Mohon tunggu...
didit budi ernanto
didit budi ernanto Mohon Tunggu... Freelancer - menulis kala membutuhkan

(ex) jurnalispreneur...(ex) kolumnispreneur....warungpreneur

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

(Bukan) Kado Terindah di Hari Anti Korupsi Sedunia

9 Desember 2019   11:22 Diperbarui: 10 Desember 2019   19:51 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Tulisan warga yang mengingatkan masih adanya korupsi di Indonesia di sebuah dinding jembatan layang di Jakarta, Sabtu (2/6/2012). Persoalan korupsi yang melibatkan pejabat publik, politisi dan anggota DPR yang tak kunjung usai membuat masyarakat semakin gerah dan marah. (KOMPAS/LUCKY PRANSISKA)

KPU telah menerbitkan Peraturan KPU tentang Pencalonan dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020. Ada hal menarik dalam Peraturan KPU Nomor 18 Tahun 2019 yang ditetapkan 2 Desember 2019 tersebut. Yakni, tidak dilarangnya mantan narapidana korupsi ikut mencalonkan diri dalam kontestasi di daerah.

KPU tidak secara tegas melarang eks napi koruptor menjadi calon kepala daerah dalam pelaksanaan pilkada serentar tahun 2020 nanti.  Keputusan yang ibaratnya bukan  kado terindah yang diinginkan pada peringatan Hari Anti Korupsi Sedunia, 9 Desember ini.

Betapa tidak, keputusan KPU itu jelas tidak sejalan dengan kegigihan bangsa Indonesia dalam memberantas tindak pidana korupsi. Semula memang ada ekspetasi tinggi manakala KPU berencana melarang eks narapidana korupsi ikut kontestasi pilkada 2020.

Pelarangan eks narapidana korupsi maju dalam pilkada bisa disebut sebagai sanksi tambahan bagi para koruptor. Pelarangan sebagai bentuk pencabutan hak politik bagi koruptor.

Tahun 2018 Transparansi Internasional menempatkan Indonesia di peringkat 89 dengan Indeks Persepsi Korupsi 38. Indeks Persepsi Korupsi Indonesia itu hanya naik 1 poin ketimbang tahun 2017 yang sebesar 37.  Itu sudah membuktikan bahwa Indonesia  sampai detik ini belum mampu membebaskan diri dari tindak pidana korupsi.

Telah banyak koruptor yang ditangkap lalu dijatuhi hukuman penjara. Tetapi, hukuman penjara nyatanya masih belum bisa memberikan efek jera. Lantas, muncul usulan hukuman mati bagi koruptor yang nyatanya tidak untuk diimplementasikan di Indonesia.  Usulan lain adalah memberikan hukuman tambahan seperti memiskinkan koruptor serta mencabut hak politik koruptor.

Pencabutan hak politik koruptor dalam beberapa kasus telah dilakukan. Di antaranya dikenakan kepada mantan Kakorlantas Polri Djoko Susilo, maupun mantan legislator Anas Urbaningrum. Pencabutan hak politik sebagai hukuman tambahan bisa dilakukan. Sebagai dasar hukumnya adalah Pasal 35 ayat 1 KUHP, lalu ada pasal 18 UU Tipikor.  Pun Pasal 7 ayat (2) huruf g UU No 10 Tahun 2016 tentang  Pilkada mengatur terpidana untuk mengajukan diri dalam pilkada.

Idealnya dalam kontestasi pilkada seluruh calon merupakan figur yang bersih, tidak memiliki catatan hukum, termasuk dalam kasus korupsi, serta memiliki integritas. 

Prasyarat itu penting agar pilkada yang menelan biaya tak sedikit itu menghasilkan kepala daerah-kepala daerah yang berkualitas, berintegritas serta memiliki komitmen tinggi memajukan rakyat di daerah yang dipimpinnya.

Jika saja KPU memutuskan melarang eks napi koruptor ikut pilkada, dari sisi upaya pemberantasan korupsi menjadi hal penting. Setidaknya, hal itu menjadi seleksi dini bagi siapapun untuk tidak melakukan tindak pidana korupsi supaya tetap bisa menggunakan hak politiknya maju dalam kontestasi pilkada.

KPU sendiri  jelas tidak bisa disalahkan jika kemudian memutuskan tetap mengizinkan eks napi koruptor ikut pilkada di tahun 2020.  Melarang eks koruptor ikut pilkada berarti tidak sesuai dengan HAM. UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM di  pasal 43 menyebutkan setiap orang berhak dipilih dan memilih dalam pemiliuhan umum, berhak turut serta dalam pemerintahan dan berhak diangkat dalam setiap jabatan.  

Lantas, ada Putusan MK No 42/PUU-XIII/2015 yang menyebutkan pasal 7 huruf g UU Pilkada tidak  mempunyai hukum  mengikat dikecualikan terpidana secara terbuka mau mengakui diri  sebagai mantan napi korupsi.  Selain itu, pasal 38 ayat 1 KUHP menyebutkan pencabutan hak hanya bisa diberlakukan terhadap eks napi dengan masa hukuman lebih dari 5 tahun.

Sementara hukuman koruptor di Indonesia rata-rata di bawah 5 tahun. Dengan demikian jika mengacu kepada pasal 38 ayat 1 itu, tentu saja KPU tidak bisa serta merta melarang eks napi koruptor ikut kontestasi pilkada.

Selain itu, pelarangan eks napi korupsi ikut pilkada juga tidak menjamin pemenang pilkada bisa mengemban amanah untuk tidak korup. Buktinya, sangat banyak kepala daerah yang tertangkap tangan melakukan tindak pidana korupsi dengan berbagai modus operandi.

Menurut catatan KPK dari tahun 2004-2018 ada sekitar 101 kepala daerah tinggkat II yang terjerat kasus korupsi. Kemudian sebanyak 20 gubernur tertangkap tangan dalam kasus korupsi.

Kasus-kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah di tahun 2019 terus bergulir. Sebut saja, Bupati Indramayu yang terjerat kasus gratifikasi proyek Dinas PUPR Kab Indramayu.

Tentu saja muncul pertanyaan mengapa banyak kepala daerah yang berani mempertaruhkan  jabatan dan kewenangannya untuk berbuat korup. Kepala daerah justru memanfaatkan jabatan dan kewenangan yang diamanatkan rakyat sebagai alat mencari uang atau memperkaya diri sendiri.

Perilaku korup itu lantas dikaitkan dengan ongkos politik yang harus dikeluarkan selama mengikuti pilkada. Asumsi  itu memang beralasan karena patut diragukan bilamana  setiap calon kepala daerah tidak mengeluarkan biaya sepeser pun.

Memang bukan dipakai sebagai mahar politik bagi parpol. Setidaknya calon kepala daerah harus mengalokasikan anggaran  guna mengongkosi  keperluan kampanye.  Sokongan dana dari  berbagai pihak pendukung, tidak berarti menafikan  calon kepala daerah  harus merogoh kantong membiayai operasional demi sukses pilkada.

Bilamana kemudian semua biaya politik itu  dianggap sebagai investasi, maka mindset-nya adalah   bagaimana mengembalikan investasi itu. Bila perlu ada profit materi yang didapat selama 5 tahun menjabat sebagai kepala daerah. Akibatnya, kepala daerah mudah tergoda berbuat korup.

Memang keputusan KPU jika melarang eks napi tidak menjamin output pilkada tidak korupsi saat menjabat. Tetapi, paling tidak keputusan itu bisa menjadi pembelajaran akan lahirnya pilkada yang bersih serta lahirnya kepala daerah-kepala daerah berintegritas yang bisa menjadi role model dalam upaya pencegahan tindak pidana korupsi.

Kepala daerah-kepala daerah  bersih yang bisa menjadi lokomotif bagi terciptanya daerah yang bebas dari ancaman segala macam bentuk tindak korupsi.

Bola panas kini ada di tangan calon kepala daerah, parpol serta masyarakat. Semuanya diserahkan ke etika dan integritas serta kesadaran diri bagi eks napi koruptor untuk tidak ikut kontestasi pilkada. Parpol juga hendaknya tetap pada komitmen mengusung calon kepala daerah yang bersih, berintegritas serta bebas dari masa lalu sebagai pelaku kejahatan korupsi.

Bagaimana dengan masyarakat? Sangat besar pengaruh masyarakat dalam memutuskan hasil pilkada. Dengan pelaksanaan pilkada langsung, masyarakat memiliki hak dominan menggunakan hak pilihnya sebagai penentu hasil pilkada.

Sikap apatis terhadap  pilkada bisa saja muncul bila yang muncul sebagai calon kepala daerah merupakan figur-figur yang pernah bermasalah dengan hukum. Figur yang pernah memperoleh sanksi hukum sebagai koruptor. Pasti  ada kekhawatiran figur yang bersangkutan mengulangi kejahatan korupsinya bilamana terpilih sebagai kepala daerah.

Keputusan KPU itu memang bukan kado terindah dalam  peringatan Hari Anti Korupsi Sedunia 9 Desember ini. Tetap saja hendaknya kado yang tak diinginkan itu tidak lantas membuat melemahnya semangat membersihkan Negara Kesatuan Republik Indonesia tercinta dari segala bentuk tindak kejahatan korupsi.  

Upaya pencegahan korupsi harus terus dilakukan. Langkah-langkah konstruktif dalam pemberantasan korupsi harus tetap berjalan sesuai koridor hukum yang ada. Ayo Lawan Korupsi! Dan, Selamat Hari Anti Korupsi Sedunia.*

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun