Mohon tunggu...
Wardatul 'Uyun
Wardatul 'Uyun Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Hijab Stylist at: http://www.youtube.com/TheHasanVideo

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Maraknya Kultur Hate Speech: Ambiguitas Sosial dalam Kebebasan Berpendapat

3 Juni 2013   07:50 Diperbarui: 30 Oktober 2015   15:00 734
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13702205291885235152

[Didowardah]Penyegelan masjid kembali terjadi di Bekasi (04/04/2013). Masjid Al Misbah yang berlokasi di Jalan Terusan Pangrango, Nomor 44, Jatibening II, Pondok Gede, Bekasi, Jawa Barat disinyalir sebagai pusat kegiatan aktivitas Ahmadiyah yang dianggap sesat. Ini adalah satu dari beberapa kasus baru yang kembali mewarnai tahun 2013.

Kasus ini menguatkan apa yang diucapkan oleh Ketua Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS) UGM, Zainal Abidin Bagir. Beliau menyebutkan bahwa kasus penodaan agama dan rumah ibadah di Indonesia menunjukkan trend yang meningkat dari tahun ke tahun. Bahkan tidak tertutup kemungkinan kejadiannya akan terus meningkat pada tahun 2013 (Tempo 25/04/2013).

Tidak bisa dipungkiri bahwa kasus penyegelan dan tindakan kekerasan terhadap suatu kelompok atau individu seringkali diawali dengan hasutan. Hasutan tersebut bisa melalui pamflet, berita, pidato ataupun siaran yang berisi kebencian, yang dikenal dengan istilah “hate speech”. Hate speech umumnya bersifat menyerang kelompok atau individu yang dianggap sebagai lawan.

Hate speech merupakan wacana kebencian yang mampu merampas hak asasi dan kebebasan pihak lain. Di sisi lain, hate speech juga berlindung di balik kebebasan berbicara dan berpendapat. Lalu, kasus apa saja yang sudah melibatkan wacana kebencian? Bagaimana menyikapi fenomena ini? Bagaimana peran negara dan aparat agar hate speech yang berpotensi kekerasan tidak berkembang menjadi kekerasan yang faktual? Apakah wacana kebencian di larang? Tidakkah hal ini bertentangan dengan semangat kebebasan berpendapat dan berbicara?

Seperti disinggung sebelumnya, mayoritas kasus kekerasan di Indonesia tidak lepas dari wacana kebencian; begitu juga dengan kasus penyegelan Masjid Al Misbah yang juga tidak lepas dari hate speech. Sukandar, misalnya, salah satu warga Bekasi yang setuju dengan penyegelan Masjid memberikan pendapat bahwa walaupun mereka bertakbir, berkiblat sama, ada yang disembunyikan, yang disembunyikan itulah yang menyimpang (Merdeka.Com 04/04/2013)

Kata “menyimpang” mengandung muatan negatif yang mampu menciptakan kebencian diantara umat Islam sehingga menyulut tindak kekerasan. Salah satunya yaitu adanya pembenaran untuk menyegel dan melarang melakukan aktivitas di dalam Masjid. Dalam kasus ini, jelas sekali bahwa hate speech menjadi persoalan serius karena yang diproduksi bukan hanya kebencian, melainkan juga hasutan untuk melakukan penyegelan. Dalam kasus lain, hate speech bahkan mampu menciptakan kekerasan atas nama agama.

Beberapa solusi yang diharapkan mampu mencegah perilaku hate speech diantaranya yaitu pertama, menghindari model retorika dakwah atau pengajian yang agresif. Issu soal retorika yang agresif dan merendahkan kelompok lain, misalnya, muncul dalam kasus MTA dan Syiah Sampang. MTA mendorong ketegangan hubungan antar kelompok agama karena kritik yang disampaikannya secara terbuka terhadap praktik kelompok lain. Dalam kasus Syiah Sampang, muncul tuduhan bahwa Tajul Muluk merendahkan keyakinan kelompok lain mengenai penghormatan terhadap sahabat Nabi dalam ceramahnya meski tuduhan ini dibantah Tajul Muluk dan tidak terbukti.

Dalam banyak kasus, perbedaan pemahaman keagamaan seperti perdebatan seputar bid’ah dan istilah kafir menjadi ladang subur untuk menanamkan wacana kebencian yang menyulut tindak kekerasan. Karena itu tindakan tersebut sudah sepatutnya dihindari agar tidak menimbulkan ketegangan yang bisa berkembang menjadi amuk massa.

Kedua, menghindari praktik keagamaan yang bersifat eksklusif. Setiap orang mempunyai kebebasan untuk memilih dimana dan dengan siapa ia beribadah. Bagaimanapun, potensi kerentanan sosial akibat perilaku ekslusif perlu mendapat perhatian agar tidak menimbulkan pandangan-pandangan negatif yang bisa berkembang menjadi hate speech.

Ketiga, kesadaran masyarakat untuk melakukan filter terhadap informasi yang mereka dapatkan dari media. Terutama informasi yang diperoleh dari dunia maya. Seringkali informasi yang kita peroleh dari dunia maya cederung mudah menyebar dan bersifat provokatif tanpa diimbangi dengan sumber yang jelas.

Sementara dalam Laporan Kehidupan Beragama 2013 yang dikeluarkan oleh Center of Religious and Cross Culture Studies (CRCS) Universitas Gadjah Mada yang dipublikasikan pada Kamis (25/04/2013) lalu menyatakan bahwa dalam ranah hukum, terdapat aturan yang melarang penyebaran wacana permusuhan yaitu terangkum dalam KUHP pasal 156a. Dibanyak negara, termasuk negara-negara demokrasi yang sudah maju di Eropa Barat dan Amerika Utara, hate speech di anggap sebagai ancaman terhadap fondasi sosial yang memungkinkan berfungsinya demokrasi.

Hanya saja penegakan hukum terhadap pelaku hate speech di Indonesia belum mendapat perhatian yang serius. Dalam kasus Sampang (07-09/2012) misalnya, terdapat bukti menujukan peran Rois Hukama, saudara Tajul Muluk, memprovokasi untuk melakukan kekerasan terhadap Tajul Muluk. Dalam kurun waktu tertentu Rois Hukama nampak tak tersentuh meski banyak bukti menunjukan perannya dalam menyebarkan wacana kebencian. Baru ketika tekanan dari berbagai pihak menguat, aparat keamanan menangkap Rois Hukama; namun demikian proses hukum terhadap Rois nampak lambat. Hal ini mengindikasikan lemahnya penegakan hukum terkait penyebaran wacana kebencian.

Ketegasan dari negara dan aparat dalam memberikan sanksi terhadap pelaku penyebaran hate speech sudah sepatutnya ditingkatkan. Bagaimanapun, diperlukan adanya pencegahan wacana kebencian dari masyarakat sendiri. Satu diantaranya yaitu kesadaran individu dalam masayarakat untuk tidak mempraktikan keagamaan yang bersifat eklusif yang mampu memicu wacana kebencian. Karena itu, pemerintah dan aparat seyogiyanya tidak akan berjalan dengan baik tanpa adanya dukungan dari masayarakat dalam mengkampanyekan anti hate speech.

 

Picture's taken from here.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun