Keracunan Makanan pada Program Pangan Sekolah: Kajian Ilmiah atas Ancaman Tersembunyi dan Strategi Pencegahan Berbasis Bukti
Keracunan makanan merupakan salah satu isu kesehatan masyarakat yang terus mengancam, terutama dalam program pemberian makanan massal seperti Program Makan Bergizi Gratis (MBG) di sekolah. Sejumlah kasus keracunan massal yang melibatkan ratusan siswa di Indonesia sepanjang tahun 2025 menyoroti lemahnya kontrol kualitas makanan serta pengawasan distribusi. Harus dipahami penyebab utama keracunan makanan berdasarkan studi ilmiah dan data survei, gejala klinis serta komplikasinya, hingga strategi penanganan dan pencegahan yang berbasis pada evidence-based medicine. Penekanan khusus diberikan pada pentingnya sinergi antara kebijakan publik, manajemen pangan, dan edukasi masyarakat untuk menjamin keamanan pangan anak-anak sebagai aset masa depan bangsa.
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) merupakan kebijakan strategis yang diluncurkan pemerintah sebagai upaya percepatan perbaikan gizi anak-anak Indonesia. Tujuan mulianya adalah untuk menekan angka stunting dan meningkatkan konsentrasi belajar siswa melalui pemberian makanan sehat dan bergizi di sekolah. Namun dalam praktiknya, program ini menghadapi tantangan besar di bidang manajemen pangan, yang menyebabkan terjadinya insiden keracunan makanan massal di berbagai wilayah.
Menurut data Kementerian Kesehatan RI dan pemantauan dari lembaga independen seperti ICW dan IDAI, keracunan makanan dalam program MBG sepanjang awal 2025 telah menimpa sedikitnya 260 siswa dari berbagai daerah. Permasalahan yang mencuat meliputi bahan makanan yang basi, cara memasak yang tidak higienis, penggunaan wadah makanan plastik berbahaya, dan lemahnya pengawasan rantai distribusi. Masalah ini mendesak perlunya pendekatan ilmiah yang komprehensif untuk mengidentifikasi akar penyebab dan merancang strategi pencegahan yang efektif.
Angka Kejadian
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang dicanangkan pemerintah sebagai solusi terhadap malnutrisi dan stunting di kalangan pelajar menuai sorotan tajam setelah serangkaian kasus keracunan makanan melanda sejumlah sekolah di berbagai daerah sepanjang tahun 2025. Berdasarkan laporan terkini dari Dinas Kesehatan dan lembaga pemantau, tercatat sedikitnya 260 siswa menjadi korban dalam insiden yang tersebar di enam provinsi. Kasus pertama terjadi di Cianjur, Jawa Barat, menimpa 78 siswa dari MAN 1 dan SMP PGRI 1 dan memicu penetapan status Kejadian Luar Biasa (KLB). Kasus serupa menyusul di Bombana, Sulawesi Tenggara (13 siswa), Batang, Jawa Tengah (60 siswa), Waingapu, NTT (29 siswa), Pandeglang, Banten (40 siswa), dan Sukoharjo, Jawa Tengah (40 siswa). Data dari Kementerian Kesehatan RI menunjukkan bahwa 87% dari kejadian keracunan tersebut berkaitan dengan konsumsi makanan olahan berbahan dasar hewani, seperti ayam tepung dan telur, yang terindikasi basi atau terkontaminasi karena penanganan yang buruk.
Evaluasi cepat dari berbagai organisasi masyarakat sipil dan ahli gizi menemukan bahwa kelemahan terbesar dalam pelaksanaan MBG adalah pada rantai pengawasan kualitas makanan dan logistik distribusi. Hasil survei cepat yang dilakukan oleh Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) dan Asosiasi Institusi Gizi Indonesia (AIGI) terhadap 150 sekolah penerima MBG menunjukkan bahwa hanya 38% sekolah memiliki sistem pengecekan mutu makanan harian, sementara sisanya mengandalkan vendor penyedia makanan tanpa standar audit yang konsisten. Lebih dari 64% sekolah masih menggunakan wadah plastik tipis sekali pakai yang berisiko melepaskan zat kimia berbahaya seperti BPA saat terkena suhu tinggi. Di sisi lain, survei oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) menunjukkan bahwa 72% orang tua siswa merasa khawatir terhadap keamanan makanan MBG, dan 58% di antaranya menyatakan bahwa anaknya mengalami gejala seperti mual, muntah, atau diare setelah konsumsi.
Penyebab Keracunan Makanan Berdasarkan Penelitian Ilmiah dan Data Survei
Berdasarkan World Health Organization (WHO), penyebab utama keracunan makanan secara global adalah kontaminasi biologis (bakteri, virus, parasit), kimiawi (logam berat, pestisida), dan fisik (serpihan logam, plastik). Penelitian oleh Scallan et al. dalam Emerging Infectious Diseases (2011) mencatat bahwa patogen utama yang sering menyebabkan keracunan makanan adalah Salmonella spp., Clostridium perfringens, Norovirus, dan Escherichia coli O157:H7. Dalam konteks MBG, pengolahan makanan massal yang tidak mematuhi standar higiene sangat rentan terhadap kontaminasi silang dan suhu penyimpanan yang tidak sesuai, memperbesar risiko pertumbuhan bakteri patogen.
Survei oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) tahun 2024 terhadap 1.200 penyedia katering sekolah menemukan bahwa hanya 42% yang memenuhi syarat higiene sanitasi makanan. Sementara itu, laporan dari Asosiasi Gizi Indonesia (AIGI) menunjukkan bahwa 61% makanan MBG tidak melalui proses pengawasan mutu yang ketat, dan 68% sekolah menggunakan bahan baku dengan tanggal kedaluwarsa mendekati. Dalam beberapa kasus di Cianjur dan Batang, makanan disiapkan lebih dari 6 jam sebelum dikonsumsi tanpa pendinginan memadai, menciptakan lingkungan ideal bagi pertumbuhan mikroba patogen.