Mohon tunggu...
Didik Sedyadi
Didik Sedyadi Mohon Tunggu... Administrasi - Suka berdiskusi tentang matematika bersama anak-anak SMAN 1 Majalengka. Hobby menulis. Tinggal di Majalengka Jawa Barat

Suka berdiskusi tentang matematika bersama anak-anak SMAN 1 Majalengka. Hobby menulis. Tinggal di Majalengka Jawa Barat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerita 8 Seri : Serpihan Edelweis (6)

15 April 2014   07:31 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:40 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Seri 6  :  PADUKUHAN YANG AMAN

Biarpun Fauzi masih duduk di SMA, ternyata badannya tak kalah tegap dengan pengacau yang mendekatinya. Mata Fauzi memandang tajam.

“Kau orang baru ya?”

“Orang baru atau lama, yang penting aku adalah orang Semanding.”

“Kamu jangan turut campur! Kau belum tahu siapa Koyot!”

“Aku katakan, aku adalah orang Semanding! Aku tidak kenal siapa kamu, tetapi aku kenal cara-cara jelekmu untuk memeras orang-orang sini!”

“Kau orang bayaran ya? Kau orang sewaan warga Semanding? Hahaaa! Percuma menyewa satu orang! Sewa sepuluh tukang pukul sekalian! Sepuluh anak kecil semacam kamu tak akan membuat kami bertiga mundur! Apalagi hanya seorang! Haaaattttt!” Kata orang yang mengaku bernama Koyot sambil menerjang.

Bet! Fauzi oleng sedikit. Ia sempat berkelit namun sambarang pukulan Koyot sempat menghantam lengannya.

“Hahaaa! Apa yang kau banggakan?”

Bismillah! Hiiiyaaa!

Kini tanpa diduga, Fauzi memutar tubuhnya dan menyapu kaki Koyot. Laki-laki itu tidak mengira bahwa Fauzi akan menyerang seperti itu. Brug! Koyot terjerembab ke samping . Pipi kanan dan telinganya membentur tanah dingin.

“Sialan!” Umpat Koyot seraya bangkit. Tanpa menunggu lama laki-laki itu kembali menyerang Fauzi. Serangannya masih sama, menggunakan kepalan tangan. Fauzi dengan mudah menghindar. Karena pukulannya tidak mengenai sasaran, badan Koyot tersorong ke depan. Dengan cepat Fauzi menyambutnya dengan tamparan keras di wajah Koyot.

Bret! Agh!

Kembali Koyot terjerembab. Kini tubuhnya juga berguling-guling. Tanpa sadar warga berteriak-teriak kegirangan. Kalau saja Fauzi menghantamnya dengan kepalan tangan, mungkin Koyot langsung pingsan. Ia tidak ingin laki-laki itu pingsan. Yang ia inginkan adalah laki-laki itu melihat kebersamaan warga melawan kelompoknya.

Koyot menata nafasnya. Mukanya penuh debu. Ia menoleh dua orang temannya.

“Monyet! Kenapa diam saja! Hajar dia!”

Tanpa menunggu perintah kedua teman Koyot menghambur ke arah Fauzi. Kini Fauzi lebih berhati-hati karena salah seorang dari mereka memegang belati. Melihat perkelahian dengan senjata, para warga diam. Jantung mereka serasa copot. Beberapa kali sambaran tangan Fauzi mengenai mereka. Namun Fauzi juga sekali merasakan sambaran pukulan pada lambungnya.

Blegh!

Tanpa diduga, Koyot yang telah bangkit menyerang dari belakang. Tumitnya mengganyang punggung Fauzi dengan deras.Bersamaan dengan itu para warga menjerit. Tubuh Fauzi terhuyung kemudian terjatuh, namun ia gelindingkan tubuhnya.

Bret!

Belum lagi Fauzi bersiap, datang sambaran belati mengenai lengan kirinya. Jaketnya sobek. Darah nampak mengucur. Fauzi meringis.

“Pikirkanlah …. apa gunanya kau membela penduduk hah?”

Fauzi tidak menyahut. Tangan kanannya meraba ruyung yang disimpan di balik jaketnya. Dengan sekali sentak kini ruyung itu telah dimainkan cepat. Benda itu seolah-olah berputar melingkupi dan melindungi tubuh Fauzi. Melihat senjata yang tidak biasa, ketiga orang itu kaget. Namun kekagetan mereka hanya berapa detik.

Pletak!

Belati yang ada di genggaman pengacau terpental jatuh. Disusul Fauzi menyambarkan ruyungnya ke arah orang yang kehilangan belati.

Pletak! Akkkkhhhhh!

Orang itu kini terjerembab ke depan sambil meringis memegangi tulang keringnya. Kedua teman lainnya terperangah melihat akibat serangan senjata Fauzi. Wajah mereka nampak ragu . Fauzi menghentikan gerakan ruyungnya.

“Hai Koyot, ingat! Kalau saja senjata ini aku arahkan ke kepala temanmu, kepala temanmu bisa retak! Atau mungkin kau yang ingin merasakannya?” Kata Fauzi memulai menggerakkan ruyungnya semakin cepat. Namun kemudian ia menghentikannya.

“Warga Semanding sekarang berbeda …. mulai besok mereka akan mampu menghadapi kalian. Ingat itu! Bukankah begitu bapak-bapak?”

“Yaaaa! Yaaaaa! Kami sudah muak dengan tingkah kalian.”

“Sekarang pergilah kalian….beruntung warga Semanding orangnya penyabar. Kalau tidak malam ini kalian sudah mati dihajar beramai-ramai. “

Minggat! Minggaaaat!

Para warga yang sudah kesal mengusir mereka dengan kata-kata. Tanpa banyak kata Koyot berbalik berjalan tergopoh-gopoh menuju areal ladang di sebelah utara padukuhan. Sementara teman yang satunya mengikuti sambil memapah yang masih kesakitan tulang keringnya. Ketiganya menghilang ditelan kegelapan.

“Terima kasih Nak Fauzi …… “

“Sudahlah …. aku… akuuuu……….. “

Fauzi tak dapat meneruskan kalimatnya. Orang-orang hanya menduga Fauzi menahan rasa nyeri akibat luka di lengannya. Darah meleleh melumuri jaket hitamnya di keremangan malam.

Malam itu padukuhan Semanding hingar bingar. Mereka merasa sangat gembira karena pengacau yang biasa memeras mereka sudah diusir oleh Fauzi. Terlepas apakah ketiga pengacau itu akan menyimpan dendam dan akan datang lagi suatu saat, mereka belum memikirkannya.

Kini konsentrasi warga Semanding adalah menolong Fauzi. Hampir setengah jam Fauzi pingsan. Ketika ia perlahan membuka matanya, warga Semanding bersamaan mengucap syukur.

Alhamdulillah…… terimakasih ya Allah.

Para laki-laki bergantian memegang tangan Fauzi. Mereka menyatakan terimakasih, tetapi tak terucap. Sementara itu di bagian belakang ibu-ibu ada beberapa yang menitikkan air mata melihat Fauzi yang nampak tersenyum dalam wajah pucatnya. Belum habis yang menyatakan terimakasih, Fauzi memejamkan mata lagi.

“Biarkan Nak Fauzi istirahat. Ibu-ibu silakan pulang, sama anak-anak. Ayo pada pulang. Bapak-bapak yang mau menemani saya lek-lekan di sini hayo,terima kasih.” Kata Pak Mahmud . Ibu-ibu segera bubar, sementara para laki-laki dan pemuda menggelar tikar di beranda .

“Benar-benar anak setan Mas Fauzi itu!” Celutuk Jarwo seraya menyedot rokoknya dalam-dalam.

“Hus! Anak setan gundulmu! Orang sudah berkorban mempertaruhkan nyawa kok malah dibilang anak setan! Kalau bapak ibunya dengar, kamu bakal digrujug wedang temenan! Kalau anaknya anak setan, bapak ibunya apa?” Kata Suroyo, ketua pemuda di situ.

“Bukan itu maksudku! Maksudku keberaniannya itu lho! Sangat tidak masuk akal!”

“Justru itu yang harus kita tiru. Kita harus punya kemampuan seperti Mas Fauzi, biar orang kaya Si Tengil Koyot mampus, tidak briga-brigi gumedhe sok jagoan!”

“Aku tertarik sama pentungan rante itu lho!” Kata yang lain celutuk.

“Itu bukan pentungan rante, namanya gebug maling!”

“Huuuuuu… ngaco! Besok kita tanyakan ke Mas Fauzi saja. Semoga dia cepat pulih.”

Fauzi melewati malam dengan tidur. Mungkin dengan menahan sakit . Sementara itu orang-orang berjaga siap untuk memenuhi keperluannya, entah minum, buang air atau apa saja yang mungkin diingini Fauzi.

* * *

Pagi datang.

Burung-burung ciblek bernyanyi di ranting pohon turi. Kemudian berhamburan mencari ulat di sela-sela batang kaliandra. Sementara itu di dapur Bu Sipon tengah menyiapkan minuman dan sarapan pagi. Mencium bau kopi, mata Fauzi berbinar. Fauzi melihat beberapa orang masih tertidur di tikar setelah semalaman berjaga.

“Sarapan dulu Nak, nih, ada peda bakar , ada pete. Nasi jagung …. Makanan baru.”

“Oh ya Bu terimakasih, tapi aku mau sikat gigi dan ke air.”

“Tangannya masih sakit?”

“Tentu masih. Tapi sepertinya tak terlalu mengkhawatirkan. Oh ya Bu, apa orang-orang yang pada tidur sudah shalat shubuh?” Tanya fauzi sambil bangkit dari pembaringan.

“Sudah. Tampaknya mereka ngantuk sekali setelah semalaman berjaga-jaga melek. Tapi, tuh yang itu, Sarmun dan Samirin, mereka tidak pernah sholat.”

“Oh ya sudah kalau begitu…. “

“Nak, nanti tengah hari katanya para pemuda mau datang. Mereka mau membicarakan sesuatu.”

“Waaah, kaya barang penting saja. Memangnya mereka mau ngomong masalah apa?”

“Gak tahulah …. Nanti saja tanya sama Suroyo…. “

Sehabis cuci muka dan sikat gigi , Fauzi sarapan. Nasi jagung yang ia sendok masuk mulutnya. Rasanya hambar, tidak pulen seperti nasi. Tapi bagi lidahnya rasanya lumayan juga, apalagi dengan lauk peda bakar yang dibungkus daun labu siam. Menjelang siang beberapa ibu-ibu datang membawa makanan. Semua untuk Fauzi. Anak itu sampai geleng-geleng kepala melihat banyaknya makanan.

“Urusan makanan melimpah, gampang….. tuuuh golongan yang masih pada tidur, mereka tukang makan. Tenang saja, yang penting makanan ini Nak fauzi terima, untuk melegakan hati mereka yang memberi.” Kata Bu Sipon seraya membereskan piring-piring kotor.

“Mas! Mas Fauzi … waaaaahhhh syukurlah kalau sudah bangun. Kami tak mengira kalau Mas Fauzi sampai pingsan karena kehilangan banyak darah.” Kata Suroyo yang tiba-tiba masuk dari pintu belakang. Beberapa pemuda mengikuti di belakangnya. Mereka duduk berkerumun.

“Sini aku mau cerita ….. “

“Tentang senjata Mas Fauzi.”

“Iya, tapi itu nanti. Begini, tadi malam itu yang membuat aku pingsan itu bukan karena luka kena belati ini. Bukan, ini sih hanya luka kecil, tapi memang dikatakan sakit , ya sakit.”

“Terus karena apa?”

“Tendangan Koyot dari belakang itu, entah mengapa kok tiba-tiba perutku jadi mulas. Keringat dingin mengucur. “

“Ooooo , jadi bukan karena kehilangan banyak darah?”

“Bukan.”

“Aku sudah tidak kuat, tapi aku nekad menggunakan sedikit kesadaranku untuk memainkan senjataku itu. Andai saja mereka tahu aku kesakitan payah, dan mereka menyerang bersama-sama, ya hanya sampai tadi malam itu umurku. Aku bisa mati! Untung mereka tidak tahu kalau aku bermasalah.”

“Ooooo…”

“Untung pukulanku mengenai tulang kering. Sengaja, memang yang aku ambil kakinya. Aku tidak ingin menyerang kepala. Aku takut nanti mereka gegar otak, tak bisa berfikir. Kasihan mereka.”

“Wuuu padahal kalau aku jadi Mas Fauzi, orang itu tak kepruk sisan!”

“Jangan … . biarkan mereka insyaf dan menyadari bahwa tidak semua orang atau kelompok orang dapat ditekan. Untung tadi malam gertakanku mempan juga, sehingga mereka akhirnya pergi.”

“Kalau mereka menyimpan rasa dendam? Bagaimana?” Tanya salah seorang pemuda.

“Makanya kalian harus bekali dirimu dengan ilmu fisik, ilmu beladiri. Olah kanuragan. Dan yang penting kalian semua harus bersatu. Semuanya harus yakin bahwa orang satu padukuhan akan menang menghadapi tiga orang pengacau.”

“Naaaaahhhh itulah Mas, makanya kami ke sini , salah satu tujuannya adalah ingin meminta tolong Mas Fauzi untuk melatih kami.” Kata Suroyo si ketua pemuda dengan antusias.

“Melatih apa?”

“Ya melatih berkelahi…. itu apa? Karate?”

“Oooo melatih beladiri? Tapi aku tidak bisa karate.”

“Lha tadi malam itu apa?”

“Kebetulan aku hanya bisa sedikit ilmu silat. Aku di belajar di sekolah Muhammadiyah, di sana kebetulan ada organisasi otonomi yang disebut Tapak Suci. Ya, Tapak Suci Muhammadiyah. Itu perguruan silatnya Muhammadiyah.”

“Oooo silat?”

“Iya, guruku seorang ustadz pemilik sebuah pondok pesantren. Namanya Ustadz Jamal, Usadz Jamaluddin.”

“Terus senjata rante itu?”

“Itu namanya ruyung. Sebetulnya ruyung itu nama pohon pinang. Tapi terus salah kaprah, semua senjata rante semacam itu disebutnya ruyung, biarpun kayunya bukan ruyung. Kayu mahoni misalnya, atau kayu nangka. Namanya tetap saja ruyung. Kalian dapat membuatnya sendiri. Dari kayu apa saja, asal yang keras, bagian tengahnya yang sudah tua itu.”

Galihnya?”

“Ya, benar , galihnya .”

“Apa di perkumpulan silat diajari main senjata ruyung ? “

“Tidak. Ruyung itu sepertinya senjata yang berasal dari negri China. Aku suka menonton film Bruce Lee, yang mahir memainkan ruyung. Sebetulnya aku tidak suka membawa senjata, seperti ruyung itu. Hanya saja, teman-teman harus tahu, aku adalah seorang anggota perkumpulan pecinta alam. Kami para anggota sering melakukan kegiatan yang bersifat peduli kelestarian alam dan petualangan. Bisanya kami berbekal dengan senjata untuk berjaga-jaga atau membela diri.Kami kadang melakukan hiking relly, adu cepat menyusuri alam sambil menikmati keindahan alam. Kadang kami melakukan kemah himbau, biasanya kami lakukan di bekas galian C yang sudah rusak parah oleh eksploitasi atau penyedotan potensi alam, bahkan kadang juga kami berkemah di dekat galian C yang masih aktif, kami menghimbau para pengusaha untuk merenovasi lahan yang rusak. Kadang kami melakukan kemah bakti semacam melakukan reboisasi atau penanaman pada lahan atau hutan gundul. Kami pernah melakukannya di gunung Tumiyang, Banyumas. Teman-teman tahu, yang paling sering kami lakukan adalah melakukan pendakian gunung. Dulu kami berlatih mendaki pegunungan atau bukit, banyak sudah bukit yang kami daki. Igir Kucing. Pegunungan Plana di Purbalingga bagian utara, Pegunungan Serayu. Nah setelah kami terlatih, barulah kami mendaki gunung yang sebenarnya.”

“Gunung apa saja yang pernah didaki?”

“Belum banyak sih, Gunung ini, gunung Sumbing. Merapi, Ungaran, Gunung Slamet melalui plawangan Bambangan. Bahkan ada satu gunung di Jawa Barat yang pernah kami daki. Gunung Ciremay, di perbatasan kabupaten Kuningan dan Majalengka. Nah ketika mendaki gunung atau petualangan lainnya itulah, aku selalu membawa ruyung. Untuk jaga-jaga kalau-kalau ada serangan binatang buas. Sebab binatang itu kan tidak punya otak, ia bisa menyerang membabi buta. Anjing hutan, srigala, macan kumbang … ngg mungkin juga ular.”

“Kalau orang buas?”

“Kok orang buas?”

“Lha itu si Koyot dan temannya?”

“Oooo… itu sih bukan buas. Mereka hanyalah manusia yang tidak punya pekerjaan dan butuh makan. Mudah-mudahan kalaupun mereka memeras atau merampok , adalah untuk menghidupi keluarganya sementara. Kan uang atau hasil penjualan barang haram haram juga, jadi kita doakan mudah-mudahan itu hanya sementara. Mereka tidak menggunakan hasil kejahatannya untuk mabok, minum atau sejenisnya.”

“Doakan saja biar Koyot modar sekalian!”

“Hus, jangan. Kita mengucapkan sesuatu doa kan energinya sama. Jadi ucapkanlah doa yang baik, nggak usah doa yang jelek. Lebih manfaat untuk kita juga mengirim doa baik kepada orang lain. Oke? Setuju?” Kata Fauzi sambil tersenyum.

Para pemuda yang mengerumuninya diam. Mereka tersenyum kecut. Hatinya masih tidak rela untuk mendoakan Koyot dan teman-temannya dengan doa yang baik. Hati mereka masih dongkol.

“Sudalah Mas…. barangkali saat ini kami belum bisa untuk mendoakan Koyot dengan doa yang baik. Mas Fauzi sih bisa, sebab, Mas Fauzi baru kenal Koyot tadi malam. Kami Mas, sudah lama, kami ditindas. Puluhan kali harta kami, harta orang tua-tua kami, uang, ayam, itik, mentog , kambing, pernah juga sapi, atau baju-baju kami mereka rampas. Jadi dalam hati kami sudah tertanam dalam perasaan benci dan dendam. Jadi untuk kali ini, biarkan kami menyukurkan si Koyot tengil itu. Entah untuk nanti-nanti Mas.” Kata Suroyo sambil membuang puntung rokok . Fauzi manggut-manggut.

* * *

Mulai hari berikutnya para pemuda Semanding, diikuti para pemuda dai pedukuhan lainnya giat berlatih silat. Lapangan desa Lamuk hampir penuh. Mereka berlatih pada siang hari, sebab pagi hari mereka kebanyakan bekerja di ladang. Sementara itu di pinggir, anak-anak kecil menonton kakak-kakak mereka yang berlatih. Ada beberapa anak kecil yang mencoba meniru-niru jurus silat yang diajarkan Fauzi.

“Mas Royo …. Sini!” Kata Fauzi seraya duduk dirumput.

“Apa Mas?” Kata Suroyo meninggalkan barisan.

“Belajar silat tidak bisa sehari dua hari. Kalau sebentar lagi aku pergi? Lalu pulang ke rumah di Banjar? Bagaimana?” Fauzi bertanya pelan.

Soroyo tegang. Wajahnya nampak kecewa.***

Bersambung ke Seri 7 ....

Insya Allah Kamis mendatang

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun