Mohon tunggu...
Didik Sedyadi
Didik Sedyadi Mohon Tunggu... Administrasi - Suka berdiskusi tentang matematika bersama anak-anak SMAN 1 Majalengka. Hobby menulis. Tinggal di Majalengka Jawa Barat

Suka berdiskusi tentang matematika bersama anak-anak SMAN 1 Majalengka. Hobby menulis. Tinggal di Majalengka Jawa Barat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerita 8 Seri:Serpihan Edelweis (7)

19 April 2014   20:52 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:28 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Seri 7 : DI KRETEK AKU LIHAT BAYANGANMU

Pagi-pagi Suroyo sudah menunggu Fauzi. Wajah ketua pemuda itu nampak murung. Ia masih memikirkan perkataan Fauzi kemarin sore. Bagaimana seandainya Fauzi pulang ke rumah, meninggalkan Semanding, meninggalkan Lamuk. Teman-teman jelas belum menyerap ilmu yang diajarkan Fauzi. Apalagi mereka mengaku sulit berfikir dan menghafal gerakan-gerakan. Akankah semangat mereka hilang? Haruskah orang-orang semacam Koyot datang lagi ketika Fauzi meninggalkan Semanding?

“Hey ! Ayo berangkat!”

“Oh! Mas Fauzi, saya pikir belum mandi!”

“Memang belum kok! Masih dingin. Nanti saja pulang dari Kretek, biar berkeringat, jadi badan hangat, berani mandi!”

“Itulah Mas, sesuatu yang jelek malah menghinggapi Mas Fauzi.”

“Apa?”

“Ya itu tadi, Mas Fauzi kan mandinya jadi satu kali sehari. Iya kan?”

“Yeh! Kamu kan tahu, udara dan air teramat dingin.”

“Iya, kan tetap saja disebutnya mandinya satu kali sehari?”

“Iya sih, tapi …..”

“Tidak ada tapi-tapian. Mandinya sekali!”

“Huuu dasar!”

“Begini Mas , Mas Fauzi telah berhasil memberikan kesadaran kepada adik-adik kami di Semanding, Lamuk khususnya. Mereka yang merokok sudah berkurang. Mereka iri dengan gigi Mas Fauzi yang bersih, putih dan sehat.”

“Haha!”

“Juga-juga anak-anak itu, kemarin kami melihat Mas Fauzi masuk ke SD itu. Mas Fauzi mengajar menyanyi…..”

“Ya memangnya suruh ngajar apa? Bisaku memang hanya menyanyi kok!”

“Iya tapi anak-anak jadi semangat sekolah. Karena ada guru yang menarik.”

“Heee… bukan masalah itu aku masuk ke SD ya Yo, aku masuk ke SD itu sebab aku lihat mereka hanya bermain-main di halaman sekolah, hampir seharian. Nanti tengah hari mereka pada pulang. Habisnya, gurunya tidak pada datang. Maklum, gurunya orang jauh, ada yang dari Kretek, Wonosobo dan Kepil. Daerah Semanding kan daerah terisolir, terpencil…. hampir dipastikan tempat seperti inilah yang dihindari banyak guru.”

“Yaaa memang nasib kami Mas…. Dulu sewaktu saya kecil juga begitu. Sekolah ketemu gurunya seminggu sekali. Tapi anehnya tak ada gurunya pun kami tetap berangkat ke sekolah. Bermain sepuasnya. Nanti pas adzan dzuhur kami pulang. Nah begitu, jadilah otaknya ya kaya aku ini Mas. Otak Suroyo!”

“Haes sudahlah! Ayo berangkat sekarang. Tuh mumpung di bawah ada mobil mau turun.”

“Memangnya Mas Fauzi mau beli apa si ke Kretek?”

“Aku punya utang janji sama anak-anak, Aku katakan akan membelikan sikat gigi, dan odol tentunya.”

“Jadi Mas Fauzi serius?”

“Astaghfirullah …… saya itu selalu serius dengan ucapanku. Aku kasihan kalau mulut ini nyinyir, digunakan untuk berbohong. Rugi! Kasihan nih mulut! Mulut bagus-bagus kok dibawa berbohong!“

“Begitu besar perhatian Mas Fauzi pada adik-adik kami, yaaaah mudah-mudahan saja usaha Mas Fauzi berhasil, menciptakan gigi putih adik-adik kami! “

“Hahaha!”

“Tapi Mas , para pemuda? Hmh! Mana diurus? Sementara ancaman Koyot dan sebangsanya tetap mengancam, Mas Fauzi malah mengatakan mau pulang. Dengan siapa kami berlatih?”

“Begini Yo, kamu dan teman-teman pemuda, jangan cemas. Biarpun tidak tiap hari, nanti aku akan sering ke sini. Tiap hari Minggu siang! Banjar ke sini dekat , hanya satu setengah jam perjalanan!”

“Benar Mas, awas lho kalau bohong!”

“Insya Allah … , asal hari minggu aku tidak ada acara di sekolah, aku akan datang.“

“Wuaaahh….. lega rasanya hati ini Mas….. waaahhh….. hayo Mas cepat berangkat!” Kata Suroyo seraya menggamit lengan Fauzi. Wajah Suroyo nampak sangat gembira. Fauzi tersenyum. Keduanya bergegas ke mobil colt gundul yang akan turun ke pasar Kretek.

* * *

Siang itu Nurjanah bersama ibunya dalam perjalanan pulang dari Muntilan . Ketika bus Jati Nugroho yang membawanya sampai di daerah Secang, bayangan gunung Sumbing mulai nampak. Hati Nurjanah berdesir. Kepalanya ia sandarkan ke kaca. Matanya tajam menatap gunung yang nampak berwarna kebiru-biruan.

Bus kecil itu melaju kencang. Beberapa mobil yang berada di depannya disalipnya dengan cepat. Beberapa penumpang menjerit ketika bus meliuk-liuk menyalip kendaraan-kendaraan lainnya. Nurjanah tidak mempedulikan. Ia asyik masyuk terbawa lamunanya tentang gunung itu.

Beberapa menit kemudian memasuki perbatan kota Temanggung. Bayangan gunung semakin jelas. Kini di lerengnya mulai nampak gurat-gurat pepohonan, atau perumahan penduduk yang berkelompok di lereng-lerengnya.

“Nuur….. “ Ibunya menyapa dengan lembut. Perempuan itu mengerti apa yang sedang berkecamuk di hati putrinya.

“Ada apa Bu?”

“Itu ada yang jualan jagung rebus masuk, mau beli?”

“Nggak.”

“Nangka! Tuh sudah diplastikan, tinggal makan.”

“Nggak.”

“Itu airnya, dibuka, diminum … apa tidak haus?”

“Nggak…. “

Tidak dipedulikan oleh anaknya, ibu Nurjanah hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Beberapa jenak perempuan itu ikut menebarkan pandangan ke arah gunung Sumbing. Nurjanah kembali menempelkan kepalanya ke kaca melihat tajam ke arah gunung itu. Bibir gadis itu terkatup.

Seperempat jam bus yang tetap melaju kencang sampai di kota Parakan. Dada Nurjanah semakin bergemuruh. Hampir sebulan setelah hilangnya Fauzi, kini ia harus kembali melihat lereng-lereng gunung secara nyata.

Dari arah timur, merayap ke arah utara, pandangan Nurjanah menyusuri seluruh lekuk rerimbunan, pepohonan , lembah dan jurang yang ada di lereng. Dalam pikirannya ia melihat Fauzi ada di sana. Fauzi yang tertatih-tatih menahan sakit. Sendirian . Tak berteman. Jatuh berguling-guling . Mengerang, melenguh menahan nyeri. Tak ada yang menolong. Tak ada yang berbagi rasa. Jurang itu , ya jurang itu. Banyak jurang di sana.

Nafas Nurjanah tersengal-sengal. Matanya nanar melihat lereng yang penuh rerimbunan dan jurang-jurang. Mata gadis itu berkaca-kaca. Mulutnya semakin erat terkatup. Ditahannya perasaan yang meledak-ledak di dadanya. Ia tak kuasa!

“Fauzi di sanaaaaaa! Ituuuuuuu…!” Tiba-tiba tangisan Nurjanah meledak. Gadis itu berdiri dari tempat duduknya, kemudian berteriak-teriak. Tangannya menggedor-gedor kaca jendela.

“Nur! Sadar Nuuuur, eling!” Ibunya bersusah payah memegangi dan menyadarkan putrinya

“Fauziiiiiii! Ia mati sendirian .. ibuuuu…. kasihaaaan…..”

“Sssstttt….Nur….”

“Lepas Bu…. Lepaskan… aku ! Jangan pegangi Nur! Aku mau turun…. Sopiiir! Turun… berhenti!” Nurjanah berontak. Beberapa penumpang lain membantu memegangi Nurjanah.

“Nur! Ini ibu…. Eling nduk! Eliiing …. Istighfar. Ini di dalam bus. Banyak orang … malu. Istighfar Nur ….. “ Kat ibunya pelan seraya membelai pipi Nurjanah. Gadis itu mengendor gerakannya. Matanya menatap ibunya lama.

“Ini ibu Nuuur…. “

“Ibu?”

“Aku kena apa Bu?”

Bu Dahlan menghela nafas panjang. Bersyukur putrinya sadar kembali. Para penumpang di bus itu ikut menghela nafas .

“Minumlah ini Nur ….. naaahh… seteguk saja.” Kata Bu Dahlan menyorongkan sedotan air mineral. Bibir Nurjanah menyongsongnya. Ia minum beberapa teguk.

“Ini di mana Bu?”

“Ini telah lewat parakan. Kwadungan Gunung …. Sebentar lagi Kretek.”

Ketika Nurjanah mulai tampak menyadari dirinya, ibunya menghela nafas dalam-dalam. Bu Dahlan menoleh ke arah penumpang di sebelahnya yang ikut memegangi Nurjanah.

“Putri ibu kenapa?”

“Sedih… anak saya sedih. Sekitar tiga minggu, atau hampir sebulan ini, temannya hilang di sana, di gunung itu.”

“Ooooo ….yang ramai di koran dan TV itu?”

“Iya betul! Anak saya ini kan teman sekelompoknya. Saat mendaki. Ia tidak pulang, hingga sekarang. Entah bagaimana nasibnya tak ada yang tahu. Mungkin sudah meninggal. Tapi semoga saja tidak, hanya belum ketemu.”

Mereka yang diberi tahu manggut-manggut tanda mengerti. Setelah penumpang lain tidak berkomentar dan bertanya lagi, Bu Dahlan menoleh ke arah putrinya. Dilihatnya Nurjanah tengah tertidur. Tetapi di dahinya mengucur keringat sebesar-besar butiran beras. Bu Dahlan segera menyeka keringat itu.

Perjalanan kali ini mungkin berbeda dengan biasanya. Bisanya ia paling tidak tahan dengan perjananan jauh. Bisanya ia muntah-muntah mabok. Tapi kali ini tidak sama sekali. Mungkin terdapat sugesti untuk lebih menjaga anaknya, maka rasa sugesti untuk mabok malah jadi hilang.

Kretek! Kretek!

Yang turun Kretek persiapaaaaannn! Celoteh kernek bus itu ramai sekali. Penumpang yang hendak turun di Kretek berjalan mendekati pintu. Beberapa mulai meloncat turun ketika bus berhenti di pertigaan.

“Ibu! Lihat! Ituuu…….. “ Tiba-tiba Nurjanah berteriak keras.

“Apa Nur ?”

“Itu Fauziii….. itu dengan anak kecil ke sana!” Nurjanah berdiri kemudian menunjuk-nunjuk ke arah belakang, sebab bus kembali berjalan meninggalkan kota Kretek ke arah utara.

“Kamu salah lihat Nur.”

“Fauzi!”

“Nur….. baru saja kau histeris ketika di parakan. Kau jangan ulangi lagi ya, sayang… “

“Itu….. itu Fauzi …. Nur tidak bermimpi.” Kata Nurjanah melemah. Kemudian gadis itu kembali duduk.

“Nur… di dunia terdapat tujuh orang kembar. Mungkin itu salah satunya.”

Nurjanah diam. Ia pusing memikirkan dirinya sendiri yang tidak stabil terombang-ambing. Padahal beberapa hari yang lewat, ia seperti hampir melupakan Fauzi, namun ketika kembali melihat gunung Sumbing, seperti ada luka lama yang kembali terkoyak.

Menjelang ‘Ashar keduanya sampai di rumah. Nurjanah tergesa-gesa mengetuk pintu.

“Alhamdulillaaah… sampai juga.” Sambut pak Dahlan. Namun Nurjanah tidak menyahut. Ayahnya yang membukakan pintu tidak dipedulikan.Nurjanah langsung berlari ke kamar. Ia hempaskan tubuhnya ke kasur.

“Jangan kaget, Nur baru bikin ulah di bus!”

“Ulah apa?” Tanya pak Dahlan cemas.

“Dia histeris! Meronta-ronta waktu tadi Parakan! Ia meronta ingin turun.”

“Kena apa dia?”

“Ketika melihat lereng Sumbing… katanya ia melihat Fauzi di sana.”

“Astagfirullah.”

“Di Kretek, ia kembali berulah. Katanya ia melihat Fauzi. Aku kesal, sampai-sampai aku katakan pada Nur bahwa dia itu salah lihat, lagian di dunia itu diciptakan tujuh orang kembar.” Kata Bu Dahlan sambil menyimpan tas jinjingannya. Suaminya mengikuti dari belakang.

“Bu , siapa tahu Nur benar.”

“Benar apa? Di Parakan, ia histeris. Di Kretek ia katakan melihat Fauzi. Mana mungkin? Parakan sebelah timur Sumbing, Kretek sebelah barat. Jauh tempatnya Pak.”

“Tadi di Kretek ibu melihat yang ditunjuk Nur nggak?”

“Hah, tak tahulah….. mana sempat aku menoleh. Aku ini masih cemas pada keadaan Nur ketika histeris.”

“Hmh ya sudahlaaah…. mudah-mudahan Nur sehat-sehat saja. Biarkan ia istirahat di kamar dahulu. Jangan ganggu, biar ia istirahat.”

Sementara itu di kamar Nurjanah masih tertelungkup di kasur. Perlahan ia bangkit. Duduk. Pikirannya tak bisa lepas dari orang yang ia lihat di Kretek. Ia yakin itu Fauzi. Tapi sangat tidak masuk akal kalau Fauzi berada di Kretek tidak pulang ke Banjarnegara. Jarak kedua kota kecil hanya empat puluh lima menit perjalanan bus.

Apapun yang terjadi! Gumam Nurjanah seraya mengambil HP. Ia hubungi Pak Rahmat . Sejenak kemudian ada suara berteriak-teriak di telepon. Hanya sebentar. Kemudian Nurjanah menyimpan HP, ia kembali duduk . Ketika ibunya memintanya keluar, ia masih tidak menggubrisnya. Ia tak membuka pintu kamar.

Dua puluh menit setelah Nurjanah menelpon, Pak Dahlan dan istrinya kaget ketika melihat Pak Rahmat dan Bu Rahmat datang.

“Waaah … pengantin baru. Apa kabar nih?” Sambut pak Dahlan.

“Baik… sehat ….. alhamdulillaah….” Sahut Pak Rahmat seraya menjabat tangan Pak Dahlan. Kemudian istrinya juga demikian. Bu Dahlan berpelukan dengan Bu Rahmat.

“Tumben sore-sore ke sini ? Biasanya pagi … , mau nginap di sini ya? Hahaaa!”

“Nggak enak nginap di sini … mending di rumah, berbulan madu nggak ada yang menggangu hahahaa!”

“Wah, ternyata semangatnya benar-benar masih baru.”

“O ya harus!” Kata Pak Rahmat penuh ceria. Bu Rahmat tersipu-sipu.

“Silakan masuk.”

“Iya, terima kasih. Nur mana?”

“Ada … Bu panggil si Nur.” Kata Pak Dahlan menyuruh istrinya. Yang disuruh langsung menuju kamar anaknya. Tak berapa lama Nurjanah keluar dengan penuh wajah penuh semangat.

“Aduuuh Bapak…. Ibu….. bagaimana kabarnya?”Kata Nurjanah menyalami keduanya.

“Baik, alhamdulillah. Kamu sehat Nur?”

“Alhamdulillah sehat ……” Kata Nurjanah sambil duduk.

“Tadi baru saja Nur nelpon saya …. katanya ia melihat Fauzi di Kretek.” Kata pak Rahmat kepada Pak Dahlan. Kedua orang tua Nurjanah terhenyak kaget. Keduanya memandang putrinya.

“Saya telpon pak Rahmat Yah…. Soalnya Nur yakin, penglihatan Nur masih waras. Nur sadar, Nur tidak sedang berhalusinasi….. saya yakin itu Fauzi.” Kata Nurjanah kepada ayahnya. Kedua orang tuanya hanya bisa geleng-geleng kepala.

“Kamu lihat Fauzi seperti apa?”

“Dia memakai jaket yang biasanya itu. Tapi anehnya ia bersama anak kecil. Tidak tahulah Pak, sepertinya ia habis belanja.”

“Di Kreteknya sebelah mana?”

“Engg…. di pertigaan, ia kemudian berjalan ke jalan arah selatan di pangkalan ojeg.”

“Hanya segitu?”

“Soalnya bus keburu berjalan Pak…. saya bilang sama ibu, ibu tidak percaya.”

Pak Rahmat diam. Bibirnya terkabub. Sementara itu Bu rahmat mencuri pandang ke arah Nurjanah. Ia tak melihat ada kebohongan di dalam sinar mata anak perempuan itu.

“Kalau yang diceritakan Nurbenar … berarti Fauzi masih ada. Dia masih hidup!” Kata Pak Rahmat bersemangat.

“Tapi sebaiknya jangan terlalu pengharapan dulu pak.”

“Iya, iya, saya mengerti itu. Tapi kalau begini keadaanya, kira-kira nalarnya bagaimana ya? Kalaupun ya, dia ada di salah satu daerah di belahan barat Sumbing, mengapa ia tidak pulang?”

“Itulah yang meragukan. Saya ragu itu bukan Fauzi. Kalau Fauzi pasti sudah pulang!”

“Tapi alangkah baiknya usaha dicoba Pak. Dulu tim pencari tidak berfikir hingga sejauh ini, dulu mereka hanya menyisir daerah lereng gunung sebelah timur. Kita coba sendiri. Kita cari tahu …. Dengan cara kita sendiri. Mudah-mudahan yang dilihat Nur, memang Fauzi.”

Setuju dengan usul Bu rahmat, akhirnya Pak rahmat bersamaPak Dahlan akan mencoba menyelidiki kedaan di sekitar Kretek. Karena ada perasaan masih ingin banyak ngobrol dengan Nurjanah, maka sepasang pengantin baru itu menginap di rumah pak Dahlan. Nurjanah sangat gembira mendengar keputusan itu.

Ketika di kamar, gadis itu membuka-buka album foto kegiatan petualangannya. Gadis itu tersenyum ketika melihat foto dirinya duduk berdampingan dengan Fauzi di puncak gunung Slamet.

“Fauziii ……. “ Nurjanah tersenyum. Album itu dedekapnya dalam-dalam. Bibirnya tersenyum. ***

Bersambung .......................

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun