Mohon tunggu...
Didie Yusat
Didie Yusat Mohon Tunggu... Freelancer - Seorang wiraswasta

Menulis adalah mengisi waktu terbaik

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Kualitas Penyiar Televisi yang Memprihatinkan

2 Maret 2012   13:59 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:37 5734
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1330696684409611978

Kita yang sekarang berusia lebih daritiga puluh tahun tentu masih ingat masa-masa jaya TVRI. Pada era 80-an TVRI sedang berada pada puncak ketenaran sebagai media penyiaran. Sebagai satu-satunya televisi kala itu, kita tidak mempunyai pilihan lain. Sekalipun secara sembunyi-sembunyi TVRI sering diolok-olok sebagai corong pemerintah, kita menontonnya juga. Acara berita paling favorit adalah Dunia Dalam Berita yang disiarkan pada pukul 21.00 WIB. Nama-nama seperti Tuti Adhitama, Anita Rachman, Sambas, Edwin Saleh Indrapraja, Sazli Rais, Hassan Ashari dan penyiar seangkatan jaman itu begitu akrab dalam keseharian kita.Berita yang disajikan sangat runtut, teratur, sopan dan terpelajar walaupun disampaikan dalam gaya bahasa yang baku dan kaku. Tetapi hampir tidak pernah kita menjumpai penyiar yang ceroboh. Pada saat mewawancarai narasumber, penyiar sangat siap dan menguasai topikpembahasan.

Tahun 90-an ketika televisi swasta mulai mengudara, seolah-olah seperti bintang baru yang sangat bersinar. Tampil dengan gaya baru yang sama sekali berbeda dengan TVRI. Televisi swasta ini seperti membawa gairah baru dalam menikmati berita. Kita tentu masih ingat nama-nama seperti Dessy Anwar, Dana Iswara, Ade Novit, Arief Suditomo, Ira Kusno, Adolf Posumah, Teguh Juwarno dan beberapa nama lagi. Sekalipun TV swasta tampil dengan gaya yang berbeda dengan TVRI, kualitas para penyiar masih sangat baik. Dalam mewawancarai narasumber walaupun jauh lebih kritis dibanding era sebelumnya, sopan santunya masih terjaga. Setelah RCTI, SCTV kemudian tumbuh stasiun siaran TV demikian cepat dan banyak. Kita mulai bingung memilih mana stasiun TV yang paling pantas ditonton. Persaingan membuat antar stasiun televisi berlomba-lomba merebut rating. Siaran TV makin jor-joran dan persaingan makin tidak sehat. Acara-acara yang disuguhkan seperti tak terkontrol.Seronok, vulgar dan tidak lagi mempertimbangkan lagi efek yang akan terjadi terhadap penonton. Banyak tayangan yang tidak layak ditonton anak-anak seperti dibiarkan. Seronok, cabul hingga kekerasan menjadi hal yang biasa.

Tahun 2000-an jumlah TV swasta bertambah. Selain sepakbola, rasanya tidak ada lagi acara TV yang menarik. Selain berita yang disajikan tendensius, mutu penyiarnya juga sangat memprihatinkan. Cara bertanya para presenternya selain tidak sopan dan nubruk-nubruk, penguasaan materinya juga sangat rendah.Sekalipun bermodal penguasaan materi yang tipis mereka tampil sangat percaya diri, sehingga seringkali kita dibuat geli sampai mengucap istigfar.Dari sisi penampilan tentu saja generasi baru Penyiar TV jauh lebih menarik. Muda dan energik. Tapi dari kemampuan materi dan teknik mewawancarai narasumber sangat mengenaskan. Dalam kasus yang sedang hangat saat ini seperti “Kasus Wisma Atlit Angie” misalnya, lepas dari masalah yang sedang dihadapinya, sangat terlihat disitu bahwa TV A berpihak kemana, TV B berpihak kemana. Ibarat memancing ikan di air keruh. Televisi menjelma menjadi media untuk memuaskan syahwat politik golongan tertentu. Dalam kasus “DW” bahkan lebih parah lagi. DW bahkan sudah divonis salah oleh media TV sebelum vonis Pengadilan menyatakan bersalah atau tidak bersalah. Beberapa kali saya melihat begitu gencarnya penyiar mencecar narasumber dari DJP, tapi pertanyaannya yang nubruk-nubruk dan memotong-motong selagi narasumber bicara membuat penonton pusing. Penyiar sepertinya sangat tak faham bagaimana mekanisme uang pajak dihimpun. Sungguh aneh rasanya ketika penyiar beranggapan bahwa Kantor Pajak dibayangkan seperti Bank yang menerima langsung pembayaran dari para pembayar pajak. Sehingga muncul pertanyaan kepada narasumber yang menggelikan. Timbul pertanyaan, apakah penyiar TV itu belum wajib pajak dan tidak membayar pajak sehingga pertanyaan-pertanyaannya terkesan sangat kacau.Kiranya menjadi tugas institusi pemerintah, apapun institusinya untuk lebih perhatian menyampaikan informasi sesuai kewenangannya kepadamasyarakat secara proporsional dan professional. Sehingga masyarakat tidak tersesat dan menelan sesuatu yang keliru ketika mendapatkan informasi. Informasi yang keliru menyebabkan masyarakat terprovokasi dan bisa menimbulkan apatisme bahkan anarkisme. Institusi Pajak sudah seharusnya bekerja lebih keras lagi memberikan pemahaman yang betul kepada masyarakat. Jika perlu membuka kelas khusus untuk memberikan penyuluhan kepada para penyiar dan redaktur TV supaya memahami pajak. Karena kalau kondisi ini dibiarkan, sungguh Negara dalam keadaan bahaya. Sebab seperti diketahui bersama uang yang dikumpulkan melalui pajak pusat (Direktorat Jenderal Pajak) saat ini menyumbang sekitar 80% penerimaan Negara. Penerimaan dari sektor migas tidak lagi diandalkan seperti tahun 70-an sampai 80-an. Kalau masyarakat terus menerus memperoleh informasi yang keliru tentang mekanisme menghimpun uang pajak. Masyarakat terprovokasi tidak membayar pajak, makatidak ada lagi pemasukan Negara.Tentu tak ada pilihan lain selain mengucapkanSelamat Tinggal Indonesia! Bagaimana mungkin negeri ini mampu bertahan hanya dengan seperlima dari APBN sekarang?

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun