Mohon tunggu...
Dico wibowo
Dico wibowo Mohon Tunggu... Lainnya - Content Writer

Seorang Penulis kreatif - dicoo.wb@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Generasi Penerus Bangsa, "Natap Layar kok Bayar?"

2 Oktober 2020   20:06 Diperbarui: 2 Oktober 2020   20:54 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beginilah beberapa sekelumit kisah dari sekelompok orang  yang "katanya" generasi penerus bangsa. Yang hari-hari nya dipenuhi rasa bosan, entah itu bosan karena berhari-hari dirumah atau entah sekedar perasaan gengsi mengakui kepada diri sendiri jika ia rindu ataupun lupa dengan suasana itu. Juga perasaan kesal yang mengatakan jika dirinya seharusnya berada di ruangan kelas bertemu dengan rekan-rekannya untuk melakukan beberapa aktivitas yang ia senangi. Biarpun itu kegiatan yang positif atau malah yang destruktif, tetap saja mereka tidak luput dari sebuah gelar yang disematkan para sesepuh negeri ini "Generasi Penerus Bangsa".

Hanya saja, setiap masa mempunyai tantangan dan solusi dalam melalui setiap kejadian. Begitu juga dengan mereka, menghadapi pandemi yang tak berkesudahan serta melaksanakan kewajiban mereka sebagai generasi penerus. Pandemi ini  bukan hanya menelan korban jiwa, ia juga menelan pendapatan orang yang hidup serba pas-pasan. Dampaknya, ekonomi keluarga melemah dan sebagian aktivitas pembelajaran ikut terganggu. Tak sedikit yang katanya "generasi penerus bangsa" ini ikut membantu memperbaiki ekonomi keluarga agar bisa survive di masa yang pelik ini.

Seperti yang dikatakan sebelumnya mereka juga punya solusi untuk meringankan orang tua mereka bukan, mereka juga kreatif, dalam hal ini tak banyak yang dapat mereka aplikasikan dari mata pelajaran yang diberikan guru mereka dalam menghadapi kejadian ini. Hanya tugas, tak lupa diberikan tenggat waktu agar si generasi penerus bangsa menjadi orang bertanggung jawab dan disiplin kelak. Situasi pun menjadi rumit, tatkala dihadapkan dengan keputusan untuk memilih hal apa yang menjadi prioritas.

Hari-hari pun berlalu tak banyak yang berubah, hanya kabar tentang korban yang positif, meninggal dan sembuh dalam rentang waktu tertentu. Menjadi alasan petinggi negeri untuk melakukan beberapa kebijakan membatasi segala hal fisik dalam kegiatan sehari-hari. Ya tentu saja, kebijakan yang dibuat tentu masih bisa dikelabui sejumlah orang. Entah bandel, atau kreatif. Tak peduli dengan cara apa mereka menghasilkan uang, karena masih banyak tunggakan pembayaran yang wajib dilunasi. Tentu saja salah satunya perihal Uang Kuliah Tunggal atau SPP, atau apalah itu yang menyangkut kewajiban seorang penanggung biaya pendidikan si "generasi penerus bangsa" ini. "NATAP LAYAR KOK MASIH BAYAR?", begitulah didalam hati si generasi penerus bangsa atau mungkin orang tua. "Situasi susah-susahnya kok masih bayar, lagian belajar juga di rumah, fasilitas juga ga digunakan, mau dikemanakan uang kami?" perkataan yang bisa mewakilkan sebagian besar "generasi penerus bangsa". Entah mungkin tidak tahu prosedur birokrasi yang rumit di atas sana, atau terlalu berprasangka buruk bisa mengakibatkan hal buruk nantinya.

Lantas, petinggi negeri duduk diam menyikapi persoalan ini?. Tentu tidak, mereka (petinggi negeri) memutar otak, memikirkan cara-cara agar tidak terjadi kejadian yang lebih buruk kedepannya. Terlebih menyangkut pendidikan yang baik untuk "generasi penerus bangsa". Muncul lah sebuah (Permendikbud) Nomor 25 tahun 2020 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi pada Perguruan Tinggi Negeri di Lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Peraturan yang bertujuan memberikan keringanan UKT bagi mahasiswa perguruan tinggi negeri yang menghadapi kendala finansial selama pandemi COVID-19(sumber kompas.com 21/06/2020 perihal ukt mahasiswa). Namun keluarnya kebijakan tersebut malah tidak ditanggapi baik oleh para beberapa "generasi penerus bangsa" ini. Ada yang sempat turun ke jalan menyuarakan aspirasi nya, dikarenakan pihak Universitas memberikan syarat yang berbelit-belit untuk mendapatkan keringanan tersebut. "Mau dapat bantuan UKT aja berkasnya kaya mau daftar CPNS, belum lagi ngurus surat terkadang birokrasi lambat karena COVID malah bisa minta uang dianya". "Tau udah di urus lengkap di seleksi pulak lagi tuh, haduh nasib", gumam hati panas salah satu "generasi penerus bangsa". Situasi ekonomi yang sulit terkadang membuat si "generasi penerus bangsa" ini hampir hilang akal, juga tak bisa berpikir secara jernih mungkin saja prosedur itu sebagai antisipasi permainan nakal oleh orang-orang yang dulu nya juga pernah menyandang "generasi penerus bangsa". Juga sebagai agar tepat sasaran tentunya

Amine m'siouri/Pexels.com
Amine m'siouri/Pexels.com

Pikiran yang positif itu hanya sebentar singgah di benak, apa iya prosedur itu bertujuan seperti itu? Dari dulu prosedur tepat sasaran tak sungguh-sungguh tepat. Pembuatan SIM contohnya sederhananya, SIM digunakan untuk orang yang layak mengendarai motor agar tak membahayakan dirinya dan orang lain bisa di buat jalan pintas oleh oknum yang dulunya juga tentu menyandang gelar "generasi penerus bangsa". Ah sudahlah, tak perlu buka kartu toh kebanyakan masyarakat suka dengan prosedur tersebut.

Alhasil, hanya yang berniat dan sukarela memenuhi persyaratan tersebut yang nantinya berhak mendapat pengurangan UKT. Yang tidak mengurus, ya masih mampu, diberi kesempatan kok jual mahal. Mahasiswa yang masuk melalui jalur Mandiri juga tak berhak, siapa suruh masuk jalur Mandiri, jalur Mandiri kan hanya untuk orang yang mampu. Pasti tak berdampak dengan adanya COVID-19 ini, bayar Uang Pangkal awal juga mampu. Terkesan satire, tapi begitulah yang terjadi peraturan yang dibuat pun tetap tak tepat sasaran akhirnya. Tapi, si "generasi penerus bangsa" sekarang dapat mencontoh setidaknya beberapa upaya petinggi negeri memberikan tanggapan bahwa ini merupakan permasalahan serius perlu waktu untuk membuatnya sempurna di keadaan sulit ini.

"Generasi penerus bangsa" akhirnya mendapatkan pelajaran dan modal untuk nanti kelak menjadi penerus bangsa sesungguhnya bahwa dalam menyikapi sebuah kejadian perlu keputusan yang dapat diterima dari berbagai sisi. Entah itu untuk generasi penerus bangsa yang mau enaknya saja, masyarakat yang bandel, maupun oknum yang mengambil keuntungan dari setiap kejadian.

Penulis

Dico Wibowo

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun