Mohon tunggu...
Didik Sedyadi
Didik Sedyadi Mohon Tunggu... Administrasi - Suka berdiskusi tentang matematika bersama anak-anak SMAN 1 Majalengka. Hobby menulis. Tinggal di Majalengka Jawa Barat

Suka berdiskusi tentang matematika bersama anak-anak SMAN 1 Majalengka. Hobby menulis. Tinggal di Majalengka Jawa Barat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerita 8 Seri: Serpihan Edelweis (5)

12 April 2014   12:52 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:46 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Seri 5 : SIAP MENGUBAH SEMANDING

Padukuhan Semanding termasuk ke dalam wilayah desa Lamuk. Padukuhan itu merupakan satu dari lima padukuhan yang ada. Ada padukuhan Pengempon, Pencil, Genting , Wonolobo, Ketasobo , Semanding , dan Lamuk yang sekaligus menjadi nama desanya . Desa Lamuk termasuk dalam kelompok desa tertinggi di wilayah barang lereng gunung Sumbing. Desa ini termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Kalikajar , Kabupaten Wonosobo.

Wilayah ini berada di lereng gunung Sumbing bagian Barat . Hampir memutar seratus delapan puluh derajat dari tempat pendakian di Parakan, sebelah timur gunung Sumbing. Daerah yang berketinggian sekitar 1,5 kilomteter DPL (Di atas Permukaan Laut) , setiap harinya udara terasa dingin menusuk tulang. Air yang berasal dari mata air lereng gunung terasa seperti es. Dari pagi hari, desa Lamuk selalu tertutup kabut tebal. Pandangan paling-paling sekitar dua puluh meter ke depan. Selebihnya gelap terhalang kabut putih. Menjelang tengah hari, matahari mulai nampak bersinar . Umumnya hanya beberapa jam saja matahari menyinari bumi, memasuki sekitar jam dua siang, kabut mulai turun kembali. Terus sampai sore hingga malam.

Sebagian warga di situ merupakan buruh penggarap ladang tembakau, kentang, atau klembak, atau beberapa tanaman khas dataran tinggi. Sebagian kecil menjadi juragan. Pemilik ladang, biasanya telah menjual tanamannya secara ijon kepada tengkulak bangsa Tiong Hoa . Sementara itu tanaman jagung merupakan tanaman yang nampak dominan pula. Tak ada padi. Itulah mengapa hampir tujuh puluh lima persen penduduk desa makanan pokoknya nasi jagung.

Suasana di desa tersebut benar-benar masih alami. Ketika menjelang tengah hari, burung-burung liar bernyanyi tak henti-henti. Di jalan yang belum beraspal sering ayam hutan melintas, meninggalkan kokoknya yang khas sambil berlari menyusup cepat di antara batang-batang jagung atau tanaman ladang lainnya.

Dua hari sudah Fauzi berada di padukuhan Semanding. Hampir seluruh warga telah menyempatkan diri menengok orang tersesat tersebut. Mereka silih berganti menjenguk, menanyakan hal-hal yang biasa hingga yang menanyakan ramalan nasib. Fauzi hanya tersenyum ketika ada yang bertanya tentang nasib. Ia sendiri sedang berkutat dengan nasib musibah. Tetapi semua dijawab Fauzi dengan baik. Fauzi maklum, tingkat pendidikan yang sangat rendah di desa tersebut tentu memberikan cerminan atas tingkah laku dan tata ucap dan pikir warga desa tersebut.

Hari itu Fauzi mandi satu kali . Seperti hari kemarin, Fauzi hanya mandi tengah hari. Waktu pagi dan sore, air terasa seperti es.Ia sama sekali tak berani mengguyur badannya dengan air serasa es. Siang itu Fauzi seusai mandi , duduk-duduk di depan rumah Pak Rumat, lelaki yang menolongnya. Di sekitarnya banyak sekali anak-anak kecil usia SD yang mengerumuninya. Baju mereka kumal-kumal. Rambut dan wajah mereka kotor. Sebagian dari mereka giginya kuning, bahkan ada yang coklat. Beberapa anak laki-laki nampak menikmati sedotan asap rokoknya . Kemarin hampir Fauzi tidak percaya, tetapi ketika Pak Rumat mengatakan merokok bagi anak kecil di Semanding , atau di Lamuk khususnya hal biasa. Tak ada yang aneh.

Di kerumunan anak-anak itu Fauzi mendapat panggilan nama baru yaitu Mas Medi. Medi artinya hantu. Ia tidak marah dengan nama barunya itu.Anak-anak itu hanya meneruskan celutukan orang ketika ia baru ditemukan. Memang semula ia disangka hantu.

Mas medi umahe neng ngendi?

“Rumahku? Jauh! Nanti kalau aku sudah sehat, kalian akan aku ajak menengok rumahku. Mau apa tidak?”

“Mauuuuuuu…!”

“Naik apa?”

“Naik colt gunduuuuullll!”

“Campur lemi ya?” Tanya Fauzi. Lemi adalah pupuk kompos yang terbuat dari kotoran sapi atau kambing yang sudah diolah bercampur tanah. Pupuk ini digunakan para petani untuk tanaman tembakau, kentang dan klembak ( umbi untuk campuran ramuan rokok ).

Iya, campur lemi Sumar kon mambu! Kon tambah mambu! Hahaaa!”

“Sudah .. sudah… tidak boleh saling ejek, tidak baik. Sesama teman harus saling puji, saling bantu. Ya nggak? Sekarang Mas Medi mau meminta kalian berubah tempat duduk Mau apa tidak?”

“Mauuuuuu!” Jawab mereka serempak. Fauzi tertawa.

“Ya bagus, nah ini, ini, sini yang sekarang sedang merokok maju ke depan. Uuuuh ada berapa yang merokok nih! Sini maju sini….”

Anak-anak kecil itu saling dorong. Hingga ada yang terjerembab. Yang lain bersorak melihat temannya terjerembab. Fauzi sibuk mengatur. Kini anak-anak yang memegang rokok tradisional itu berjajar di depan. Mereka cengar-cengir dan masih saling dorong. Fauzi tersenyum melihat tingkah polah mereka.

“Waaaahh… hebat nih, ada berapa yang merokok ya? Satu , dua ,….. engg… wuah ada delapan! Banyak sekali. Yang tidak merokok hanya….berapa? Lima!”

“Saya mau tanya ke yang suka merokok ! Kalin merokok, dilarang oleh bapak ibu kalian apa tidak?”

“Tidaaaaaak!”

“Kenapa tidak dilarang?”

“Kenapa ya? “ Mereka saling pandang, cekikikan , dan masih saja saling dorong. Mereka tidak bisa menjawab pertanyaan Fauzi. Fauzi memandang berkeliling.

“Nah coba yang pakai kupluk! Siapa ini?”

“Imbuh Mas!”

“Ya, Imbuh , kamu merokok itu supaya apa?”

“Nggg… supaya badan hangat! Kan udara di sini sangat dingin.”

“Oooo ya, ya… tapi coba dipikir, kalau merokok, asapnya ke mana?”

Cangkeeeeeem!”

“Iyah, cangkem atau mulut. Nah kalau begitu yang hangat apanya?”

“Mulutnya!” Mereka reflek menjawab. Fauzi tertawa terbahak-bahak.

“Naaaah benar! Yang hangat mulutnya. Hahaaaa! Ternyata pinter kalian ya, merokok itu bukan menghangatkan badan, tetapi menghangatkan mulut! Badan kita tetap kedinginan.”

“Tapi badanku hangat!” Sergah Imbuh.

“Itu karena kamu pakai ja……?”

“Keeeeeet!” Mereka menjawab serempak.

“Nah badan kita hangat karena pakai jaket, switer, atau baju tebal, atau baju rangkap. Ngerti?”

“Ngertiiiiii!” Mereka menjawab bersama-sama dengan gembira.

“Sekarang lihat ke sini ….. kalian lihat gigiku nih… hiiiiiiiii !” Fauzi meringis memperlihatkan seluruh giginya. Anak-anak itu tertawa terpingkal-pingkal , ketika Fauzi meringis sambil menjulingkan mata.

Kaya medi kebon!

“Hahahaha! Memang aku tadi mirip hantu ya? Tetapi hantu yang cakep, yang ganteng . Lihat gigiku , giginya ….lihat nih …hiiiii….. putiiiih… bersih … rapi. Nah lihat dalamnya, ….nggahh…. ingi hihat! Hihinya hak aha hang holong! ” Fauzi berbicara sambil menganga, menunjukkan giginya yang bersih, rapi dan sehat. Giginya masih utuh. Gerahamnya masih lengkap.

“Nggak ada yang bolong kan?”

“Iyaaaaa…..”

“Putih bersih kan?”

“Iyaaaaa……. !”

“Itu karena Mas Medi tidak merokok! Jadi giginya nggak kena asap, nggak kuning… apalagi coklat kaya jagung gosong!” Kata Fauzi sambil tertawa.

Mendengar kata-kaa Fauzi, anak-anak yang memegang rokok menyembunyikan rokoknya di belakang punggung. Itu memang yang ia inginkan. Bahkan beberapa anak yang giginya merasa kuning atau bahkan coklat langsung menutup mulutnya dengan tangan. Melihat itu Fauzi terbahak-bahak.

“Coba yang giginya bersih … menghadap teman-temannya! Kemudian meringis! Yang giginya kuning atau coklat, mingkem! Jangan buka mulut! Malu!” Mendengar kata-kata Fauzi sontak mereka yang merasa giginya kuning dan kotor semakin mengatubkan bibir. Mereka terus sambil bercanda, tangan-tangan yang sedang menutup mulut ada yang menyenggol. Yang disenggol membalas. Akhirnya mereka terbahak-bahak.

“Tertawa keras boleh! Tapi jangan kelihatan giginya! Malu!” Fauzi benar-benar membuat mereka kalang kabut. Dari sekian banyak anak yang mengeruminuya hanya ada dua orang yang giginya nampak bersih. Keduanya anak perempuan.

“Ini yang giginya putih maju sini …. namanya siapa?”

“Saya Lasi ! Lasiyah!”

“Saya Midah!”

“Bagaimana cara kamu merawat gigimu?”

“Sikat gigi. Kadang sehari sekali, kadang dua kali. Kalau bapak punya odol ya sikatan, kalau tidak ya libur!”

“Hahaaaa libur ! Kaya sekolah saja!” Teriak anak laki-laki yang giginya coklat.

“Mending libur sesekali tidak sikat gigi, daripada tidak pernah sikat gigi, kaya tidak sekolah! Ya kan, tidak sekolah berarti kan libur terus hahaaa! Makanya giginya coklat !” Ternyata anak perempuan bernama Lasiyah berani menimpali ejekan anak laki-laki. Yang mendengar kembali tertawa terbahak-bahak.

“Awas kau!” Kata anak laki-laki tadi seraya mengacungkan kepalan tangannya.

“Sudah! Sudaaahhh… tidak boleh saling musuhan, apalagi dengan anak perempuan. Semua anak Semanding harus bersahabat. Ya! Nanti kamu juga punya gigi yang putih dan sehat, kalau kau tidak merokok lagi dan rajin sikat gigi. Mau?” Tanya Fauzi kepad anak yang giginya coklat.

“Mau.”

“Naaah begitu …. Nanti, kalau belum punya sikat gigi, besok-besok Mas Medi akan beri kalian hadiah sikat gigi! Mau?”

“Mauuuuuuuu!” Jawab mereka serempak kemudian berjingkrak-jingkrak.

Hari itu Fauzi berhasil meyakinkan anak-anak Semanding. Mereka berjanji untuk menjaga kebersihan gigi, dan mencoba untuk tidak merokok lagi. Fauzi sangat bahagia melihat mereka begitu antusias bermain dengannya. Yang penting lagi ada sebuah kemauan awal yang cukup penting, yakini untuk rajin menggosok gigi.

* * *

Malam harinya Fauzi diajak Pak Sipon berkunjung ke rumah Pak Mahmud . Jaket tebal yang ia kenakan mampu mengurangi terpaan hawa dingin. Namun hidungnya tak bisa diajak kompromi. Kedua hidung Fauzi terasa tersumbat. Beruntung di rumah kepala padukuhan tersedia minuman panas.

“Saya dengar dari Pak Sipon , katanya Nak Fauzi tidak mau pulang. Benarkah?”

“Oh… bukan begitu. Maksudnya belum mau pulang sekarang-sekarang ini.”

“Orang tuamu sangat bingung lho Nak.”

“Insya Alloh tidak. Ibu saya sangat penyabar, saya mengerti watak ibu saya ketika menghadapi masalah-masalah besar. Jadi, yang jelas justru saya minta ijin kepada Bapak untuk ikut numpang di Semanding ini hingga beberapa hari. Bahkan mungkin satu bulan.”

“Waaah…. tentu saja boleh. Sukur kalau Nak Fauzi mau bergabung, sukur-sukur memberi motivasi mereka atau memberikan ketrampilan yang Nak Fauzi punyai…”

“Aduhhh jadi malu saya Pak, saya tidak punya ketrampilan apa-apa.”

“Biasa… orang berilmu, berpengetahuan selalu merendah……”

“Saya hanya anak SMA pak.”

“Di sini sulit mencari anak SMA. Kalaupun ada, itu hanya SMA-SMA-an. Pamit berangkat , di jalan main, sore pulang. Rapornya jelek. Makanya desa ini sulit maju, karena anak-anaknya malas-malas.”

“Bukannya malas Pak, tapi barangkali belum diberi kesadaran. Coba, jika kesadaran sudah tumbuh, Insya Allah mereka akan belajar dengana benar , juga penuh semangat….. “

“Haha! Maaf nih Nak Fauzi, ada satu lagi yang terlupakan! Anak di sini, kadang ada yang terlihat semangat belajarnya tinggi, tetapi ketika akan melanjutkan sekolah, wuaaah ya itu, tak ada biaya. Nak Fauzi tahu sendiri kan, lihat saja, masyarakat sini sebagian buruh ladang. Berapa penghasilan mereka? Paling-paling hanya cukup untuk makan. Jadi…… ya….. yaa….. hahahaaaa! Itulah!”

Fauzi tersenyum kecut. Jika pembicaraan sudah sampai kepada masalah uang, biasanya lebih banyak orang yang angkat tangan. Termasuk ia sendiri menyadari keadaan ibunya yang hanya seorang pedagang kain di pasar. Hasilnya tidak seberapa. Tetapi karena selalu bersyukur, barangkali itulah yang menyebabkan Fauzi selalu yakin bahwa ibunya akan selalu dapat memenuhi semua kebutuhannya. Memang tiap bulan selalu mendapat kiriman dari ayahnya. Tetapi uang kiriman itu lebih sering untuk ditabung. Memang kadang-kadang pada suatu kali benar-benar terpepet ibunya tidak punya uang, maka kiriman dari ayahnya ia pergunakan.

Fauzi memang berhitung kepada kemungkinan yang terburuk. Seandainya ayahnya menikah lagi, tentu ia tak akan mendapat kiriman lagi. Oleh karena itu untuk persiapan melanjutkan kuliah, ia rajin menabung. Tabungannya kini hampir lima jutaan. Kalaulah uang tidak mencukupi biaya kuliah di kota besar seperti Semarang, Solo atau Jogja , ia tetap akan berusaha masuk perguruan tinggi walaupun tidak jauh. Di Purwokerto ada Unsoed, ada Unwiku , IKIP Muhammadiyah , dan sebagainya.

Pak Dukuuuuuh! Pak Dukuh!

Tiba-tiba dari luar terdengar suara teriakan. Semua yang hadir kaget. Pak Mahmud berlari ke luar diikuti yang lain. Pemuda bernama Jaman masuk.

“Ada apa Man?”

“Para pemuda itu datang lagi, mereka sepertinya mau ke rumah Pak Rukyat. Kasihan, jangan-jangan kambing satu-satunya bakal dimintanya…”

“Aduuuhh… yang lain ke mana?”

“Tidak tahu Pak. Mungkin takut.”

“Mereka itu siapa Pak?” Tanya Fauzi sambil berbisik kepada Pak Sipon.

“Tidak tahu pemuda dari mana, tapi kalau malam kadang-kadang mereka datang membuat kekacauan, membuat warga seperti tercekam . Warga memilih diam . Benar seperti apa kata si Jaman tadi… warga pilih aman. Misalnya daripada nyawa melayang, lebih baik menyerahkan ayam, entog atau bahkan kambing mereka. Mereka biasanya mengancam secara satu persatu di tempat lain, di pasar Kretek atau mana saja yang sering dikunjungi orang-orang Lamuk, khusunya orang Semanding.” Terang Pak Sipon..

“Kalau begitu mereka itu rampok?”

“Yaaa…. Rampok atau apa namanya? Pemerasan, mungkin. Yang jelas mereka pengacau . Inilah susahnya, banyak warga tak ada yang berani melawan.”

“Mereka berapa orang Pak?”

“Jaman, mereka berapa orang?” Pak Rumat bertanya kepada Jaman.

“Ngg…. tiga.”

“Tiga ? Mereka harus dilawan Pak, mereka harus tahu kalau kita tidak tunduk kepada mereka.” Kata Fauzi mantap.

“Kita tidak berani Nak.”

“Kalau hanya tiga, saya berani. Kalau lebih dari tiga , mungkin saya harus pikir-pikir dulu….”

“Kau mau melawan tiga orang?” Pak Sipon melotot tak percaya ucapan Fauzi.

“Mereka harus diberi pelajaran, kita harus melawan. Aku kan tidak sendirian kan ? Bapak-bapak dan pemuda harus bantu aku . Kalau tidak, selamanya akan ditekan dan diperas.”

“Tapi…”

“Sudahlah Pak, kita berdoa sambil mempersiapkan diri.”

“Barangkali mereka bersenjata.”

“Tidak apa-apa. Kita coba saja …. Saya minta bantuan warga semuanya. Semua keluar membawa senter. Nanti mereka kita kepung dan seluruh senter arahkan kepadanya, atau sekitarnya. Cepat Pak!” Kata Fauzi. Mereka yang orang tua justru masih ragu dan bingung harus berbuat apa. Tetapi demi melihat Fauzi menggamit tangan Jaman untuk ditunjukkan tempat perusuh datang, yang lainpun segera menuruti perintah Fauzi.

Fauzi meremas-remas jari tanggannya. Beberapa kali lengan dan dan kakinya digerakkan khusus untuk pemanasan. Tangan Fauzi meraba sesuatu dari balik jaketnya. Ia selalu membawa ruyung (double-stick), setiap kali pendakian. Benda itu dibuatnya sendiridari pucang tua – batang pinang - , dibuat gilig berjari-jari segenggaman dirinya. Panjangnya masing-masing 25 cm, dan dibuat sepasang. Kedua kayu keras itu divernis dengan dasar clear mengkilat sehingga gurat-gurat otot batang pinang itu nampak. Keduanyadihubungkan dengan rantai baja sepanjang 35 cm. Biasanya ia membawa benda itu untuk berjaga-jaga terhadap serangan binatang buas ketiga mendaki gunung atau berpetualang lainnya.

“Ustadz Jamal …. izinkanlah kalau saat ini Uzi terpaksa berkelahi untuk membantu warga desa ini …….Bismillah…….” Fauzi bergumam. Bibirnya bergerak-gerak.

Dari belakang nampak kerlap-kerlip lampu senter. Rupanya warga benar-benar datang untuk membantu dirinya. Fauzi bersyukur.

“Itu orangnya !” Kata Jaman sambil menunjuk ke sebuah arah. Arah itu merupakan kandang kambing milik Pak Rukyat. Laki-laki tua yang tinggal sendirian. Benar mereka terdiri dari tiga orang.

“Hai! Jangan teruskan!” Fauzi terteriak. Ia melompat mendahului orang-orang.

Ketiga orang itu terhenyak kaget. Baru kali ini aksi mereka mendapat larangan. Salah seorang dari mereka – mungkin ketuanya – maju mendekati Fauzi.

Warga padukuhan menahan nafas. Jantung mereka berdetak keras. Apalagi ketika melihat Fauzi berjalan menyongsong. ***

Bersambung ke Seri 6 ........

Insya Allah Senin 14 April 2014

Keterangan kata-kata Bahasa Jawa :

1. “Mas Medi umahe neng ngendi?”  =  Mas Hantu, rumahnya di mana ?

2. Iya, campur lemi Sumar kon mambu! Kon tambah mambu! Hahaaa!=  Iya campur lemi Sumar supaya bau! Supaya tambah bau !

3. Lemi = adalah pupuk kompos yang terbuat dari kotoran sapi atau kambing yang sudah diolah bercampur tanah

4. kupluk!: peci hitam

5. Cangkeeeeeem!= Muluuuuuut

6. Kaya medi kebon: Seperti hantu kebun

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun