Allah mendatangi kita, karena kita dan karena keselamatan kita. Iman mempunyai arti eksistensial. Iman berarti kepastian hidup yang dinamis sesuai kebutuhan, pengalaman dan perkembangan batin seseorang dan bukan sebagai suatu teori yang statis. Israel percaya akan Yahwe berdasarkan seluruh sejarah keselamatan yang dialami.Â
Ajaran tentang iman yang bukan saja sebagai sikap terhadap Allah telah dikemukakan oleh konsili di Trente. Dasar iman adalah kesetiaan dan kebaikan Allah yang telah dialami dalam pengalaman konkret setiap hari.Â
Penyerahan kepada Allah, bukan berati melepaskan diri, melainkan merupakan hubungan pribadi sebagai jawaban atas kebaikan Allah. Penyerahan diri kepada Allah adalah pertemuan kongkret dengan Allah.
3. Gereja dan Iman saling Mengisi
Disatu pihak, Gereja adalah sumber iman. Dengan penyaksiannya, dengan sakramen-sakramen, dengan ajaran dan doa-doanya, ternyata Gereja telah membangkitkan iman dalam hati kita semua. Namun di lain pihak, tepat juga bahwa Gereja sebenarnya hidup dan bertahan dari iman, yang mempersatukan kita dalam Allah.Â
"Satu tubuh dan satu roh" sebagaimana mempunyai satu harapan pula, satu Tuhan, satu kepercayaan, satu permaindian, satu Allah (Ef. 4:4-5). Jelaslah bahwa tanpa iman Gereja tidak akan bertahan kokoh.Â
Kesadaran bahwa pada prinsipnya kita semua bersatu dalam Iman harus menghilangkan segala kekhawatiran tentang perkembangan iman dewasa ini dalam Gereja dan segala rasa curiga terhadap ungkapan iman zaman dahulu.Â
Rasa gelisah dan takut, entah terhadap rumusan dogma yang tetap maupun terhadap ungkapan iman yang nampaknya terlalu kabur, memperlihatkan adanya kesadaran iman yang kurang matang. "Ketakutan tidak terdapat dalam cinta kasih" (1 Yoh. 4:18).Â
Iman hanya dapat berkembang atas dasar kesatuan seluruh umat dalam kepercayaan akan Allah. Kalau orang mulai menjauhkan diri dari Allah, itu bukan suatu pengungkapan iman.Â
Sebaliknya, kalau semua orang sadar bahwa kepastian hidup tidak diperoleh dari rumusan-rumusan iman yang mempunyai kepastian dalam Allah sendiri, maka segala rumusan iman yang lama tidak akan diabaikan begitu saja dan juga tidak akan dipertahankan mati-matian, tetapi akan dicari ungkapan iman yang seimbang danyang lebih sesuai dengan penghayatan orang zaman sekarang.
Harus kita akui bahwa sekarang ini kita sedang hidup dalam masa ujian; kita sedang berada dalam situasi yang berat. Hal ini wajar dan tidak mengkhawatirkan. Asalkan kita mau menghayati iman dalam Gereja dan harus bisa saling mengisi satu sama lain, maka zaman ini pasti akan berarti 'peremajaan iman'. Iman, pertama-tama adalah suatu pengalaman pertemuan dengan Allah.Â