Mohon tunggu...
Dicky Saputra
Dicky Saputra Mohon Tunggu... Let's talk about life.

-

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kenapa Masyarakat Terasa Semakin Pemarah dan Kejam Belakangan Ini

21 April 2025   08:00 Diperbarui: 21 April 2025   14:03 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Terlalu sering melihat tayangan kekerasan bisa membuat hati mejadi keras (wayhomestudio/freepik)

Pernahkah Anda merasa dunia yang Anda tinggali sekarang terasa jauh lebih gelap dibanding beberapa tahun lalu? Rasanya seperti hati kita perlahan mengeras. Bukan karena kita ingin menjadi orang yang dingin, tapi karena terlalu sering melihat kekerasan, kebencian, dan kemarahan yang ditayangkan begitu mudah di layar ponsel kita setiap hari. Apakah Anda pernah merasa lelah dengan semua itu, tapi tidak tahu harus mulai dari mana untuk kembali menjadi pribadi yang lembut, tenang, dan penuh rahmat? Kalau iya, Anda tidak sendiri.

Saat ini, seolah-olah kekejaman menjadi hal yang lumrah. Seseorang bisa marah cuma karena perbedaan pendapat. Anak-anak bisa saling membully cuma untuk konten. Orang dewasa bisa kehilangan empati karena terlalu sering terpapar berita buruk. Dan lebih parahnya, semua ini dibalut dengan pembenaran-pembenaran yang membuatnya seolah sah dan wajar. Dunia terasa dingin, tapi bukan karena cuaca---melainkan karena hati manusia yang tak lagi hangat.

Kekerasan yang Menyelinap Lewat Layar Kecil

Salah satu hal yang tak bisa kita abaikan adalah peran media sosial dalam membentuk cara kita memandang realitas. Saat Anda membuka Instagram, TikTok, Twitter, atau YouTube, seberapa sering Anda melihat konten yang menampilkan kemarahan, pertengkaran, atau penghinaan? Dan berapa banyak dari konten itu yang mendapatkan ratusan ribu bahkan jutaan penonton?

Algoritma media sosial bekerja berdasarkan apa yang menarik perhatian. Sayangnya, manusia secara psikologis memang lebih mudah terpancing oleh hal-hal negatif. Ketika kita melihat orang berkelahi, kita terpancing emosi. Kita ingin tahu siapa yang salah, siapa yang benar. Kita ikut merasa marah, lalu membaca komentar, dan akhirnya terjebak dalam pusaran emosi yang terus berulang.

Yang lebih menakutkan adalah ketika semua itu menjadi tontonan sehari-hari, dan perlahan kita berhenti merasa terganggu. Kita tak lagi menundukkan pandangan saat melihat sesuatu yang tak pantas. Kita tidak lagi merasa sedih saat melihat kekerasan. Kita cuma menggeser layar ke atas, mencari drama berikutnya. Dalam proses itu, hati kita yang tadinya peka mulai mati rasa.

Padahal dalam Islam, hati adalah pusat kehidupan spiritual. Ketika hati rusak, seluruh kehidupan kita akan ikut rusak. Rasulullah SAW bersabda, "Ketahuilah, dalam tubuh manusia ada segumpal daging. Kalau ia baik, maka baiklah seluruh tubuhnya. Kalau ia rusak, maka rusaklah seluruh tubuhnya. Ketahuilah, itulah hati." (HR. Bukhari dan Muslim).

Ketika Dosa Dianggap Biasa

Kita hidup di zaman di mana dosa tidak cuma dilakukan secara terang-terangan, tapi juga disiarkan dan dirayakan. Banyak orang bangga dengan perlakuannya yang kasar, ucapannya yang menyakitkan, dan sikapnya yang arogan. Dan lebih dari itu, mereka mendapatkan pengikut, tepuk tangan, dan validasi.

Ini bukan cuma masalah sosial, tapi juga masalah iman. Dalam Al-Qur'an, Allah menggambarkan bagaimana hati manusia bisa menjadi keras bahkan lebih keras dari batu. Ketika hati sudah membatu, maka nasihat tidak akan masuk. Peringatan tidak lagi menyentuh. Bahkan ayat-ayat Allah pun terasa hambar bagi mereka.

Sebaliknya, orang yang beriman seharusnya merasa takut saat melakukan dosa. Bukan karena takut diketahui orang lain, tapi karena takut kepada Allah. Takut kehilangan hidayah. Takut hatinya menjadi keras. Tapi hari ini, banyak dari kita justru tidak lagi merasa bersalah saat tergelincir. Kita merasa itu cuma "kecil", cuma "sekali-sekali", dan semua orang juga melakukannya.

Sayangnya, yang sedikit kalau dilakukan terus-menerus bisa menjadi banyak. Yang terasa sepele, kalau terus dibiarkan, bisa menghilangkan kepekaan kita. Maka, bukan dosa besar yang paling berbahaya bagi orang beriman, tapi dosa kecil yang diremehkan.

Menjadi Muslim yang Kuat di Tengah Arus Kekejaman

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun