Mohon tunggu...
didit budi ernanto
didit budi ernanto Mohon Tunggu... Freelancer - menulis kala membutuhkan

(ex) jurnalispreneur...(ex) kolumnispreneur....warungpreneur

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

(Bukan) Kado Terindah di Hari Anti Korupsi Sedunia

9 Desember 2019   11:22 Diperbarui: 10 Desember 2019   19:51 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Tulisan warga yang mengingatkan masih adanya korupsi di Indonesia di sebuah dinding jembatan layang di Jakarta, Sabtu (2/6/2012). Persoalan korupsi yang melibatkan pejabat publik, politisi dan anggota DPR yang tak kunjung usai membuat masyarakat semakin gerah dan marah. (KOMPAS/LUCKY PRANSISKA)

Lantas, ada Putusan MK No 42/PUU-XIII/2015 yang menyebutkan pasal 7 huruf g UU Pilkada tidak  mempunyai hukum  mengikat dikecualikan terpidana secara terbuka mau mengakui diri  sebagai mantan napi korupsi.  Selain itu, pasal 38 ayat 1 KUHP menyebutkan pencabutan hak hanya bisa diberlakukan terhadap eks napi dengan masa hukuman lebih dari 5 tahun.

Sementara hukuman koruptor di Indonesia rata-rata di bawah 5 tahun. Dengan demikian jika mengacu kepada pasal 38 ayat 1 itu, tentu saja KPU tidak bisa serta merta melarang eks napi koruptor ikut kontestasi pilkada.

Selain itu, pelarangan eks napi korupsi ikut pilkada juga tidak menjamin pemenang pilkada bisa mengemban amanah untuk tidak korup. Buktinya, sangat banyak kepala daerah yang tertangkap tangan melakukan tindak pidana korupsi dengan berbagai modus operandi.

Menurut catatan KPK dari tahun 2004-2018 ada sekitar 101 kepala daerah tinggkat II yang terjerat kasus korupsi. Kemudian sebanyak 20 gubernur tertangkap tangan dalam kasus korupsi.

Kasus-kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah di tahun 2019 terus bergulir. Sebut saja, Bupati Indramayu yang terjerat kasus gratifikasi proyek Dinas PUPR Kab Indramayu.

Tentu saja muncul pertanyaan mengapa banyak kepala daerah yang berani mempertaruhkan  jabatan dan kewenangannya untuk berbuat korup. Kepala daerah justru memanfaatkan jabatan dan kewenangan yang diamanatkan rakyat sebagai alat mencari uang atau memperkaya diri sendiri.

Perilaku korup itu lantas dikaitkan dengan ongkos politik yang harus dikeluarkan selama mengikuti pilkada. Asumsi  itu memang beralasan karena patut diragukan bilamana  setiap calon kepala daerah tidak mengeluarkan biaya sepeser pun.

Memang bukan dipakai sebagai mahar politik bagi parpol. Setidaknya calon kepala daerah harus mengalokasikan anggaran  guna mengongkosi  keperluan kampanye.  Sokongan dana dari  berbagai pihak pendukung, tidak berarti menafikan  calon kepala daerah  harus merogoh kantong membiayai operasional demi sukses pilkada.

Bilamana kemudian semua biaya politik itu  dianggap sebagai investasi, maka mindset-nya adalah   bagaimana mengembalikan investasi itu. Bila perlu ada profit materi yang didapat selama 5 tahun menjabat sebagai kepala daerah. Akibatnya, kepala daerah mudah tergoda berbuat korup.

Memang keputusan KPU jika melarang eks napi tidak menjamin output pilkada tidak korupsi saat menjabat. Tetapi, paling tidak keputusan itu bisa menjadi pembelajaran akan lahirnya pilkada yang bersih serta lahirnya kepala daerah-kepala daerah berintegritas yang bisa menjadi role model dalam upaya pencegahan tindak pidana korupsi.

Kepala daerah-kepala daerah  bersih yang bisa menjadi lokomotif bagi terciptanya daerah yang bebas dari ancaman segala macam bentuk tindak korupsi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun