Mohon tunggu...
Diaz Radityo
Diaz Radityo Mohon Tunggu... Freelancer - Pendongeng keliling dan menulis

Seorang manusia biasa yang ingin bercerita dan berbagi energi positif.

Selanjutnya

Tutup

Music Pilihan

Berkirim Surat kepada Langit dan Sebuah Harapan

9 Juli 2018   10:20 Diperbarui: 9 Juli 2018   10:34 852
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana Pentas Puno Letters to The Sky

Beberapa waktu lalu sempat terjadi kehebohan yang terjadi di Yogyakarta. Penyebabnya adalah pengumuman yang dibuat oleh Papermoon Puppet Theatre. Setelah sukses menggelar pementasan di 3 negara, mereka akan pulang kandang untuk melakukan pentas di Yogyakarta. Sontak saja, semua penggemarnya menjadi bergemuruh dan rela berjibaku mendapatkan tiket.  

Sejak awal dibukanya pembelian tiket, antusiasme penonton melampui ekspektasi. Demi sebuah tiket di tangan, mereka ada yang rela berpanas-panasan di Jogja National Museum. Bagi yang berburu di dunia maya, mereka harus telaten memantau melalui sebuah laman yang khusus menjual tiket pertunjukan Papermoon. Para pemburu tiket itu memiliki harapan yang sama, mengirimkan surat ke langit.Puno, Tala dan Awan Merah

Papermoon Puppet Theatre menggelar pementasan dari tanggal 4-8 Juli 2018, bertempat di IFI-LIP Yogyakarta. Pementasan kali ini Papermoon Puppet Theatre membawakan cerita mengenai Puno Letters to The Sky. Cerita ini diperankan oleh 3 tokoh utama, Puno, Tala dan Awan Merah. Puno merupakan ayah dari gadis bernama Tala. Sedangkan Awan Merah merupakan malaikat yang diberikan tugas mengambil nyawa. 

Pentas diawali dengan jenaka oleh para punggawa Papermoon, mereka mengajak penonton berinteraksi dengan adegan-adegan yang dibawakan. Tata artistik yang sangat sederhana dan tidak terlalu rumit membuat penonton merasa dekat dengan keseharian yang dialami. Tata suara yang dimainkan semakin membuat penonton masuk ke dalam suasana "anak-anak". 

Pantaslah jika pentas ini juga boleh disaksikan oleh anak-anak. Puno juga digambarkan sedang mencari pasangan untuk dijadikan Mama Tala. Dengan rayuan kekinian, ia mengajak salah satu penonton menjadi istrinya. Sebuah pembukaan yang sangat manis diberikan oleh mereka.

Awan Merah yang sebelumnya telah diberi perintah untuk menyampaikan "pesan" kepada Puno pun datang. Awan Merah datang dalam gelap, mengendap-endap dan senyap kepada Puno. Sesekali Puno menoleh ke belakang merasakan kedatangan Awan Merah. 

Tala yang sedang asyik menyantap kudapan hasil makanan Puno, menegur ayahnya yang sedang terdiam. Kemudian mereka melanjutkan menghabiskan kudapan tersebut di ruang makan. Setelah selesai makan, Puno menuju ke ruang kerja dan Tala menulis di meja makan. Puno yang nampak kelelahan melepas kacamatanya, menaruhnya di atas meja kerjanya. Sesekali matanya melihat hasil karyanya yang ditempel di dinding. Dan Awan Merah masih berada di antara Tala dan Puno.

Tala (kiri) dan Puno (kanan) dokumentasi pribadi
Tala (kiri) dan Puno (kanan) dokumentasi pribadi
Puno kembali meneruskan pekerjaannya, dan tiba-tiba Tala mengagetkannya. Puno menyambut hangat gadis kecil kesayangannya itu. Bergegas Puno mengambil kamera untuk merekam keseruan yang dialami oleh mereka. Lagi-lagi Papermoon juga memberikan kejutan. Kita akan dimanjakan oleh permainan siluet yang ditembakkan ke layar hitam dengan bermodalkan senter kecil. 

Seluruh penonton di auditorium hening. Sepi, tak satu  pun mengalihkan pandangan mereka.  Keduanya saling merekam satu sama lain, bahagia rasanya. Puno lantas memeluk Tala ketika datang seekor burung dengan nadanya yang parau dan nyaring terbang mengelilingi rumah mereka. Tala mencari perlu perlindungan, dan sang ayah memberikan ketenangan. Tala akhirnya meninggalkan Puno, membiarkannya meneruskan pekerjaan yang tadi sempat tertunda.

Puno bergegas menyelesaikan pekerjaannya, berlomba dengan waktu. Awan Merah semakin mendekatinya, dekat dan bersiap melakukan tugasnya. Di tengah menuntaskan pekerjaannya, ia batuk, nafasnya tersengal, keringat dingin mulai deras membasahi wajahnya. Tetapi Puno tetap berusaha fokus di meja kerjanya. Namun ia sudah tidak bisa menahan sakit yang dideritanya.

Takdir semakin dekat kepadanya. Awan Merah tak bisa lebih lama lagi untuk menunggu mengirimkan pesan yang dibawanya. Kebahagiaan yang sedang terjadi antara ia dan Tala mulai memudar. Ia harus dibawa ke rumah sakit. 

Dan di sanalah, Awan Merah mengirimkan pesan tersebut kepada Puno. Panggung yang didominasi dengan warna hitam menambah aura getir dan sedih mendalam. Papermoon berhasil mengaduk-aduk perasaan para penonton, membalikkan keadaan dan berefleksi bahkan kontemplasi. Banyak hujan air mata, rasa menyesal, sedih terekam di pentas malam itu.

Tiket Pentas Puno Letters to The Sky
Tiket Pentas Puno Letters to The Sky
Lalu bagaimana dengan Tala? Ia harus menerima kenyataan bahwa ayahnya sudah pergi. Bimbang akan langkah selanjutnya. Puno yang sudah pergi juga mengalami konflik batin, ia bisa bertemu dengan Tala tetapi tidak bisa menyentuhnya dan membelikan es krim kesukaannya. Awan Merah datang memberikan sedikit kejutan, Puno memiliki waktu 40 hari lagi bersama Tala untuk mendampinginya. 

Tepat di hari ke 40, hari di mana Puno tak lagi bisa bersama Tala.  Puno meninggalkan kertas dan pensil untuk Tala. Untuk terakhir kalinya, Puno mencium Tala. Kemudian Tala teringat saat Puno memberikannya perahu dari kertas dan ia akhirnya membuat hal yang sama. 

Perahu kertas itu ia buat dan tulisi dengan harapan-harapan terbaik untuk sang ayah. Saat Tala mengirimkan perahu kertas itu ke langit, turunlah ribuan perahu kertas menghampirinya.

Sebuah Harapan dari Sepucuk Surat

Papermoon kembali menunjukkan sihirnya kepada penonton, Ria selaku sutradara mampu meracik sebuah tema yang sederhana menjadi pertunjukkan yang mengaduk-aduk perasaan. Puno Letters to The Sky sebuah pentas yang diangkat dari pengalaman pribadi. Sebuah tema yang universal membincangkan mengenai kematian dan kehilangan, yang sudah pasti pernah atau sedang dirasakan setiap orang. 

Perahu kertas yang dibawa oleh Tala menjadi sebuah poin penting dalam pentas ini. Secara implisit, perahu itu menggambarkan kita sebagai manusia yang masih menempuh perjalanan kehidupan. Apapun yang terjadi, kita tetap harus melaju hingga akhir tujuan yang diinginkan. Papermoon memikirkan semuanya dengan detail, termasuk juga mengatur posisi duduk penonton. 

Tidak ada kelas tempat duduk yang ditawarkan, semuanya harus lesehan. Setelah menikmati pentas ini, saya lantas tersadar. Kenapa tempat duduk dibuat seperti itu. Jawabannya adalah kita harus saling memberikan dukungan kepada siapa pun di dekat kita yang sedang merasakan kehilangan. Tak peduli dengan latar belakang yang dimilikinya. Semuanya sama, manusia yang memiliki hati dan bisa merasakan kehilangan. 

Belajar kepada Tala, tidak boleh kita merutuki takdir. Justru harus bangkit dan saling berbagi harapan terbaik dengan orang yang sudah meninggalkan kita. Merasakan kehilangan merupakan sebuah proses "wajib" yang harus dialami manusia. 

Dari kehilangan itulah, kita akan membangun sebuah harapan. Titik baru dalam perjalanan kita sekaligus memberikan harapan dan kehidupan baru bagi kita dan yang telah tiada. Alam ini sudah berbaik hati kepada kita, memberikan kesempatan memiliki. Hal yang terbaik dapat dilakukan adalah dengan mensyukuri yang sudah kita miliki. Izinkan saya mengutip kata bijak dari seorang pengajar yang mengatakan, mengapa harus takut kehilangan? (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Music Selengkapnya
Lihat Music Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun