Mohon tunggu...
Diantika IE
Diantika IE Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Penulis, Blogger, Guru, Alumnus Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Menulis di Blog Pribadi https://ruangpena.id/

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Ayah dan Tempat Kerja Barunya

17 April 2021   08:41 Diperbarui: 17 April 2021   09:06 1127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya yang sudah bukan anak-anak lagi pun begitu riang gembira karena rindu berat kepada sekolah masa kecil. Kami pun ikut ayah naik mobil tuanya menuju sekolah. SD kesayangan yang tidak mudah dilupakan dengan segala kenangannya. Sawahnya yang hijau mengelilingi sekolah kami membuat kami memiliki semangat yang kuat tetapi hati yang tetap lembut. Kami dididik oleh guru-guru dan alam yang begitu tenang.

Sekolah yang pernah mengajarkan saya kepemimpinan sejak dini, dimana saya menjadi ketua OSIS dan anggota Gerakan Pramuka. Sekolah yang mengajarkan kesabaran, menyembunyikan identitas, menahan rasa, dan berusaha untuk menjadi siswa biasa, karena nyatanya ayah dan ibuku guru dan bapak guruku sendiri.

Di kelas 2 saya diajarkan perkalian dan nyanyian dengan dendang yang medu oleh almarhumah ibuku. Di kelas itu pula saya pernah turun peringkat tergeser oleh temanku. Wali kelas yang juga ibuku sendiri, memberikan nilai yang sangat objektif.

Kemudian di kelas 6 saya harus terus gigit jari ketika mengangkat tangan mengajukan pertanyaan seringkali tidak mendapatkan jawaban langsung dari ayahku sang guru.

"Tanya saja ke teman sebangkumu, ia sudah lebih memahami itu," jawab ayahku ketika itu. Padahal di akhir pembelajaran ayahku selalu bertanya, "siapa yang ingin mengajukan pertanyaan?"

Dari sana saya belajar, bahwa di manapun bekerja harus tetap professional. Tidak perlu memberikan perlakuan khusus walaupun ada keluarga di tempat kerja sendiri. Seingatku, dulu ayah sering meninggalkan ibuku di rumah, ia berangkat lebih dulu jika ibu masih mengurusi urusan rumah, dan membiarkannya pergi sendirian membayar ojeg demi agar ayah datang tepat waktu.

Datang ke sekolah, ayah mendapatkan sambutan sebagai kepala sekolah yang begitu hangat. Ayah pun berkisah tentang perjuangannya untuk kembali ke desa sendiri menjelang akhir masa baktinya.  Guru-guru yang ada di sana adalah guru-guru yang sudah kenal semua. Putra-putra daerah yang bisa dianggap saudara. Dalam obrolan hangat, beberapa guru senior memanggil ayah dengan sapaan akrab, "akang". Rasanya hati ini begitu bahagia melihat wajah sumringah ayah.

Piala-piala berjejer dilemari kaca, satu dua di antaranya adalah piala yang juga diraih semasa kepemimpinan ayah dulu. Administrasi sekolah dan buku-buku tertata di lemari. Papan data terpampang lengkap.

"Sekolah ini memang keren," gumamku.

Pikiran pun melayang kepada obrolan masa lalu, dimana sekolah ini menjuarai lomba lingkungan, lomba murid teladan, lomba olahraga dan sederet prestasi lainnya. Saya harus benar-benar banyak belajar dari sekolah ini.  

Setelah bincang hangat dengan para guru, ayah mengambil sebilah golok. Dengan baju dinas hitam putihnya, ayah menuju taman. Saya tersenyum geli. Lagi-lagi hasrat beres-beres sekolahnya muncul. Dengan cekatan, ayahku memotong tunas-tunas Bugenvil di halaman sekolah yang sudah mulai tinggi karena tidak terawat efek pandemi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun