Wacana tentang dikembalikannya sistem penjurusan di SMA (IPA, IPS dan Bahasa) yang kini sedang banyak dibicarakan sedikit banyak menuai pro dan kontra. Para ibu ramai membicarakan hal tersebut. Tidak sedikit yang mendukung program penjurusan itu dikembalikan. Alasannya, mungkin karena dianggap lebih memberikan bukti bahwa kemampuan anaknya ada di mana.
Memang berdasarkan pengalaman, penjurusan IPA, IPS, dan bahasa cukup bisa mengukur kemampuan siswa, meskipun sedikit terkesan mengkotak-kotakkan. Namun manfaatnya adalah, ketika siswa sudah diarahkan sejak SMA tentang minat dan kecerdasannya ada di bidang apa, tentunya ia sudah membayangkan karir apa yang akan diwujudkannya dengan masuk jurusan IPA, IPS atau Bahasa itu.
Seorang siswa yang ingin menjadi seorang dokter, akan lebih melatih kemampuannya dan masuk ke jurusan IPA. Begitu pula yang minat dengan IPS dan Bahasa tentu bisa lebih terarahkan sejak usia SMA sehingga mendapatkan bayangan akan melanjutkan kuliah ke jurusan apa yang kira-kira mendukung karirnya kelak.
Namun terlepas dari itu semua, penjurusan di SMA (IPA, IPS dan Bahasa) mungkin akan menghadirkan sedikit masalah bagi siswa gen Z dan Alpha yang sudah terbiasa dengan sistem kurikulum Merdeka Belajar. Dimana dengan kembalinya penjurusan, memungkinkan adanya sistem evaluasi yang berbeda dengan sebelumnya alias kembali ke masa dulu sebelum kurikulum Merdeka Belajar itu ada.
Pengembalian penjurusan di SMA (IPA, IPS, dan Bahasa)
Pengembalian penjurusan di SMA tetap perlu didampingi dengan penanaman dan pelatihan kompetensi-kompetensi yang dibutuhkan gen Z dan Alpha.
Meskipun penjurusan sangat bermanfaat untuk mengukur kompetensi dalam tiga ranah tersebut dan disinyalir akan dapat membantu lulusan lebih mengenal potensinya, pengembalian penjurusan tetap perlu didampingi dengan penanaman dan pelatihan kompetensi-kompetensi yang dibutuhkan gen Z dan alpha. Hal tersebut sangat diperlukan untuk menghadapi kehidupan ketika mereka terjun langsung ke masyarakat kelak.
Zaman sekarang pintar secara akademik saja tidak cukup. Belasan tahun lalu, perusahaan dan lembaga mencantumkan persyaratan IPK sebagai ketentuan diterimanya bekerja. Menandakan bahwa IPK cukup efektif untuk mengukur seberapa cerdas dan cakapnya seorang karyawan dalam bekerja.
Namun kemudian perlahan bergeser, bahwa yang dianggap cakap dan diterima bekerja sebagai karyawan adalah ia yang mampu bekerja secara mandiri, mampu bekerja secara tim, memiliki integritas dan loyalitas yang tinggi pada perusahaan. Nilan IPK tidak lagi memberikan pengaruh yang signifikan.
Gen Z sendiri yang hidup berdampingan dengan teknologi yang pesat serta berbagai kemudahan yang didapatkan banyak kehilangan waktu untuk ebnar-benar belajar secara nyata. Akibatnya banyak gen Z yang meskipun memiliki tingkat kecerdasan yang tinggi yang malah gagal mendapatkan karir impiannya.