Membahas tentang cerita cinta ibu tidak akan ada habisnya. Semua pasti berkesan mendalam. Karena peran dan cintanya tidak akan pernah tergantikan. Seperti kali ini, izinkan saya membagi cerita tentang pesan ibu yang menjadi pegangan hidup saya hingga kini berumah tangga.
Ibu pergi 6 bulan setelah pernikahan saya. Saat itu saya sedang mengandung cucu pertamanya. Penyakit hipertensi yang dideritanya telah merenggut nyawa ibu secara tiba-tiba. Ibu meninggal saat ibu sedang sehat dan sibuk -- menyiapkan pemberkasan untuk sertifikasi guru.
Ibu kelelahan, telat makan lalu pusing saat menyiapkan makan siang yang kesorean. Pembuluh darahnya pecah, mengalir di sudut bibir. Menyisakan pilu yang tidak pernah bisa dilupakan.
Itu cerita yang saya dengar dari ayah. Karena saya sendiri kala itu sedang berada di kota yang berbeda dengan ibu. Tidak dapat digambarkan lagi betapa kesedihan memporakporandakan perasaan saya.
Ibu masih menelefon satu hari sebelumnya. Bertanya kabar, apakah masih mual atau tidak. Karena kehamilan di trimester pertama. Soal itu, ibu adalah konsultan terbaik saat saya mual dan pusing tidak karuan.
Rasa sakit karena ibu pergi rasanya belum sembuh. Bahkan bertambah sakit ketika saya melahirkan. Cucu dari anak pertama tidak bisa "dipamerkannya" kepada sanak saudara seperti yang ibu rencanakan. Putraku pun hanya bisa melihat wajah neneknya di album pernikahan.
Dari sekian pesan ibu dan caranya memperlakukan anak-anak perempuannya. Ada empat hal penting yang sampai sekarang terus menempel di kepala dan menjadi pegangan saya hingga melebur menjadi karakter tanpa saya sadari.
Pertama, anak ibu harus jadi orang
"Anak ibu harus jadi orang," katanya. Kalimat itu dikatakannya saat kami berkumpul malam hari ketika saya akan pergi ke Bandung untuk kuliah pertama kali.
Dari apa yang ibu sampaikan, kami maknai kalau ibu ingin anak-anaknya menjadi manusia yang bermanfaat dan memiliki nama yang baik di masyarakat.Â