Mohon tunggu...
Adrian Diarto
Adrian Diarto Mohon Tunggu... Petani - orang kebanyakan

orang biasa. sangat bahagia menjadi bagian dari lansekap merbabu-merapi, dan tinggal di sebuah perdikan yang subur.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Survei "Kompas" tentang Kandidat Presiden dan Indeks Korupsi

27 Maret 2019   07:07 Diperbarui: 27 Maret 2019   09:11 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diambil dari media Twitter

"Kita selalu rasa Indonesia more corrupt than us (Malaysia)..," tulis pada sebuah akun bernama Zaidi yang agaknya adalah warga Malaysia di media sosial twitter.

Percakapan itu sepertinya menyoal tentang harga pembangunan MRT Jakarta yang berharga sama dengan LRT3 di Malaysia tetapi mampu mengangkut penumpang 50% lebih banyak. Meski harus membuat banyak terowongan bawah tanah.

Tentu sebuah cuitan di twitter, ditelisik dengan menggunakan metode apapun, tidak mewakili pendapat seluruh rakyat Malaysia tentang korupsi di Indonesia.

Indonesia adalah peringkat ke 89 dari 175 negara dengan tingkat korupsi paling rendah, menurut Indeks Persepsi Korupsi 2018 yang dilaporkan oleh Transparency International.

Artinya cuitan itu memiliki dasar, bahwa Indonesia adalah masih tergolong negara korup.

Sampai hari ini, setidaknya, saya belum membaca survei persepsi orang Indonesia sendiri tentang korupsi. Apakah mereka terbiasa dan bahagia dengan suasana koruptif atau sangat terganggu dan sedih dengan suasana koruptif. Atau, biasa-biasa saja.

Survei tentang calon presiden sepertinya lebih menarik. Seperti survei yang diselenggarakan oleh "Kompas" kemarin. Bagi saya, survei "Kompas" itu adalah survei yang dilakukan oleh lembaga. Bukan oleh non lembaga. Meski Pemrednya sempat mengatakan bahwa "Kompas" adalah bukan lembaga survei. Dengan mengatakan itu, Pemred sepertinya terkesan menghindari kerja keras mereka sendiri yang sudah melaksanakan 15 kali survei serupa dan dijadikan rujukan oleh banyak pihak. Bahwa "Kompas" dianggap masih kredibel.

Saya tentu termasuk yang tidak setuju bila "Kompas" tidak "pede" mempertahankan argumen tradisi kerja keras mereka yang sudah dibangun dengan susah payah. Hanya karena diserang kiri-kanan atas hasil survei mereka. Meski saya juga tidak begitu paham dengan maksud Pemred yang mengatakan bahwa "Kompas" bukan lembaga survei.

Mengapa? Karena sudah dalam 2/3 usia saya selalu membaca "Kompas". Meski posisinya terus didesak dan tergeser. Semoga "Kompas" menemukan hasil metaformosa yang terus menjadi lebih menarik.

Tetapi bila ditarik lebih ke atas, survei tentang peluang seorang kandidat memenangkan pemilihan presiden seyogyanya tidak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan persepsi negara lain tentang tingkat "permalingan" (baca: korupsi) di Indonesia.

Semestinya negara ini menjadi risau (atau sangat risau) ketika orang lain (baca: negara lain) menempatkan Indonesia sebagai termasuk negara yang "sangat maling". Sangat koruptif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun