Mohon tunggu...
Diella Dachlan
Diella Dachlan Mohon Tunggu... -

"When the message gets across, it can change the world"

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Napak Tilas Menelusuri Jejak Prabu Siliwangi

8 Mei 2017   20:36 Diperbarui: 19 Juni 2017   04:19 9562
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rombongan Napak Tilas Prabu Siliwangi mulai bergerak

Jarak tempuh napak tilas dari Batutulis hingga Rancamaya sekitar 7 kilometer dengan waktu hampir dua jam
Jarak tempuh napak tilas dari Batutulis hingga Rancamaya sekitar 7 kilometer dengan waktu hampir dua jam
Jelang tengah hari Minggu (7/5/17) di depan gerbang perumahan Rancamaya, Kelurahan Kertamaya, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor. Ratusan pasang mata mengawasi dalam diam kelompok kecil yang terus berdiskusi untuk ijin masuk sebentar ke dalam lokasi perumahan. Mereka adalah panitia dan keamanan dari pihak perumahan. Tampak polisi dan tentara hadir di lokasi tersebut. 

Sekitar 200 meter dari gerbang besi perumahan elit ini, terletak situs Badigul. Situs ini diduga adalah tempat persemayaman terakhir Prabu Siliwangi, Raja Pakuan Pajajaran ke-4 yang wafat pada tahun 1521. Ini adalah  tujuan akhir dari rombongan Napak Tilas Prabu Siliwangi,setelah berjalan kaki sejauh 7 kilometer selama hampir dua jam, dari titik awal di Prasasti Batutulis.

Situs Badigul dalam komplek perumahan elit Rancamaya, terletak sekitar 200 meter dari gerbang
Situs Badigul dalam komplek perumahan elit Rancamaya, terletak sekitar 200 meter dari gerbang
Diskusi berlangsung di depan pagar perumahan Rancamaya (7/5/17)
Diskusi berlangsung di depan pagar perumahan Rancamaya (7/5/17)
Sebagian besar berpakaian adat Sunda. Yang perempuan pakai kebaya atau kemeja hitam dan kain. Sedangkan yang laki-laki berpakaian pangsi, pakaian tradisional Sunda, lengkap dengan iket Sunda di kepala. Rombongan ini terdiri dari berbagai komunitas yang datang dari berbagai daerah di Jawa Barat seperti Bandung, Cirebon, Tasikmalaya, Karawang selain peserta yang datang dari Jabodetabek.

Setengah jam lebih, diskusi intensif dilakukan. Meski menurut Pak Ahmad Fahir dari Baraya Kujang Pajajaran dan ketua panitia acara ini, persiapan dan koordinasi sudah dilakukan tiga bulan sebelumnya. Namun, di saat-saat akhir, pihak pengembang perumahan tetap belum berkenan memberikan ijin. 

Belum menemukan titik temu, meski koordinasi dan komunikasi sudah dilakukan jauh hari
Belum menemukan titik temu, meski koordinasi dan komunikasi sudah dilakukan jauh hari
Saat tersebut cukup mengecewakan. Tak heran kalau sebagian besar peserta mulai berteriak-teriak.  Mereka hanya ingin sampai ke lokasi situs. Namun, para tokoh adat dan panitia segera menenangkan. Jalan tengah diambil. Ritual budaya dan doa dipanjatkan lantas dilakukan dengan duduk di area depan pagar. Menjelang jam 13.30, rombongan bubar dengan tertib, meski memendam kekecewaan, termasuk saya dan Bimo yang juga hadir hari itu.

Tak berlebihan, kalau memang kekecewaan sulit dipendam. Hampir 5 abad (496 tahun) setelah Prabu Siliwangi wafat, ini mungkin adalah acara napak tilas budaya pertama yang dilakukan, meski dengan sederhana. Kerajaan Pakuan Pajajaran adalah kerajaan yang tercatat pernah begitu berjaya sekaligus merupakan kerajaan terakhir di tanah Bogor. Jejak sejarah yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat Sunda di Jawa Barat.

Saya sendiri baru "berkenalan" dengan Prabu Siliwangi dan Kerajaan Pakuan Pajajaran awal 2017, setelah puluhan tahun "buta sejarah". Tulisan ini juga akan mengupas tentang Prabu Siliwangi dari berbagai literatur yang ada.

Ritual budaya dan doa akhirnya dilaksanakan di luar pagar perumahan Rancamaya, bukan di lokasi Situs Badigul
Ritual budaya dan doa akhirnya dilaksanakan di luar pagar perumahan Rancamaya, bukan di lokasi Situs Badigul
Berkenalan dengan Prabu Siliwangi

Ruang ini tentu saja tidak akan muat untuk menceritakan sejarah panjang 222 tahun Kerajaan Pakuan Pajajaran (1357 – 1579) atau tentang masa kepemimpinan Prabu Siliwangi yang hampir mencapai 4 dekade itu (1482 – 1521 atau 39 tahun). Di akhir tulisan ini disertakan beberapa referensi bagi Anda yang juga tertarik untuk menelusurinya. 

Tulisan beraksara Jawa dan berbahasa Sunda Buhun di Prasasti Batutulis
Tulisan beraksara Jawa dan berbahasa Sunda Buhun di Prasasti Batutulis
Apakah Prabu Siliwangi Benar Ada?

Bagaimana bisa seorang yang begitu besar dari kerajaan yang juga besar dan agung tidak banyak tercantum dalam sejarah?.

Cerita yang cukup sering saya dengar tentang Prabu Siliwangi justru kisah tentang bagaimana beliau dapat berubah menjadi harimau ketika dikejar tentara Islam dari Kerajaan Banten dan Cirebon.  Hal ini yang setidaknya dapat saya kaitkan dengan adanya patung maung atau harimau di tempat-tempat yang bernama Siliwangi.

Ternyata pertanyaan tersebut juga cukup banyak terbersit dalam benak masyarakat Sunda. Setidaknya, hal ini  diakui oleh  Saleh Danasasmita (2003), tokoh dan penulis Kebudayaan Sunda, pada bukunya Melacak Sejarah Pakuan Pajajaran dan Prabu Siliwangi.

Yang menarik, nama Siliwangi justru muncul dalam pantun atau babad-babad Sunda.  Danasasmita berpendapat, kalau penulis babad yang ingin mencatat dan memaparkan kejadian sejarah biasanya suka menyebutkan tahun, baik angka tahun maupun lamanya pemerintah raja-raja yang disebutnya. Justru babad semacam ini yang langka di Sunda.

Naskah Pamarican dan Kitab Waruga Jagat hanya menyebutkan runtuhnya Pajajaran.  Sedangkan Sajarah Banten hanya menyebutkan waktu keberangkatan laskar Banten dari Surasowan yang hendak menyerbu Pajajaran, yaitu pada tahun 1501 saka atau 1579 Masehi (Danasasmita, 2003, hal 147)

Sumber tertulis yang paling popular yang menyebut nama Siliwangi yaitu Koropak (naskah Lontar) Sanghyang Siksa Kanda ng Karesian yang ditulis sekitar 1518 Masehi. Sedangkan dalam Purwa Caruban,cerita tentang Siliwangi tidak menyebutkan tahunnya, meskipun diceritakan tentang identitasnya.

Riwayat hidup Siliwangi yang runtut baru terdapat dalam naskah sejumlah babad yang ditulis pada masa yang lebih kemudian. Tapi, lagi-lagi, babad-babad ini  bermacam-macam versi riwayat dan silsilahnya (Danasasmita, 2003, hal 69).

Karenanya, para ahli sejarah pun juga tidak sepenuhnya salah. Sesuai dengan disiplin keilmuan, seorang tokoh, apalagi sebesar Siliwangi, sepatutnya ada jejaknya, tercatat dalam bukti-bukti sejarah. Meskipun, tanpa bukti sejarah  juga bukan berarti tokoh tersebut tidak benar-benar ada.

Pengunjung di Prasasti Batutulis
Pengunjung di Prasasti Batutulis
Prasasti Batutulis

Salah satu jejak Prabu Siliwangi yang masih dapat kita saksikan hingga saat ini adalah tulisan yang terpahat di batu. Prasasti Batutulis yang letaknya persisdi depan Istana Batutulis, Bogor, setidaknya menjadi bukti yang cukup kuat akan adanya keberadaan beliau.

Prasasti ini adalah  sakakala yang dibuat untuk mengabadikan perintah atau jasa raja yang telah wafat. Prasasti  9 baris ini ditulis dalam aksara Jawa kuno, namun menggunakan Bahasa Sunda Buhun. Hal ini sempat menjadikan perdebatan ketika para ahli sejarah berusaha menerjemahkannya.

Prasasti Batutulis menyebutkan jasa-jasa Prabu Siliwangi, yaitu antara lain menggali lombang (pertahanan) di Pakuan, membuat tanda peringatan (keagaaman) berbentuk gugunungan serta jalannya memakai batu (ngabalay), menetapkan hutan larangan (samida), serta serta membuat telaga suci yang bernama Rena Mahawijaya (nyieun sanghyang talaga Rena Mahawijaya). (Suryani, 2009, Danasasmita, 2003, hal 77, Danasasmita, 2014, hal 41)

Konon, prasasti ini dibuat 12 tahun setelah Prabu Siliwangi meninggal atau pada tahun 1533 oleh anaknya, yaitu Prabu Surawisesa atau yang juga dikenal dalam naskah-naskah tradisional sebagai Prabu Guru Gantangan atau Munding Laya (1533). Prabu Surawisesa adalah anak Prabu Siliwangi dari istrinya yang bernama  Mayang Sunda (Danasasmita, 2003, 2014 hal 58, hal 67)

Batutulis, kawasan bersejarah untuk menelusuri jejak kerajaan Pakuan Pajajaran
Batutulis, kawasan bersejarah untuk menelusuri jejak kerajaan Pakuan Pajajaran
Tokoh dengan Banyak Nama

Gelar lain Prabu Siliwangi yang tertera dalam prasasti Batutulis adalah Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di Pajajaran, Sri Sang Ratu Dewata atau Ratu Jayadewata  (Danasasmita, 2003, hal 40,  2014, hal 41). Setelah beliau wafat, gelar lainnya yaitu Prabu Guru Dewataprana dan Prabu Ratu (Suryani, 2009).

Kita kenal menjadi Siliwangi adalah karena nama raja resmi dalam Bahasa Sunda sering disebut wawangi. Siliwangi pun dapat berarti asilih wewangi yang menandakan berganti nama/gelar. Ini menurut versi Babad Siliwangi. Karena berganti nama atau gelar, maka Sri Baduga pun menjadi terkenal dengan nama Siliwangi (Danasasmita, 2003, hal 77).  

Semoga dengan mencantumkan informasi ini, Anda terhindar dari kebingungan yang saya alami waktu berupaya menelusuri jejak Prabu Siliwangi.

Cerita kematian Prabu Siliwangi ini yang masih perlu penelusuran.  Ada sumber yang menyebutkan beliau menghilang ketika dikejar tentara Islam, lalu menghilang kemudian menjelma menjadi harimau.  Dalam Purwaka Caruban digambarkan, Prabu Siliwangi pun digambarkan secara dramatis. Prabu Siliwangi disebutkan  wafat pada tahun 1521,dikuburkan di Rancamaya, sebelah tenggara kota Bogor (Danasasmita, 2003, hal 81). Namun di kalangan masyarakat Sunda, hal ini pun terus menjadi perdebatan.

Dongdong atau pikulan berisi penganan dan minuman
Dongdong atau pikulan berisi penganan dan minuman
Aneka jenis minuman dalam dongdong atau pikulan dalam napak tilas budaya
Aneka jenis minuman dalam dongdong atau pikulan dalam napak tilas budaya
Bukan Raja Pertama dan Terakhir di Kerajaan Pakuan Pajajaran

Prabu Siliwangi bukanlah raja pertama atau raja terakhir dari Kerajaan Pakuan Pajajaran.  Menurut catatatan, kakeknya, Wastu Kencana, adalah raja  dengan pemerintahan terlama di kerajaan ini (1371-1475 atau 104 tahun),sedangkan Prabu Siliwangi adalah raja terlama kedua dengan masa pemerintahan 39 tahun (1482-1521).

Dari catatan Danasasmita (2003), ada 9 raja tercatat dalam Kerajaan Pakuan Pajajaran.  Raja pertama Kerajaan Pakuan Pajajaran adalah Bunisora  (1357). Kalau dari urutan yang disusun ini, maka Prabu Siliwangi atau Ratu Dewata adalah raja ke-4.  Sedangkan raja ke-9 atau terakhir yaitu Nusiya Mulya (1579), sebelum  kerajaan berumur 222 tahun ini runtuhnya kerajaan ini oleh tentara Banten.

Hanya enam peserta yang akhirnya dapat masuk ke Situs Badigul setelah menunggu dengan sabar dan rombongan telah bubar
Hanya enam peserta yang akhirnya dapat masuk ke Situs Badigul setelah menunggu dengan sabar dan rombongan telah bubar
Akhirnya Boleh Masuk!

Ketika sebagian besar rombongan meninggalkan lokasi, saya, Bimo dan keempat teman baru yang juga peserta Napak Tilas Prabu Siliwangi masih bertahan di lokasi. Tiba-tiba teman-teman baru itu berinisiatif meminta ijin kepada satpam untuk sebentar menengok situs Badigul, karena letaknya hanya 200 meter dari lokasi kami berada. Kami sangat berterima kasih ketika mereka mengijinkan kami masuk (tentu mereka pun menanggung resiko dimarahi atasannya, bukan?).

Meskipun hanya 30 menit berada di lokasi berbentuk gundukan yang menurut kabar dulunya adalah bukit dengan tanah yang dikerok dan tak lagi dapat ditanami, saya pribadi sangat bersyukur, meski masih amat miris.

100 meter sebelum mencapai situs Badigul di air terjun buatan di komplek perumahan Rancamaya
100 meter sebelum mencapai situs Badigul di air terjun buatan di komplek perumahan Rancamaya
Bukan salah mereka yang tidak tahu bahwa lokasi ini sangat bersejarah, karena memang tempat ini seperti layaknya taman cantik buatan manusia yang berpadu harmonis dengan rumah-rumah megah di sekelilingnya. Tidak ada catatan atau penanda lokasi yang nilai sejarahnya amat tinggi ini.

Apakah mungkin ada jalan tengah untuk lokasi bersejarah ini dirundingkan dengan pihak pengembang Rancamaya, agar tetap dapat diakses?. Lokasi ini memang sudah menjadi milik perusahaan. Tapi sejarah dan nilainya adalah milik seluruh masyarakat Sunda, milik seluruh warga Indonesia. Ini kekayaan dan bagian dari jati diri kita semua, yang sebaiknya tidak boleh dibatasi aksesnya atas nama kepemilikan swasta!.

Tulisan: Diella Dachlan
Foto: Diella Dachlan, Bimo Tedjokusumo, Laurini Noordin

Tulisan terkait:

Referensi:

  1. Dienaputra, R. D. (2012). Sunda, Sejarah, Budaya dan Politik. Abstrak.
  2. Lubis, H. N. H. (2016). Kerajaan Sunda. Abstrak.
  3. Maung dan Prabu Siliwangi: Mitos atau Fakta?, Irfan Teguh, 15 Maret 2017, Tirto.co.id
  4. Mumuh Muhsin, Z. (2012). Kujang, Pajajaran, Dan Prabu Siliwangi. Abstrak
  5. Danasasmita, 2014, Menelusuri Situs Prasasti Batutulis, Kiblat Utama, Bandung
  6.  Danasasmita, 2003, Melacak Sejarah Pakuan Pajajaran dan Prabu Siliwangi, Kiblat Utama, Bandung
  7. Pengembangan Jalur Wisata Sejarah sebagai Penunjang Wisata Sejarah Kota Bogor,
    Febri Nur Wirawan, 2014, Departemen Arsitektur Lanskap Fakultas Pertanian IPB
  8. Prasasti dan Budaya Sunda. Pikiran Rakyat, 16 November 2009, Elis Suryani N.S. Dosen dan Mahasiswa S3 Filologi Unpad

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun