Mohon tunggu...
Dian PermanaPutri
Dian PermanaPutri Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Nature

Mengenal Cucak Ijo yang Semakin Langka

21 Juni 2020   12:37 Diperbarui: 21 Juni 2020   12:41 1959
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Indonesia merupakan negara mengabiodiversity dengan jumlah spesies burung mencapai 1.777 dan 513 di antaranya merupakan burung endemik. Jumlah tersebut menempatkan Indonesia sebagai negara dengan tingkat endemisitas spesies burung tertinggi di dunia. Pada 2016, Mongabay sebagai penyedia ragam berita konservasi dan sains lingkungan mencatat sedikitnya Indonesia menyumbang 16,2% spesies burung bagi biodiversitas dunia.

Salah satu burung endemik Indonesia adalah cica daun atau green leafbird (ordo Passeriformes). Cica daun yang banyak di temukan di Jawa adalah cica daun Jawa atau cica daun sayap biru (Chloropsis cochinchinensis). Umumnya, masyarakat Jawa menyebut burung tersebut sebagai cucak ijo. Kata 'ijo' memiliki arti hijau. Cucak ijo tidak termasuk ke dalam keluarga merbah atau cucak-cucakan (ordo Pycnonotus), sehingga cucak ijo tidak satu ordo dengan cucak rowo.

Cucak ijo memiliki kombinasi warna bulu yang indah. Sebagian besar bulu tubuh cucak ijo berwarna hijau seperti daun. Pada area paruh dan bawah mata cucak ijo berwarna hitam pekat, sedangkan pada bagian pipi hingga ke leher berwarna kuning cerah. Ciri khas dari cucak ijo adalah warna biru di sepanjang tepi sayap burung tersebut. Ciri khas tersebut yang membuat cucak ijo juga disebut sebagai cica daun sayap biru.

Cucak ijo memiliki postur tubuh yang tidak terlalu panjang, ramping, dan fleksibel. Panjang rata-rata tubuh cucak ijo (diukur dari ujung paruh hingga ujung ekor) berkisar antara 16--18 cm. 

Tubuh cucak ijo tidak terlalu panjang bila dibandingkan dengan cica daun jenis lain, yaitu cica daun Kalimantan (Chloropsis kinabaluensis): 14 cm, cica daun khas Sumatra (Chloropsis venusta): 27 cm, dan cica daun besar atau Greater Green Leafbird (Chloropsis sonnerati): 30 cm. Selain itu, cucak ijo relatif lebih ramping dibanding cica daun Sumatra dan cica daun besar. Struktur batang tubuh cucak ijo (tulang punggung dan ekor) berbentuk melengkung ke dalam dan bersifat fleksibel.

Secara morfologis, cucak ijo dan cica daun Kalimantan sekilas terlihat mirip, sehingga sering terjadi kekeliruan dalam membedakan keduanya. Perbedaan morfologi keduanya dapat dilihat melalui variasi warna bulu dan struktur tubuh. Warna hijau pada bulu cucak ijo cenderung gelap (benar-benar hijau), sedangkan pada cica daun Kalimantan lebih muda dan kekuningan. 

Cucak ijo memiliki warna kuning di bagian pipi hingga ke leher, sedangkan cica daun Kalimantan memiliki area pertumbuhan bulu berwarna kuning yang lebih luas, yaitu pada bagian dahi, leher, dilanjutkan ke dada hingga perut. Warna biru pada sayap cica daun Kalimantan lebih terang dan lebih sedikit jumlahnya. Paruh dan sekitar mata cucak ijo berwarna hitam pekat. 

Cucak ijo jantan memiliki bercak hitam hingga ke area leher, sedangkan warna hitam pada cucak ijo betina hanya berada pada area paruh hingga ke mata saja. Tubuh cica daun Kalimantan lebih pendek dan lebih ramping dibanding cucak ijo dengan struktur batang tubuh lurus dan tidak fleksibel.

Selain perbedaan morfologis, keduanya memiliki perbedaan pada kebiasaan ngerol. Ngerol sendiri merupakan kebiasaan berkicau cica daun yang umumnya saling bersahutan ketika ada cica lain di sekitar mereka. Hanya cucak ijo yang dapat menaikkan jambulnya ketika ngerol. Pada saat ngerol, gerakan tubuh cucak ijo lebih atraktif dibanding cica daun lainnya. Burung tersebut menggerakkan anggota tubuhnya dan berpindah-pindah saat ngerol, sedangkan cica daun Kalimantan haya diam di tempat atau bergerak dengan perlahan. Kebiasaan ngerol cucak ijo dianggap menarik oleh masyarakat, sehingga peminat cucak ijo lebih tinggi dibanding dengan cica daun Kalimantan dan cica daun lainnya.

Cucak ijo memiliki kicauan yang indah. Nada suara cucak ijo cenderung tinggi dan lantang atau gacor. Irama yang dihasilkan variatif dan berdurasi panjang. Kicau cucak ijo semakin gacor dan variatif pada saat diadu dengan kicau cucak lainnya, sehingga karakter kicau cucak tersebut semakin terlihat. Sedangkan suara cica daun Kalimantan satu nada lebih rendah, irama kurang variatif atau monoton, dan berdurasi pendek.

Daya tarik cucak ijo menjadi faktor kepunahan burung tersebut di alam. Masyarakat memburu, memperdagangkan, dan melokalisir burung tersebut. Permintaan pasar yang semakin tinggi, mendorong peningkatan perburuan liar di alam bebas. Ketika populasi cucak ijo di pulau Jawa sulit ditemukan, pedagang memburu cica daun ke pulau Kalimantan. Kemiripan morfologi keduanya memungkinkan manipulasi penjualan cucak ijo di pasaran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun