Mohon tunggu...
Didik Sedyadi
Didik Sedyadi Mohon Tunggu... Administrasi - Suka berdiskusi tentang matematika bersama anak-anak SMAN 1 Majalengka. Hobby menulis. Tinggal di Majalengka Jawa Barat

Suka berdiskusi tentang matematika bersama anak-anak SMAN 1 Majalengka. Hobby menulis. Tinggal di Majalengka Jawa Barat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cinta dan Dendam Kesumat

9 Juni 2014   00:21 Diperbarui: 20 Juni 2015   04:39 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

CINTA DAN DENDAM KESUMAT

Hati Pertiwi berdebar!

Sabtu siang wanita muda itu berada di Grage Mall. Ia tak menyangka tempat itu akan membuat hatinya bergetar. Ia melihat sinar mata laki-laki itu seperti sinar mata Wasis. Tapi ini Cirebon, Wasis adalah masa lalu di Yogyakarta.

Sejenak Pertiwi membuang angan-angan. Ia kembali memilih-milih sandal. Akan tetapi menjadi sangat benci kepada dirinya sendiri ketika hatinya tak bisa dibohongi. Ia ingin sekali lagi melihat laki-laki itu. Ketika ia mencoba menoleh perlahan, ternyata laki-laki itu pun sedang mengamati dirinya. Laki-laki itu tersenyum. Jantung Pertiwi berdebar cepat ketika laki-laki itu ternyata menghampirinya. Pertiwi mengalihkan pandangan.

“Wiwi?” laki-laki itu menyemtuh pundaknya. Pertiwi salah tingkah.

“Siapa? Siapa ya?” Pertiwi tak yakin laki-laki itu dikenalnya.

“Ini Wiwi kan? A-rum-ing Per-ti-wi?” laki-laki itu mengeja namanya.

“Mas Wasis?” Pertiwi menelan ludah. Ia kaget. Hanya Wasis lah yang mempunyai panggilan Wiwi kepada dirinya. Selain Wasis, memanggilnya Arum.

“Iya Wi ….. ini aku, Wasis.”

“Maaasssss…!” Pertiwi memeluk erat laki-laki di hadapannya. Sandal yang dipegangnya dilemparkan begitu saja. Pelayan yang berada di dekatnya hanya terheran-heran melihat adegan itu sambil menelan ludah.

“Sssstt….. Wi… sudah! Malu dilihat orang!”

“Ooochhh…” kata Pertiwi seraya melepas pelukannya. Wajah Pertiwi merah menahan malu. Wasis bukan apa-apanya. Tetapi ia benar-benar reflek. Tak ada kesadaran sama sekali.

“Mana Mas Dayat suamimu?”

Pertiwi tidak segera menjawab. Sejurus kemudian tanga Pertiwi menggamit lengan Wasis, turun ke lantai I melalui escalator. Yang diseret hanya menggelengkan kepala. Laki-laki itu baru paham ketika Pertiwi membawanya ke Café KFC.

Sambil menanti pesanan datang, Wasis mengulangi pertanyaan.

“Suamimu ke mana Wi?”

“Pergi jauh. Mas Dayat dikirim ke Aceh , menjadi duta negara untuk menumpas GAM.”

“Ke Aceh? Ooo… ya mudah-mudahan saja kondisi Aceh cepat pulih, kondusif, aman dan tenteram. Agar yang punya keluarga kembali berkumpul. Tapi benar kok Wi, Mas Dayat sebagai anggota TNI menjadi duta negara, kata lain menjadi duta bumi Pertiwi, kekasihnya.”

“Aaaah bisa saja Mas Wasis!”

“Cocok kan, TNI mendapatkan Aruming Pertiwi, Wanginya Tanah Air. Memang Pertiwi harus dibela TNI. Yaaa…yaaaa…. seperti Pertiwi memang sudah seharusnya memilih TNI… hahaaa!”

“Aaah Mas, sudahlah, tak usah mengungkit itu lagi.Tapi Mas, tak ada salahnya sekarang saya ucapkan terima kasih pada Mas Wasis.”

“Atas apa?”

“Seribu satu nasehat. Mudah-mudahan mendapat balasan yang setimpal. Amin.”

“Amin. Waaah… kok malah ikut-ikutan mengamini to?”

“Hihihi….. ! Eh Mas, kenapa Mas ada di Cirebon sih?”

“Nasib Wi. Saya kerja di kota ini, jadi staff Bank Bramantya Nusantara.”

“Staff apa kepala?”

“Staff-nya pusat.”

“Kepala cabang dong?”

“Nasib Wi , jalani saja, beginilah Wasis sekarang….”

“Ooo jadi sekarang saya sedang berhadapan dengan Boss ya?”

“Aaaahh… sudahlah! Hahaaa…. Eh, putranya kok nggak diajak? Sudah berapa?” Wasis bertanya mengalihkan pembicaraan.

“Ah nggak saya ajak.”

“Kasihan, ibunya maunya pergi sendiri.”

“Kasihan kenapa? Memang belum punya kok?”

“Belum punya?”

“Belum.”

“O ya maaf kalau begitu Wi, saya tidak tahu. Tapi pantasnya sih sudah punya dua, paling tidak satu.”

“Mas Wasis sendiri putranya berapa?” tanya Pertiwi sambil menyedot softdrink.

“Anak dari mana? Dari siapa? Wi…. Wiwi lupa dengan sifat Wasis ini ya? Apa Wasis ini mudah menghilangkan catatan dalam waktu singkat?” kata Wasis mulai mengambil nasi kemudian disuapkan ke mulutnya untuk menutupi perasaannya.

“Iiiih Mas ini tetap saja, dari dulu suka bikin penasaran orang.”

“Wi, apa Wiwi lupa ketika saya pernah mengatakan, saya tidak rela jika turunanku kelak bukan dengan wanita yang merawatku di rumah sakit Sardjito….. lupa Wi?” tanya Wasis pelan.

Bergetar jemari Pertiwi demi mendengar kalimat itu dari Wasis. Ingat. Ia ingat benar kalimat itu. Kalimat itulah yang mampu membuat bumi ini guncang bagi Pertiwi. Kalimat yang didasari cinta dan kesetiaan. Wadat, sumpah seorang laki-laki yang berjanji tak akan menikahi wanita lain selain dirinya sampai kapanpun.

Keringat dingin membasahi dahi Pertiwi. Punggungnya pun mulai basah. Wanita muda itu tertunduk dalam. Matanya tiba-tiba terasa panas. Perlahan ia mengambil sapu tangan untuk menyeka air mata yang meleleh. Ia tahu Wasis masih mengamati dirinya, namun ia sama sekali tak kuasa untuk menatap mata Wasis.

***

Beberapa waktu telah lewat. Setiap sudut kota Yogyakarta telah disusuri Pertiwi dan Wasis sebagai sepasang kekasih, tak ada yang terlewat. Semuanya terlalui dengan kenangan yang dalam.

Pertiwi ingat saat-saat awal pertemuan dengan Wasis. Seorang mahasiswa UGM yang hampir menyelesaikan studi, tetapi stress menghadapi tugas akhir hingga berakibat menyerang mag-nya. Inilah mula ketika ia masuk ke rumah sakit.

“Panasnya sudah berkurang Mas , saran dokter tidak mikir yang berat-berat. Tunda dulu skripsi. Utamakan kesehatan.” Kata Pertiwi waktu itu.

“Mbak namanya siapa?” tanya Wasis tak peduli dengan petuah.

“Lho kok malah tanya begitu?”

“Namanya Pertiwi ya?”

“Lho kok tahu?”

“Itu di tanda pengenal…..”

“Ooooo…..” Pertiwi baru sadar. Keduanya tertawa.

“Kalau A-nya apa?”

“Aruming.”

“Panggilannya?”

“Arum.”

“Saya akan panggil mbak Arum dengan panggilan Wiwi.”

“Iiiih….. nggak ada yang memanggil Wiwi.”

“Ada, saya, pasien stress yang kena mag!”

Grage Mall. Café KFC. Di tempat ini Wasis mencoba mengurai kenangan ketika ia dirawat oleh Pertiwi dulu. Pertiwi tersenyum, berat. Namun hanya beberapa sekon. Kini Pertiwi menggigit bibirnya hingga terkatub. Ia mencoba menatap mata Wasis dengan mengumpulkan keberanian.

“Mas Wasis, perawat yang dulu sudah hilang. Tak perlu di….. di…. cari.. llaaa..gi” kalimat Pertiwihampir tak selesai. Kalimatnya seperti tertimbun perasaannya yang ditunjukkan dengan menetesnya air mata dari kedua matanya. Lehernya terasa sesak.

“Wi…. dengarkan, kali ini saja. Perawat yang dulu memang telah hilang, tapi Wasis yakin hanya….yang… yang hilang hanya fisiknya saja. Hati Wiwi masih Wasis rasakan, cinta Wiwi yang dulu masih Wasis rasakan….” Kata Wasis lemah dan perlahan dekat telinga Pertiwi.

Air mata Pertiwi semakin deras.

***

Pertemuan di Grage Mall telah berlalu.

Hari itu jantung dan hati Pertiwi bergetar kembali. Kali ini bukan oleh kedatangan Wasis, tetapi karena kedatangan utusan dari markas, dari Komandan Batalyon Cakra Bhuya 451. Utusan mengatakan bahwa Sersan Widayat gugur ditembak GAM. Berita itu dengan cepat tersiar ke seluruh penjuru melalui siaran media, baik cetak, audio mapun audio-visual

Di hari pemakaman Sersan Widayat, Wasis selalu mendampingi Pertiwi. Hati wanita itu selalu dibesarkan agar selalu tabah menerima cobaan. Beberapa orang yang kenal, dikenalkan pada Wasis yang diaku sebagai kakaknya yang berasal dari Yogyakarta. Kecuali kepada orang tua Pertiwi yang tidak bisa berbohong.

Malamnya ibu Pertiwi mengajak anaknya bicara.

“Rum, kalau ibu lihat, Wasis masih seperti dulu. Masih seperti ketika di Yogya.”

“Kelihatannya begitu Bu. Kebetulan Mas Wasis bekerja di Cirebon. Ya di Cirebon inilah kira-kira sebulan yanglalu Arum ketemu Mas Wasis Bu.”

“Ooo pantas saja. Dekat Majalengka sini to? Kerja apa dia?”

“Kepala Cabang Bank Bramantya.”

“Oooo sudah jadi orang yang kepenakhidupnya.”

“Kalau diukur dengan hartaa mungkin dia berbahagia Bu.”

“Memangnya kenapa?”

“Dia masih bujangan Bu.”

“Kasihan sekali dia.”

“Semua terjadi karena Arum, ibu.”

“Karenamu? Apa maksudnya?”

Nuwun sewuibu, ibu mau percaya atau tidak, sebenarnya dahulu ketika Arum dijodohkan, Mas Wasis sudah prasetya, sumpah wadat, tidak akan menikah selamanya jika tidak ….. jika tidak dengan…jika tidak dengan Arum.” terhenti kalimat Pertiwi . Perempuan yang kini telah menjadi janda itu menangis terisak-isak di pangkuan ibunya.

“Maafkan Ibu Rum, maafkan ayahmu . Dulu sebenarnya ibu dan ayah tahu, seberapa besar cinta kamu pada Wasis, atau Wasis pada kamu. Hati ibu juga seperti kamu ….”

“Sudah ibu sudaah….” kata Pertiwi seraya menyeka air matanya.

“Maafkan ayahmu yang dulu memisahkanmu….”

“Sudah Bu, saya sudah ikhlas, pasrah ….”

“Pasrah tapi hatimu sakit naaak….. maafkan ibumu ini…..” kata ibunda Pertiwi sambil memeluk anaknya. Yang dipeluk kembali meneteskan air matanya.

***

Tiga bulan kemudian.

Saat ini Wasis sering datang ke rumah Pertiwi. Di suatu kali bahkan Wasis menyatakan niatnya untuk mengajak Pertiwi mendampingi hidupnya. Sementara Pertiwi sendiri sudah tidak kaget terhadap permintaan Wasis.

Suatu kali di Telaga Remis, Wasis menggoda Pertiwi.

“Wi sayang, Mas mau ajukan beberapa pertanyaan, boleh ya?”

“Boleh. Biasanya juga bertanya.”

“Tapi pertanyaan ini sudah ada jawabannya.”

“Sudah ada jawaban? Ya nggak usah tanya saja!”

“Tapi harus ditanyakan.”

“Terus?”

“Jawaban Wiwi harus ya!”

“Harus ya ?”

“Ya.”

“Wuah kok aneh. Kaya diktator saja!”

“Biarlah sekali-sekali jadi diktator. Wi…. Wiwi merasa nggak, kalau aku masih mencintai Wiwi ?”

“Ya.”

“Wiwi juga masih mencintai Wasis kan?”

“Eeemmmm …. Gimana yach? Ah nggak tahu!”

“Jawabannya harus ya !”

“Iyaaaa, iyaaaaa…..” jawab Pertiwi sambil tersenyum malu.

“Wiwi beberatan nggak, kalau minggu depan saya ke Kulonprogo, sowan Bapak Ibu, untuk melamar putrinya yang cantik.”

“Aaaah ngak tahu mas! Maluuu…..”

“Jawabannya harus ya !”

“Iyaaaa…… iyaaaaa…yaaa.”

“Naaahh gitu…. “ kata Wasis lega.

Melihat Wasis yang tersenyum penuh harapan itu, Pertiwi ingin menggoda. Ia memanggil perlahan. Wasis menoleh.

“Ada apa?”

“Ntar kalau sampai di Kulonprogo, ternyata Pertiwi sudah dijodohkan lagi oleh bapaknya? Bagaimana?”

“Nggak apa-apa.”

“Benar?”

“Nggak apa-apa. Paling juga aku bunuh diri minum racun. Aaaah nggak Wi, aku nggak bercanda. Hati Wasis sudah tidak bisa ditawar, sekali ini Wiwi tidak jadi istri Mas, aku duluan mati. Mas tunggu Wiwi di sorga.”

“Dosa Mas! Sorganya siapa yang disediakan untuk pembunuh diri. Neraka bagiannya Mas.”

“Ya sudah, bunuh diri tidak jadi, tapi Wiwi Mas ajak kawin lari!”

“Mas!”

“Aku sudah lama mengkhayal Wi, selama ini hanya bayangan kebahagiaan yang ada. Tak pernah dekat, tak pernah menyayang, tak pernah memuji, mengagumi, membelai jemari, mem …..”

“Sssttttt… sudah jangan dilanjutkan Mas.”

“Aku sudah ingin punya anak Wi. Aku sudah tua.”

“Enak saja. Masih muda, Mas Wasis ,masih muda.”

“Ingin punya anak perempuan, yang lucu, yang pinter, yang manjanya kaya ibunya, yang cantiknya kaya ibunya ……”

Bahagia hati Pertiwi mendengar kata-kata Wasis. Sejak dulu memang Pertiwi tak pernah meragukan cinta Wasis. Perempuan itupun berharap, kali ini semuanya menjadi kenyataan. Pertiwi sedikit demi sedikit mencoba membangkitkan kembali cintanya yang telah lama terkubur bersama tanggung jawabnya sebagai istri Sersan Widayat. Suaminya kini telah almarhum. Kesempatan itu datang. Cinta manusia tak pernah usang oleh keadaan. Ketika menjadi istri Sersan Widayat, Pertiwi memendam cintanya pada Wasis di tempat yang paling dalam. Yang muncul di permukaan adalah cinta pada Sersan Widayat, yang didasari atas penghomatan kepada ayah ibunya yang telajh menjodohkannya, bukan cinta yang alamiah muncul dari lubuk hatinya sendiri.

Hari itu Wasis dan Pertiwi bersiap-siap berangkat ke Kulonprogo.

Belum lagi keduanya berbenah, tiba-tiba datang rombongan polisi berkendaraan menghampiri mereka berdua. Hati Pertiwi gelisah. Wasis pun kelihatan pucat wajahnya. Tak lama kemudian Wasis menerima surat penangkapan atas dirinya. Tak banyak bicara di antara mereka. Wasispun tak berontak ketika ia dibawa mobil polisi. Pertiwi tertegun. Ia hampir tidak menyadari yang terjadi begitu cepatnya.

Dua hari beselang, Pertiwi menjenguk Wasis di tahanan.

“Mas Wasis korupsi?” tanya Pertiwi bernada menyalahkan.

“Buat apa korupsi Wi. Uang gajiku cukup. Bahkan sebagai kepala cabang, uangku melimpah. Aku hidup sendiri, tak punya tanggungan. Tak ada kamus korupsi dalam hidupku.”

“Lalu kenapa?”

“Ini masalah cinta Wi.”

“Tidak mungkin masalah cinta sampai membawa Mas Wasis ke polisi, sebentar lagi tentunya pengadilan ….”

“Wiwi…. Aruming Pertiwi….. cinta memang aneh. Harta melimpah rasanya hambar. Itu yang Mas alami. Mas telah lama memendam cinta yang utuh dari Wiwi…”

“Aku tahu Mas.”

“Maafkan Mas sebelumnya Wi. Masalah ini memang ada kaitannya dengan kita.”

“Apa masalahnya?”

“Wi, Mas punya teman dekat, tentara juga, namanya Dawud. Suatu saat HP dia hilang di tempat tugasnya. Memang nasib harus diterima Dawud. Di HP-nya ada sms berbunyi: Kamu bereskan orang itu, mumpung konflik sedang berkobar. Kamu punya alibi. Keluargamu aku jamin. Kalimat pendek itulah yang menjadi masalah besar, Dawud diinterogasi. Akhirnya dia mengaku telah membunuh orang. Kejadiannya di konflik GAM, di Aceh, Wi.”

“Dia pembunuh bayaran?”

“Dia tentara baru, temanku di Klaten. Dia menembak sasaran yang diperintahkan.”

“Terus apa hubungannya dengan Mas Wasis?”

“Aku yang memerintah dia membunuh orang.”

“Ooochhh…. ja…jadi Mas Wasis yang memerintah?”

“Ya. Aku memang sudah kerasukan iblis, Wiwi. Konflik di Aceh akan memudahkan Dawud  mengambil alibi. Orang itu tentu disangka ditembak oleh GAM.”

Pertiwi terdiam. Sama sekali ia tak menyangka bahwa Wasis adalah pembunuh. Memerintah membunuh sama saja pembunuh. Ada perasaan jeri tiba-tiba terbersit di hati Pertiwi. Ditatapnya mata Wasis dengan tak percaya.

“Tak menyangka Mas… Mas Wasis orangnya kejam.”

“Dendamku dalam sekali Wi…, dendam kesumat.... sakiiit Wi..”

“Kenapa sejauh itu Mas?”

“Pernah Mas katakan, ini masalah cinta. Orang itu aku perintahkan dibunuh karena telah menghalang-halangi cintaku.”

“Siapa orang itu?”

“Penghalang cinta Wasis. Anggota Batalyon Cakra Bhuya 451, Sersan Widayat ! "

"Hah?!" Pertiwi terbelalak kaget.

"Laki-laki inilah yang telah merenggut cinta Aruming Pertiwi kepada Wasis ….. !” kata Wasis dengan wajah melemah gurat-gurat kulitnya.

Lemas tubuh Pertiwi. Mendengar nama Sersan Widayat disebut, mendadak kepala wanita terasa melayang. Beberapa jenak kemudian tubuh itu melorot dari kursi, kemudian jatuh berdebum. Polisi yang menunggui keduanya bertemu segera mengurus Pertiwi yang jatuh pingsan.

Hari-hari berikutnya dilalui Pertiwi dengan hampa. Hingga saat ini, ia tak pernah mendapat jawaban masuk akal , mengapa Wasis menjadi begitu gelap mata menumpahkan dendam kesumatnya. Air matanya menetes tak terasa. Ia menyesal mengapa kehadirannya di dunia menjadi penyebab kematian suaminya.

Pertiwi juga menyesal, mengapa ia menjadi wanita yang dicintai begitu dalam oleh laki-laki bernama Wasis, sehingga harus rela melakukan apa saja demi cintanya. Tak ada harapan, suaminya meninggal bukan karena tugas, tapi karena dendam cinta.Wasis, laki-laki yang diharapkan menjadi pelabuhan cintanya yang terakhir pun harus menjalani hukuman seumur hidup. ***

Majalengka, 08 Juni 2014  - pukul 16.00 selesai

(ide ini muncul di tahun terjadinya konflik Pemerintah - GAM 2003 -

sepuluh tahun lalu)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun