Mohon tunggu...
Adrian Diarto
Adrian Diarto Mohon Tunggu... Petani - orang kebanyakan

orang biasa. sangat bahagia menjadi bagian dari lansekap merbabu-merapi, dan tinggal di sebuah perdikan yang subur.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Majalah Tempo Berebut Rendang

17 September 2019   08:21 Diperbarui: 17 September 2019   11:45 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ruang pribadi sebagai pengejawantahan eksistensi diri menemukan jalannya pada era media sosial saat ini.

Dalam ragam bentuk dan langgam, ruang privat mendapat jalan lempang. Setiap orang mendapat bagian ruang yang adil dengan prasyarat memiliki kuota dan akses akun. Maka semua lalu tersaji luas dan menjadi seperti diharapkan.

Foto bersama jasad kerabat atau sahabat. Foto dengan mereka yang sedang sakit. Foto di rumah-rumah ibadah. Foto ketika memberi bantuan. Sampai foto tentang menu makanan, lalapan dan masih banyak lagi. Semua ada. Semua bisa. Ruang privat sudah go public hanya dengan bermodal kuota sebagai tanda kepesertaan. Tidak ruwet dan tidak ribet.

Maka beranda media sosial sudah seperti kepadatan lalu lintas di Jalan Solo Yogyakarta. Penuh pada waktu dan situasi tertentu. Lengang pada keadaan yang lain. Menyebalkan di satu waktu, dan lempang di waktu lain.

"Iya pak. Jam segini saya baru merasa enak menyetir kendaraan," kata sopir angkutan berbasis aplikasi on-line semalam, saat kami melintas di bilangan itu selepas pukul 22.00.

Pun menjadi Presiden di era media sosial menjadi juga bertambah rumit.

Pada jaman Simbah Harto, Sang Jenderal yang Tersenyum, menjadi presiden adalah memegang otoritas mutlak dan penuh tanpa banding dan tanpa tanding. Berdehem dan tersenyum sudah dapat menyelesaikan kerumitan dan menghilangkan potensi krisis.

"Beresken!" adalah kata legendaris yang mengalimat dan memaragraf tergantung konteks. Dan sangat ampuh! Seluruh perangkat birokrasi dan struktural dapat bergerak hanya dengan satu kata sakti itu. Mulai dari Pangdam sampai Danramil. Mulai dari Kapolri sampai Kapolsek.

Senyum Simbah Harto adalah koentji. Bisa tentang apresiasi. Bisa tentang sanksi. Bisa tentang promosi. Bisa tentang demosi. Bisa tentang penghargaan. Bisa tentang penghilangan. The Smiling General yang sakti mandraguna.

Bandingkan dengan Pakdhe Jokowi yang harus berjuang sedemikin rupa dalam berkomunikasi. Makian, hujatan, pujian dan doa bercampur menjadi satu. Mengharukan bahwa Pakdhe bermotivasi elegan dalam pola komunikasi yang rumit pada saat ini. Tetap terus positif dan berusaha berkata baik.

Seingatan dulu dan kalau tidak keliru, ada majalah mingguan yang hanya berani menggambarkan Simbah Harto dalam personifikasi sebagai raja dalam kartu remi. Bandingkan sekarang, majalah Tempo menggambarkan presiden dalam kapasitas simbol negara sebagai pecundang dan pembohong. Sulit mencari konteks etis dalam persoalan ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun