Mohon tunggu...
WARDY KEDY
WARDY KEDY Mohon Tunggu... Relawan - Alumnus Magister Psikologi UGM
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

SAYA adalah apa yang saya TULIS

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Jangan "Alergi" kalau Bicara Ideologi

29 Juni 2020   13:10 Diperbarui: 30 Juni 2020   09:16 417
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Pancasila.(KOMPAS/TOTO SIHONO)

Salah satu topik yang menimbulkan perdebatan serius di tengah masyarakat saat ini adalah tentang pembahasan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) oleh DPR.

Topik ini menjadi titik poin penting pembicaraan masyarakat, sehingga seolah-olah lupa akan persoalan Covid-19 yang sampai saat ini belum surut.

Pembahasan RUU HIP yang dilakukan DPR ini kemudian menuai banyak kritik dari masyarakat dan pihak terkait lainnya.

Karena begitu banyak masukan dan kritikan yang dilancarkan oleh masyarakat maka Menkopolhukam pun mengumumkan penundaan pembasahan RUU HIP, sembari meminta DPR agar bisa menyerap semua aspirasi dari segenap elemen masyarakat.

Kalau melihat informasi dari berita yang ada, dapat kita baca bahwa awal pembahasan RUU HIP tersebut digelar di Baleg DPR. Rancangan awal ini berasal dari usulan dan inisiasi fraksi PDIP dan telah ditetapkan sebagai RUU inisiatif DPR.

Akan tetapi, naskah RUU yang di dalmnya berisi 58 pasal tersebut kemudian mendapat kritikan oleh masyarakat maupun oleh internal DPR itu sendiri lantaran tidak mencantumkan TAP MPRS XXV/1966 tentang Pembubaran PKI sebagai konsideran.

Banyak fraksi (diantaranya, PKS, PPP, PAN, Demokrat dan beberapa fraksi lainnya, termasuk dari MUI) menolak pembahasan RUU HIP tersebut karena menurut mereka TAP MPRS yang isinya mengenai pembubaran PKI, larangan ideologi marxisme, leninisme dan komunisme itu masih urgen dan relevan untuk melindungi masyarakat Indonesia dari perubahan sikap yang mengarah pada kekacauan.

Di samping itu, penolakan pembahasan RUU HIP bukan hanya sekadar karena tak mencantumkan TAP MPRS MPRS XXV/1966 soal Pembubaran PKI sebagai konsideran, tapi juga dinilai tidak terlalu urgen dalam situasi sekarang, sebab yang dibutuhkan masyarakat saat ini adalah bagaimana mengatasi mewabahnya Covid-19, bukan membahas ideologi negara.

Bahkan ada yang memprediksi bahwa RUU HIP ini dinilai berpotensi mendegradasi nilai luhur Pancasila yang sudah disepakati para pendiri bangsa ini.

Hal tersebut dikumandangkan oleh Ketum Syarikat Islam (SI), MUI dan Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah. Mereka dengan tegas menolak pembahasan RUU HIP sebab dari hasil pengkajian terhadap naskah RUU HIP, mereka menemukan bahwa RUU ini bertentangan dengan sejumlah aturan perundangan dan dapat mendegradasi Pancasila sebagai dasar Negara, (Kumparan NEWS, 17 Juni 2020).

Semua kritikan yang datang didasari oleh 'kecurigaan' pada gagasan Pancasila yang ada di dalam RUU HIP, di mana menurut para kritikus, Pancasila tersebut lebih ditekankan pada Pancasila yang digagasa pada 1 Juni 1945, bukan Pancasila yang termaktub pada Pembukaan UUD 1945. Ini semua tercermin dari munculnya pasal terkait trisila dan ekasila (gotong royong).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun