Mohon tunggu...
Didik Teguh R
Didik Teguh R Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Bunga-bunga Cengkih

8 April 2017   18:57 Diperbarui: 9 April 2017   02:30 274
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

KANGEN …

Tiba tiba aku kangen pada Dusun Sembir, Desa Blado, Kecamatan Blado yang dulu eksotik. Tanah kelahiran bapak ku, di kaki pegunungan Kamulyan, pelosok Kabupaten Batang. Rindu embun,  gemericik sendang, mata air,  aroma daun cengkih dan harumnya biji kopi. Heem sedapnya….

Dulu, puluhan tahun silam,  bunga cengkih begitu berharga. Aku ingat benar. Kala itu, tiap pagi aku masih pakai merah putih, seragam SD.  Sebulan atau dua bulan sekali, Bapak mengajaku menyambangi orang tuanya di Blado. Aku menginap sehari, dua hari di rumah eyang.  Semalaman menikmati kegelapan dan  bunyi bunyi khas serangga gunung. Suaranya melengking lengking. Tembus gendang telinga dan menusuk tusuk lapisan ionosfer. Menghipnotis, disergap lelap.

Dan, begitu mentari semburat merah,  aku langsung loncat kabur ke kebun dan sungai kecil. Memanjat pohon cengkih yang masih dibasahi embun. Meliuk liuk diantara cabang, sampai puncak pohon. Atau, memuas muaskan diri berendam, berburu ikan pitak di sungai berbatu sambil telanjang.

Emas hijau, kata penyiar TVRI yang selalu tampil berbusana rapi,  meski petang hari. Ku tahu istilah Emas Hijau  itu, kala nonton dunia dalam berita di televise hitam putih. Berdesakan  di serambi halaman rumah seorang Jenderal Polisi, tetangga di Desa Kuripan, Pekalongan. Saat warga pribumi kaki gunung Kamulyan  masih berkerudung sarung, menghalau dingin sembari meringkuk  tidur. Sementara, bayangan ratusan pohon cengkih di pelataran rumah dan kebun menjelma raksasa raksasi, serupa dewa dewa mitologi Hindu.

Sebelum tangan tangan  BPPC yang di otaki  Tommy Soeharto  merasuk kepelosok dusun, menghajar kaum tani. Kala itu, berkebun cengkih masih menjanjikan kemakmuran. Tak Cuma bunga cengkih, Bahkan, tangkai dan daun cengkih pun laku dijual. Tiap pagi buta, usai subuh, bocah bocah seumuran pelajar SD bersijingkat mengitari pohon pohon cengkih. Seringkali, juga mendapat biji biji kopi merah basah yang tak sempat dibawa sembunyi ke sarang luwak. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun