Banyak sekali kabar yang beredar tentang penerapan program MBG (Makan Bergizi Gratis) entah itu tentang programnya yang diragukan banyak kalangan, tentang keterlambatan pembayaran yang diberikan pada penyelenggara "dapur MBG", sampai pada kasus keracunan MBG pun terus ramai diperbincangkan seolah tiada habisnya.
Banyak yang harus mengelus dada tentang ini semua. Berbagai pertanyaan menggelitik pun bermunculan dari kaum yang menyayangkan "rumitnya" program MBG ini, "mengapa maksa banget dilanjutkan? Kalau programnya dihentikan pun tidak apa-apa kok, daripada ruwet kan?"
Namun nyatanya, sepertinya program ini akan terus jalan. Walaupun ada kesan "seolah dipaksakan." Ya, mungkin pemerintah masih penasaran, ingin membuktikan bahwa ini adalah jalan terbaik yang harus dilakukan.Â
Ya ..., daripada membuka lapangan pekerjaan bagi orang tuanya, mending ngasih makan anak-anaknya yang berjumlah puluhan juta. Meskipun harus ngabisin banyak dana gak apa-apa kan?
Kita orang awam yang bukan siapa-siapa bisa apa?
Namun jika harus mengeluh, sebagai seorang ibu yang mencintai anak-anaknya tentu tidak mau kalau anaknya harus mengalami keracunan MBG. Tidak mau pula mendengar ada korban keracunan meskipun itu bukan anak sendiri.
Makanan yang dimasak secara masal pasti berisiko tinggi. Entah itu karena masalah bahan yang kurang higienis dan terpapar bahan berbahaya, atau dari teknik pengemasan yang kurang teliti karena dilakukan secara massal -- basi misal.Â
Bahkan tidak menutup kemungkinan karena yang masak memilih bahan yang paling sederhana (dalam artian paling murah -- kualitas juga buruk) karena harus menekan biaya sebisa mungkin demi mendapatkan keuntungan.Â
Atau, karena harus berhemat karena dana pembuatan MBG belum turun. Yang terakhir ini murni hanya sebatas mugkin dan misal.
Meskipun enak dan lezat bahkan katanya bergizi (meski dengan harga yang minim), MBG tidak selamanya disukai semua siswa karena mungkin dengan menunya yang itu-itu saja.