Mohon tunggu...
Didin Abramovich Alfaizin
Didin Abramovich Alfaizin Mohon Tunggu... Lainnya - Pengamat layar laptop

Bukan tukang kritik, hanya penyampai ide. Penyuka anime. Punya impian menganggrekkan lorong depan rumah. Salam literasi dari langit suram Makassar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kulit Kacang

23 Februari 2023   08:55 Diperbarui: 23 Februari 2023   08:58 185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Berterima kasihlah pada Penguasa Semesta untuk malam yang hadir di separuh hari. Dalam kegelapannya, kita dapat menyembunyikan sedikit kisah hidup yang kelam, tak terkecuali aku.

Aku adalah antagonis untuk setiap manisnya sebuah mimpi. Di sini, tidak kuceritakan diriku sebagai pahlawan, walau ini kisah hidupku. Aku hanya sebongkah sampah kehidupan yang terbentuk dari ketidakmampuan menahan iming sebuah godaan dunia. Aku sering dan selalu mengemis atensi, dan berharap pada afeksi dari orang di sekelilingku, hanya untuk sebuah pengakuan dunia. Pengharapan itu justru menjadi bom waktu yang mengantarkan pada kenistaan dan menghantui masa depanku.

Di setiap langkah yang terbentang, justru membawaku jauh lebih dalam, di sebuah kegelapan yang teramat sangat. Melemahkan dan juga membuat imanku tak lagi mampu bersuara.

Dan pada akhirnya, perjalanan yang jauh ini menghentikanku di sebuah titik, di mana tak ada lagi yang mampu menyapa, lalu terdapat sepotong lembar putih.

"Siapa kamu?" Mulutku bergetar hanya sekedar mengucapkan dua patah kata. Sunyi mengepung dan membekap ragaku yang ringkih.

Tak ada sahutan. Hanya gema tawa mengganggu kemudian. Mungkin ini bagian dari jiwaku yang tersisa. Oh, masih ada juga dalam diriku yang suci, pikirku sejenak.

Lembaran itu menutup mata yang terlalu lelah dengan dunia. Aku tenang dalam kesunyian. Kubiarkan diriku membaur dan menyatu bersama gelak tawa, begitu lama. Dalam keteraturan yang menghanyutkan jiwa, aku tersentak, dan terbangun dengan dahi melekat erat di lantai beralas sajadah usang. Aku tengah bersujud dengan hati beku dalam kamar temaram.

"Allahu akbar."

Gerakan takbir khidmat itu justru bertolak dengan maksiat yang kumainkan selama ini. Sisi gelap yang kusembunyikan di kegelapan malam yang hadir di balik terali jendela kamar.

"Dia memang anak kebanggaan Ibu, Yah," bisik Ibu selalu sama ketika beberapa kali kutertangkap sedang bersujud oleh orang rumah, bahkan untuk kali ini.

Mereka tak sadar kalau aku tak sealim yang terlihat. Benar juga kata pepatah, kalau sampul buku itu tak melulu mencerminkan isinya.  Mereka memandangku dari kulit saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun