Di era digital ini, anak muda dihadapkan pada berbagai pilihan keuangan yang dapat membantu mereka mencapai taraf mandiri finansial.Â
Berbagai tuntutan circle pergaulan dan pandangan orang lain tentang anak muda, membuat mereka melakukan segala cara agar menjadi sukses dan mapan di usia semuda mungkin.
Namun sayangnya, ukuran sukses pun kerap diukur dengan kepemilikan barang-barang mewah, gaya hidup yang serba mudah "seolah tanpa beban".Â
Akhirnya tidak jarang anak muda yang mengejar pengakuan mandiri finansial itu memilih jalan pintas. Tanpa pikir panjang, untuk memenuhi kebutuhan dan keinginannya tersebut mereka memilih utang paylater. Menganggap mudah semuanya, dengan keyakinan "nanti bisa bayar belakangan."
Tren Paylater, Kemudahan atau Kebiasaan Berhutang?
Paylater telah menjadi salah satu pilihan pembayaran yang populer di kalangan anak muda. Dengan paylater, kita dapat melakukan pembelian secara online atau offline tanpa harus membayar secara langsung.
Paylater ini sangat menggiurkan bagi mereka yang ingin mendapatkan sesuatu secara instan tanpa harus susah-susah menabung, mengumpulkan uang sejumlah yang dibutuhkan untuk membeli barang, jasa dan perangkat yang diinginkan. Demi gengsi dan penampilan pilihan itu diambil tanpa memikirkan risiko yang akan muncul setelahnya.
Menganggap bahwa kemudahan adalah sebuah solusi, padahal ketika tidak digunakan dengan bijak, paylater ini menjadi malah menjadi jebakan tersendiri.Â
Alih-alih senang dan tenang, utang paylater semakin hari semakin menumpuk. Beban yang dipikul pun semakin berat. Terutama bagi mereka yang belum memiliki penghasilan tetap yang bisa diandalkan sebagai cadangan dana cicilan utang paylater.
Dengan adanya paylater, hasrat belanja menjadi tidak terbendung. Punya dulu, bayar gimana nanti saja. Yang penting apa yang diinginkan sudah ada di genggaman.
Akibat kebiasaan ini, banyak anak muda yang akhirnya kelabakan. Tidur tidak nyenyak, menjalani hari-hati menjadi tidak tenang.Â