Pernahkah kamu berada dalam situasi di mana pilihan hidup terasa seperti tarik-menarik antara idealisme dan kenyataan? Di satu sisi, kamu ingin terus belajar, kuliah, dan mengejar cita-cita setinggi langit. Tapi di sisi lain, kondisi keluarga tidak memungkinkan. Ada adik-adik yang harus masuk sekolah di waktu yang sama, biaya masuk tidak murah, dan orang tua harus memilih siapa yang harus didahulukan.
Ini bukan skenario fiktif. Ini adalah kenyataan yang dihadapi banyak keluarga hari ini. Dan mungkin, kamu atau orang yang kamu kenal sedang berada di posisi itu sekarang. Di tengah tekanan sosial kalau "anak pertama harus sukses", ada realita kalau sukses tidak selalu datang dari jalur yang sama.
Ketika Semua Masuk Sekolah, Tapi Uang Tidak Cukup
Bayangkan sepasang orang tua dengan tiga anak. Tahun ini, ketiganya harus masuk sekolah secara bersamaan. Satu ke taman kanak-kanak, satu ke SMP, dan yang paling besar ke perguruan tinggi. Masalahnya, biaya masuk tiga jenjang pendidikan sekaligus bukan angka yang kecil. Tabungan yang ada tidak cukup. Pilihannya cuma dua: memaksakan semuanya dan terjebak utang yang bisa menyesakkan napas, atau membuat keputusan berat---menunda kuliah anak pertama.
Dan itulah yang akhirnya mereka pilih.
Bukan karena mereka tidak peduli pada pendidikan. Justru karena mereka peduli, mereka memilih untuk rasional. Mereka tahu pendidikan adalah proses panjang, bukan perlombaan cepat-cepat sampai. Mereka juga tahu kalau tidak semua ilmu harus dibayar mahal untuk bisa dipelajari. Di era seperti sekarang, di mana informasi tersedia begitu luas, belajar bisa dilakukan dari mana saja. Tapi kebutuhan mendesak adik-adiknya tidak bisa ditunda.
Menunda Bukan Berarti Menyerah
Dalam Islam, kita diajarkan untuk memperhatikan hak-hak anak dan menunaikan kewajiban sebagai orang tua sesuai kemampuan. Kalau keadaan memaksa, maka keputusan yang diambil harus berdasarkan kemaslahatan dan keadilan. Dalam hal ini, menunda kuliah satu anak demi memastikan dua anak lainnya tetap bisa sekolah adalah bentuk keadilan dalam keterbatasan.
Allah tidak membebani hamba-Nya di luar batas kemampuannya. Maka ketika situasi memaksa seseorang untuk menunda satu langkah, bukan berarti ia mundur. Bisa jadi, Allah sedang menyiapkan jalan yang berbeda---bahkan mungkin lebih luas dan lebih baik---dari yang semula direncanakan.
Si anak pertama, meski tidak jadi kuliah tahun ini, tetap punya semangat belajar. Ia mulai membantu di usaha kecil orang tuanya. Ia ikut mencatat pemasukan, memahami alur distribusi, bahkan perlahan mulai ikut mencari pelanggan. Ia membaca buku tentang bisnis, menonton video edukatif, dan berdiskusi dengan orang-orang yang lebih berpengalaman. Sementara teman-temannya sibuk mengikuti orientasi kampus, dia sudah mulai menghasilkan uang. Bukan dari sistem gaji, tapi dari hasil usahanya sendiri.
Ijazah Bukan Satu-satunya Jalan
Dalam masyarakat kita, ijazah kadang menjadi simbol keberhasilan. Tapi Islam mengajarkan kalau nilai seseorang tidak diukur dari gelar atau pangkat, melainkan dari takwa dan amalnya. Ilmu yang bermanfaat, meskipun tidak bersertifikat, jauh lebih bernilai daripada gelar tanpa manfaat.
Kalau seorang anak belajar langsung dari lapangan, membangun usaha bersama keluarganya, dan menggunakan waktunya untuk mengembangkan keterampilan yang nyata, maka itu juga termasuk dalam kategori ilmu yang bermanfaat. Dalam hadis, Rasulullah menyebutkan kalau salah satu amalan yang pahalanya terus mengalir bahkan sesudah kita meninggal adalah ilmu yang bermanfaat.