Karena itu, pantas dan layaklah kalau saya mengatakan bahwa intensitas berkomunikasi di dunia nyata harus menjadi prioritas utama, supaya rasa kekeluargaan kita semakin kuat dan nyata. Saya tahu, bahwa situasi ini di tengah pandemi ini memang memaksa kita untuk berkomunikasi secara virtual dengan orang lain. Tetapi kita harus ingat, jangan sampai di dalam rumah (se-rumah) pun kita berkomunikasi secara maya dengan orang tua, atau kakak-adik, atau dengan anggota keluarga lainnya.
Realita ini bukan tanpa alasan, sebab kalau melihat keadaan dan perilaku kita sekarang, dalam suatu pertemuan, sebut saja di rumah misalnya, komunikasi intens yang terjadi paling hanya 10-15 menit awal. Itupun hanya sapaan biasa yang dihiasi dengan basa-basi menanyakan kabar dan keadaan lawan bicara kita.Â
Selebihnya, setiap kita akan lebih sibuk dengan orang lain di 'genggaman' alat yang dinamakan gadget (Hp). Sungguh menyedihkan ketika melihat ada dua/tiga orang berkumpul di suatu ruangan, atau tempat umum, tetapi mereka sibuk dengan Hp mereka masing-masing dan tidak peduli dengan sesama disamping.Â
Sudah hilangkah rasa dekat bersama orang lain? Bagaimana relasi batin bisa terbentuk, kalau perilaku dan rasa kita menganggap kalau dunia maya itu lebih mengasyikan? Kasihan ya,,, dunia maya yang sebenarnya tidak nyata sudah merubah 'kebiasaan' kita dalam berperilaku, saling menyapa dan bertutur kata.
Sekali lagi, saya tidak menyalahkan perkembangan teknologi saat ini. Yang sangat saya sayangkan adalah perilaku kita yang perlahan mulai bergeser ke dunia maya. Kita seolah merasa lebih penting berurusan dengan teman-teman di media sosial, dari pada sahabat atau tetangga atau keluarga sendiri yang mungkin sedang ada di hadapan kita.Â
Kiranya, lewat tulisan kecil ini, kita bisa disadarkan bahwa dunia yang sebenarnya adalah dunia nyata, di mana komunikasi langsung yang terjalin pasti disempurnakan melalui 'sentuhan' kasih persaudaraan bersama orang lain yang hadir di hadapan kita secara riil. Dunia maya hanyalah 'fantasi' akal kita yang tidak boleh merusak semangat kebersamaan untuk saling 'baku dapa' secara langsung. Dunia maya, janganlah dianggap nyata, selama masa sulit ini.Â
Kalau kita tetap mempertahankan ke-nyata-an komunikasi dan interaksi yang intens, niscaya, pasca pandemi Covid-19 ini, dunia yang maya akan tetap menjadi sarana dan bukan kebutuhan utama. Dunia maya akan tetap maya selamnya. Jadilah pribadi yang kuat merindu 'nyata' dalam berelasi bersama orang lain, karena kita sedang hidup di dunia 'nyata', bukan virtual.
tulisan ini juga tayang di laman thecolumnist.id
Referensi Berpikir:
Candra, A. (2015). Meng-alay dalam Dunia Maya: Disorder Bahasa dalam Cyberspace. Komunikator, 4(02).
Irawanto, B. (2017). MEREGUK KENIKMATAN DI DUNIA MAYA: VIRTUALITAS DAN PENUBUHAN DALAM CYBERSEX. Jurnal Kawistara: Jurnal Ilmiah Sosial dan Humaniora, 7(1), 30-40.
Rachman, R. F. (2017). Menelaah riuh budaya masyarakat di dunia maya. Jurnal Studi Komunikasi, 1(2), 206-222.