Mohon tunggu...
Didik Sedyadi
Didik Sedyadi Mohon Tunggu... Administrasi - Suka berdiskusi tentang matematika bersama anak-anak SMAN 1 Majalengka. Hobby menulis. Tinggal di Majalengka Jawa Barat

Suka berdiskusi tentang matematika bersama anak-anak SMAN 1 Majalengka. Hobby menulis. Tinggal di Majalengka Jawa Barat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Catatan 22 Mei 1998

17 Mei 2014   02:33 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:27 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14002445511178063458

DAJJAL YANG BERHARAP BEGITU

Gajah bertarung, pelanduk mati di tengah-tengah!

Jika dalam suatu wilayah terjadi benturan-benturan kepentingan antara “para gajah”, maka pelanduk (kancil) akan menderita. Entah terinjak, tersepak atau sejenisnya. Akibatnya: bisa luka, nglegoso (terkapar), cedera, bahkan bisa mati.

“Lho? Bukannya kancil itu binatang cerdik? Bagaimana mungkin ia secara sadar menghindarkan diri?” Tanya Darwin heran. Durno, yang ditanya, terkekeh.

“Wew, kancil ya tetap kancil. Selamanya tidak pernah menang melawan gajah. Jadi, jika gajah-gajah itu bertarung maka kancil tidak mungkin melerai. Yang bisa dilakukannya adalah pasrah, sambil berdoa harap-harap cemas. Mungkin saja secara sadar dengan nalurinya akan menghindarkan diri. Akan tetapi lihat, di setiap tanah yang akan ia singgahi gajah-gajah bertarung. Apalagi sekarang kancil punya area mukim yang terbatas. Hutan telah dikapling-kapling. Jadi jika gajah lewat, maka di area terbatas itulah gajah-gajah tidak melihatnya dan menginjak-injak. Itu namanya kewajaran alam.

“Kalau kancil dengan manusia beda apa tidak?” Tanya Dawin sekenanya. Durno melongo heran.

“Kamu ini manusia apa kancil?” Durno akhirnya balik bertanya.

“Mungkin manusia.”

“Kok pakai mungkin?”

“Karena siapa tahu saya ini sebenarnya kancil yang sedang tersepak-sepak oleh pertarungan gajah.”

“Oooo jadi kamu sadar bahwa kamu ini kancil?”

“Setengah sadar.”

“Hampir pingsan?”

“Mungkin baru taraf puncak stress, jika saya rasakan, konsentrasi saya sebenarnya sedang hilang sejak kemarin tanggal 21 Mei itu!”

“Sejak kemarin? Mengada-ada! Justru kemarin itu sejarah besar, semua orang berkonsentrasi, memang tegang sih melihat pengunduran diri Pak Harto.”

“Naaaaaaaaaaaaaaaaaah!” Teriak Darwin. Durno kaget.

“Ah bikin kaget saja kamu!”

“Justru karena presiden ganti yang bikin aku stress. Pak Habibie menjadi presiden aku stress!”

Durno lepas tawanya mendengar ungkapan Darwin. Bagaimana mungkin orang selevel Darwin sampai sejauh itu memikirkan pergantian presiden di republik ini. Bukan pada tempatnya. Kita yang buta politik, buta taktik, buta konsolidasi, buta penggalangan massa, buta ide, buta kartu As, tak perlulah ikut-ikutan terlalu jauh.

“Lucu kamu Win!”

“Lucu? Apanya?”

“Ya lucu saja.”

“Gara-gara aku stress karena pergantian presiden? Begitu?”

“Ya begitulah, sudah lucu, bodoh lagi!”

“Drun, begini, kan kamu tahu sendiri saya tukang dagang di trotoar. Ini untuk menghidupi anak istri lho! Dagangan saya apa? Gambar-gambar! Nih bertumpuk, gambar Pak Harto, gambar Pak Habibie, terus ini nih… gambar menteri Kabinet Pembanagunan VII.”

“Ooooo jadi?”

“Ya itulah! Gambar-gambar ini sudah tidak laku dijual. Pak Harto mundur, sekarang menterinya ganti semuaaaa…. Ini akibat reformasi! Dasar reformasi!”

“Hus! Direm cangkemmu! Politik memang butuh korban, tidak hanya rejeki, harta benda, kadang nyawa. Kmau di sini korban Win, tapi kamu tidak sendirian. Di Jakarta jauh lebih banyak, korban perasaan, korban harga diri, korban rasa takut, korban jiwa, korban harta, tak terhitung!”

“Tapi terserah Jakarta!”

“Kamu hanya korban kertas sedikit, barapa sih modalmu?”

“Dua ratus ribu.”

“Huuuh kecil!”

“Enak saja kecil!” (Dua ratus ribu pada tahun 1998 masih sangat berharga).

“Itu kan akibat kamu terlalu berani berspekulasi!”

“Saya pikir tidak secepat ini. Seharusnya gong-nya reformasi itu menunggu daganganku habis, barulah persiden dan menteri ganti.”

“Ya kamu salah. Sejarah sudah benar. Kamu sendirian yang rugi. Bayangkan kalau setelah kamu jual habis baru reformasi pergantian presiden dan menteri, berapa ratus orang yang rugi. Iya to?”

“Huh!”

“Jadi memang bagusnya kamu rugi sendirian! Berkorban demi reformasi!”

“Mbelgedes!”

Gaung reformasi memang sangat marak. Setiap lapisan masyarakat mampu mengucapkannya. Ya termasuk model si Darwin itu. Tetapi Darwin adalah sampel yang tak terhitung di skala nasional. Boleh jadi memang dia yang menjadi tumbal sesungguhnya.

Mari lihat sesama pedagang semacam Darwin, Mas Jamin, si pedagang koran eceran. Sesama jualan kertas tetapi ia bernasib baik. Tiap hari korannya laris. Bahkan belum sempat ia mengedarkan, telah dicegat oleh para pembeli.

“Mas Jamin, melihat koran si Mas laku, apakah ini berarti untung?” Tanya wartawan.

“Wuohhh bukan untung lagi, tapi panen!”

“Apakah Mas Jamin tetap berharap negeri ini seperti ini keadaanya, sehingga koran Mas Jamin tetap laku?”

“Oooo tidak, tidak! Itu namanya menari-nari di atas luka orang lain, luka bangsa ini. Yang saya inginkan, bangsa ini menjadi bangsa yang maju dalam negara yang damai, YANG TETAP MAU MEMBACA KORAN SEBAGAI KEBUTUHAN, DALAM NEGARA SAYA DAMAI. Jadi, NEGARA DAMAI, TETAPI KORAN TETAP LAKU. BUKAN KORAN YANG LAKU KARENA BERITA PANAS, HOAX,CHAOS.”

"Wah Mas Jamin pinter, mengerti istilah keren!"

"Ya terang pinter! Tiap hari baca koran!"

"“Mas bagaimana pandangan Mas Jamin, jika ada yang tetap menginginkan negara kita seperti ini, tetap tidak menentu. Priye?”

“Hanya dajjal yang berharap begitu. Ya , dajjal. Bukan yang lain.” ***

Majalengka, 22 Mei 1998

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun