Mohon tunggu...
Adrian Diarto
Adrian Diarto Mohon Tunggu... Petani - orang kebanyakan

orang biasa. sangat bahagia menjadi bagian dari lansekap merbabu-merapi, dan tinggal di sebuah perdikan yang subur.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bila Panen Menjelang

15 September 2019   22:10 Diperbarui: 15 September 2019   22:17 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Sedhela maneh panen," begitu kata almarhum bapak dulu bila panenan akan segera tiba. Sebentar lagi panen. Kalimat sederhana yang sepertinya bermakna samar. Atau dengan kata lain: sulit menemukan hal istimewa dari kalimat sederhana itu.

Almarhum adalah pekerja yang menyukai detil. Kalau meraut pensil tidak hanya mengejar tajam tapi juga kemiringan dan kerapihan raut diperhatikan. Kalau membuat tangga bambu semua dihitung dalam jarak dan ukuran yang tepat. Kalau memotong tanaman pembatas pekarangan akan mencapai bentuk simetri yang ideal antara tinggi dan lebarnya. Kalau menggosok baju, semua dilipat sebagaimana seharusnya. Kalau menumpuk kayu bakar selalu terlihat ringkas meski bentuk kayu bakar tidak beraturan.

Ritual sepulang dari sawah menjelang tengah hari adalah mendengarkan musik keroncong sambil nglinting rokok dengan sigaret merek kupu-kupu dan cengkih merek pak ayem. Biasanya uba rampe itu dibeli di pasar Muntilan. Tembakau sekali waktu ditanam sendiri.

Ritual lain adalah mencaribersihkan sarang laba-laba dari dinding dan atap. Hal yang selalu membuat heran banyak orang. Almarhum juga dikenal hemat perkataan.

Menjadi petani sejatinya bukan perihal menyebar benih atau menanam bibit. Tetapi adalah mengakarkan harapan akan kebaikan alam dalam bentuk panenan. Laku merawat tanaman adalah bagian dari ritual menyulurpanjangkan harapan. Bahwa nanti akan bertumbuh baik dan berbuah lebat.

Bagaimana kalau panenan tidak sesuai harapan?

Bapak biasanya jago kalau memupus banyak hal. Atas apa yang dapat dirubah, atas apa yang dapat diusahakan atau atas apa yang harus diterima, "Yo wis, rapapa". Sudahlah, tidak perlu dipersoalkan.

Menjelang panen, simbok (mbah putri) akan membuatsiapkan wiwit dan bapak membawa letakkan di tulakan sawah. Tempat di mana air dari selokan masuk mengaliri seluruh sawah. Kelak, dalam kenakalan anak-anak, saya akan ke sawah sesudahnya. Mengambil makanan wiwit. Biasnya ada telur ayam kampung dan lainnya. Sayang kalau tidak dimakan, hehehe.

Dengan senyum di mata, bapak akan berkata kepada kami bila panenan akan segera dapat dilakukan. Senyum di mata itu adalah kegembiraan dan rasa syukur. Atas kerja keras yang sudah dilakuusahakan dan atas kemurahan semesta alam.

Simbah kakung (kakek) adalah guru bertani yang ugahari. Pandai memperhitungkan musim dan melakukan pertanian tumpang sari. Sementara Bapak adalah petani yang lebih pragmatis: lebih sering menanam padi karena relatif tidak rumit dan selalu dibutuhkan.

Foto adalah ilustrasi dari sawah milik orang lain. Suasana yang kiranya membangkitkan kegembiraan bagi pemiliknya. Mungkin seperti kegembiraan almarhum bapak ketika berkata dengan matanya yang tersenyum, "Sedhela maneh panen".

| Mudal | 15 September 2019 | 14.57 |

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun