Mohon tunggu...
Didik Djunaedi
Didik Djunaedi Mohon Tunggu... Editor - Penulis, Editor dan Penikmat Hiburan

Editor, penulis, dan penikmat hiburan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pertunjukan Seni Tradisional: Dimana Kebaradaannya?

30 Oktober 2011   12:52 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:17 1093
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sebuah pertunjukan wayang orang.

[caption id="" align="aligncenter" width="600" caption="Sebuah pertunjukan wayang orang. (Sumber: massugiwsli.blogspot.com)"][/caption] Seusai menonton pertunjukan "Kadal Nguntal Negoro", tonil karya Butet Kertarajasa dan kawan-kawan dalam seri pertunjukan Indonesia Kita di Taman Ismail Marzuki, saya berbincang dengan seorang teman tentang pertunjukan seni tradisional. Beberapa kali saya menyaksikan seri pertunjukan Indonesia Kita yang tiketnya selalu sold out alias laris manis, bahkan sampai banyak yang tidak kebagian. Acara ini hanya digelar satu atau dua bulanan dan selalu menyerap banyak penonton, menunjukkan betapa masyarakat Jakarta haus hiburan. Beberapa waktu lalu di tempat yang sama juga pernah diadakan pertunjukan teatrikal berdasarkan film laris manis Laskar Pelangi dan pertunjukan tersebut juga sukses. Nah, di sisi lain teman saya menceritakan betapa kelompok wayang orang dan ketoprak yang beberapa kali mengadakan pertunjukan di Jakarta kembang kempis mempertahankan keberadaannya. Dalam setiap pertunjukan mereka berhasil mengumpulkan penjualan tiket antara 2 juta hingga 6 juta rupiah tetapi biaya produksi setiap kali pentas berkisar 20 jutaan rupiah. Berarti penjualan tiket tidak akan pernah bisa menutup biaya produksi. Mereka perlu dukungan sponsor pembiayaan. Pertunjukan-pertunjukan yang saya sebut sebelumnya juga selalu menggandeng beberapa sponsor dan saya yakin mereka juga tidak sepenuhnya mengandalkan penjualan tiket untuk membiayai produksi. Ingatan saya lalu melayang ke beberapa puluh tahun silam ketika saya masih duduk di bangku SD di sebuah kabupaten di Jawa Timur. Saya ingat saat itu hampir setiap malam ada pertunjukan wayang orang dan ketoprak atau ludruk. Seingat saya pertunjukan mereka selalu ramai. Wayang orang, ludruk atau ketoprak merupakan hiburan yang sangat menyenangkan selain bioskop. Banyak orang tergila-gila dengan permainan satu dua pemeran dalam pertunjukan tersebut atau juga dengan beberapa cerita favorit hingga hampir setiap malam mereka tidak bosan-bosan menyaksikannya. Saya membayangkan saat itu pertunjukan seni tersebut sudah hampir menyerupai teater di negara-negara barat yang menampilkan Les Miserables, Cats, Phantom of The Opera atau judul-judul favorit lain. Mereka pastinya juga mempunyai pemain-pemain favorit. Pendeknya para pemain favorit saat itu bak selebriti lokal. Kelompok pertunjukan ketoprak seperti Siswo Budoyo, Wahyu Budoyo dan kelompok ludruk Sari Murni berkeliling dari kota ke kota sepanjang tahun dan selalu dinantikan kehadirannya. Mereka biasanya hanya mendirikan gedung pertunjukan darurat di tengah lapangan atau alun-alun. Sementara kelompok wayang orang di kota kabupaten saya memiliki gedung khusus yang permanen di tengah kota. Entah apa penyebabnya tiba-tiba jadwal pertunjukan seni tradisional tersebut berangsur-angsur berkurang. Mungkin juga karena banyaknya serbuan film-film bioskop karena gedung pertunjukan yang biasanya digunakan oleh wayang orang itu berubah menjadi gedung bioskop baru, selain gedung bioskop lama yang sudah ada. Pola konsumsi hiburan masyarakat di kota kami beralih ke bioskop. Tidak lama kemudian datang era televisi swasta yang menawarkan beragam tontonan tanpa harus meninggalkan rumah. Bioskop-bioskop menjadi sepi, apalagi setelah beredar film-film dalam bentuk VCD dan DVD. Gedung bioskop yang biasanya penuh berangsur sepi dan ditinggalkan, apalagi film-film yang diputar saat itu hampir seragam, kalau tidak film berbau seks ya film hantu-hantuan. Akhirnya dua gedung bioskop di kota kami tersebut tutup  dan beralih fungsi. Fenomena ini saya kira tidak hanya terjadi di kota kelahiran saya. Di beberapa kota kabupaten lain di seluruh Indonesia gedung-gedung bioskop mulai tutup. Hingga saat ini di kota kelahiran saya tersebut tidak mempunyai gedung bioskop atau pertunjukan seni yang digelar secara rutin. Saya mulai berandai-andai dan bermimpi tentang kebangkitan seni pertunjukan tradisional seperti wayang orang, ketoprak dan ludruk. Tentu saja kebangkitan tersebut harus didukung entah oleh pemerintah daerah atau pihak swasta dalam sisi pembiayaan. Agar keberlangsungan pertunjukan tersebut terjaga, tentu saja, manajemen pertunjukan harus mulai dikelola secara profesional dan diupayakan seni pertunjukan tersebut memenuhi selera zaman dengan menampilkan kemasan modern, meskipun tetap mempertahankan pakem cerita tradisional. Seingat saya waktu kecil Siswo Budoyo telah melakukan trik-trik dan memasukkan unsur teknologi yang cukup menarik dalam menampilkan setting cerita atau adegan. Dengan adanya dukungan dana sponsor teknik dan peralatan bisa dikembangkan. Bayangan pertunjukan tradisional akan menjadi seperti pertunjukan opera di kota-kota besar dunia yang selalu dipenuhi penonton segera akan terwujud. Tidak hanya wayang orang, ketoprak atau ludruk di daerah Jawa, di daerah lain di luar Jawa pun saya yakin memiliki seni pertunjukan tradisional yang layak untuk dikembangkan. Pertunjukan seni seperti ini akan menyerap banyak tenaga kerja baik di bidang seni maupun pendukungnya dan berbagai imbas perdagangan yang menyertainya seperti toko cinderamata dan bisnis makanan dan minuman. Syukur-syukur pertunjukan ini bisa masuk dalam agenda wisata, baik domestik maupun internasional. Akan tetapi, harapan dan impian tersebut sepertinya masih akan menggantung di angan-angan. Siapa yang akan peduli dengan pertunjukan seni semacam ini di tengah hiruk-pikuk kasus korupsi di sana-sini. Bagaimanapun, kita harus optimis saatnya akan tiba pada suatu masa.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun