulosari? Lagi-lagi ada kesamaan waktu antara pendirian Candi Siwa di Pulosari dan pendirian istana kompleks Banten Girang, yaitu pada awal abad ke-10, yang menunjukkan ada hubungan di antara keduanya (hal 18). Catatan menarik untuk disimak adalah keberadaan candi Siwa di Pulosari ini pulalah yang membuat gunung ini cukup dikenal di Kerajaan Majapahit.

Selain arca-arca bergaya Hindu, di kaki Gunung Pulosari terdapat jejak temuan berupa arca Polinesia, punden berundak dan menhir. Ketika berkunjung ke Pulosari pada April 2019 lalu, kami sempat mengunjungi beberapa di antaranya.

Melihat bentuk arca dan menhir yang sederhana, kami setuju dengan sikap skeptis Guillot dan rekan-rekannya, yang tidak percaya bahwa keberadaan benda-benda tersebut yang membuat gunung ini tersohor. Para peneliti ini kemudian mengajukan argumen bahwa tentunya ada tempat pemujaan lama yang berada di atas gunung. Namun, menemukannya sama sekali tidak mudah.

 "Kami sia-sia saja mencari bekas bangunan di atas Gunung Pulasari. Selain tempat-tempat keramat biasa, satu-satunya tempat pemujaan lama yang masih ada terdapat di Desa Sanghyang Dengdek" tulis Guillot.

Keberadaan Candi Siwa Kuno bergaya Jawa di atas Gunung Pulosari ini juga disebutkan dalam naskah Tantu Panggelaran bahwa ada sebuah gunung yang jauh dari daerah Jawa dan gunung tersebut disamakan dengan Gunung Kailasa, tempat kediaman Siwa.  Gunung Kailasa ini sekarang kita kenal sebagai Gunung Pulosari.

Namun, sepertinya 'candi' di Pulosari berbeda dengan candi yang memiliki bentuk bangunan dan arca-arca gaya Hindu sebagaimana yang ada di Jawa. Namun, hal ini akan perlu penelitian lebih lanjut.

Menurut Sunan Gunung Jati, Gunung Kaliasa atau Pulosari itu merupakan wilayah Bhramana Kandali. Hal ini disebutkan oleh Sajarah Banten XVII-4. (Guillot et al, 1996, hal 98 -- 106). Di atas gunung itu hidup delapan ratus (domas, angka "keramat" di daerah Sunda) ajar-ajar yang dipimpin oleh Pucuk Umun.

Dari segi  kesesuaian waktu, antara kedatangan Hasanudin yang merupakan putera Sunan Gunung Jati dari Cirebon ke Banten untuk meyebarkan agama Islam dan menaklukkan kerajaan Banten Girang yaitu pada awal abad ke-16, sepertinya Pucuk Umun yang dimaksud di sini adalah Raga Mulya, Raja Pajajaran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun