Mohon tunggu...
Dianingtyas Kh.
Dianingtyas Kh. Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Biasa saja, tak ada yang istimewa. http://khristiyanti.blogspot.com/\r\n

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Inflasi Nilai Rapor

21 Juni 2012   02:03 Diperbarui: 4 April 2017   17:14 2587
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Sebentar lagi saatnya penerimaan rapor. Guru-guru sudah sibuk mengolah nilai, bahkan menyetorkan nilai pada wali kelas karena sesegera mungkin rapor ditulis. Anak-anak mungkin sudah membayangkan berapa nilai yang akan tertera pada rapor mereka. Orang tua, seperti saya, barangkali sudah mulai memperkirakan di posisi berapa anaknya berada, jika dibandingkan dengan teman-teman sekelasnya.

Merunut apa yang terjadi selama ini, saya  kok melihat adanya penurunan nilai (inflasi) pada nilai-nilai yang tertera di rapor, ya. Dulu, ketika saya masih sekolah, nilai 9 saja sudah sangat istimewa. Tetapi, kalau dilihat pada rapor-rapor sekarang, nilai 90 ke atas bertebaran di mana-mana. Lalu, apakah anak-anak sekarang memang jauh lebih pintar ketimbang anak-anak yang bersekolah pada zaman dulu? Saya tidak yakin.

Mengapa? Begini ceritanya. Saya mengajar mulai tahun 2000. Ketika itu, kurikulum yang digunakan adalah kurikulum tahun 1994. Rentang nilai yang digunakan pada rapor masih 1 sampai 10. Syarat kenaikan kelas, hanyalah tak ada nilai mati (yaitu 3) dan nilai PMP (kemudian berubah menjadi PPKn, kemudian PKn, Agama, dan Bahasa Indonesia tak boleh kurang dari 6. Jadi, nilai 6 adalah nilai minimal untuk Bahasa Indonesia, mapel yang saya ampu. Nilai rapor diperoleh dari rata-rata harian dan nilai ulangan catur wulan (kemudian berubah menjadi semester). Jadi, nilai yang tertera di rapor murid-murid saya ketika itu adalah antara 6 sampai 9. Untuk nilai 9, hanya anak istimewa saja yang bisa memperolehnya karena untuk memperoleh rata-rata ini lumayan sulit, karena Bahasa Indonesia memang bukan pelajaran eksak yang terkadang sistem penilaiannya masih mengandung unsur subjektif (ngaku, hehehehe).

Ketika kurikulum berganti menjadi KTSP, rentang nilai yang tertera di rapor adalah 1-100. Menurut saya, sistem ini cukup bagus, karena bisa mengakomodir tingkat kemampuan individu. Kalau sistem dulu misalnya nilai 7,5 di bulatkan menjadi 8, maka sekarang nilai tak usah dibulatkan sehingga terasa lebih adil bagi masing masing anak. Namun, ada satu yang berubah, yaitu sekarang dikenal sistem KKM, Kriteria Ketuntasan Minimal. Setiap sekolah berhak menentukan KKM masing-masing, tetapi untuk Sekolah Standar Nasional dan sekolah-sekolah yang berencana menjadi Sekolah Standar Nasional, maka nilai minimal harus mencapai 75. Dan, katanya setiap tahun harus selalu meningkat. Jadi, sekolah yang sekarang RSBI di kota saya, sudah menetapkan nilai 85 sebagai standar ketuntasan minimalnya. Di rapor pun harus tertera angka ini jika hendak naik kelas.

Mendapatkan nilai 85 bukan sulap bukan sihir. Nilai sebesar ini  sungguh berat bagi anak, apalagi bagi anak yang kurang pandai secara akademis. Ada dua kesempatan remidi yang bisa dilakukan untuk masing-masing kompetensi dasar. Secara teori ya kalau dua kali remidi ini tak sampai KKM berarti anak tak bisa melanjutkan ke kompetensi dasar selanjutnya. Apabila kompetensi dasar tak tercapai semua, maka anak terancam tak naik kelas. Nilai remidi anak, berapa pun hasilnya asal melewati KKM, tertulis nilai KKM pada buku nilai. Praktisnya, jika anak sudah ikut remidial teaching berarti dia memiliki nilai KKM sesuai dengan yang diterapkan di sekolah.

Nilai 85 yang menjadi KKM RSBI  itu, ketika saya sekolah dulu sudah merupakan nilai yang luar biasa, Saudara-saudara (hehehehe). Tetapi, sekarang nilai itu menjadi nilai terendah. Lalu, berapa nilai untuk anak-anak yang sedikit lebih pandai? 86, 87, 89, 90, sampai seratus. Luar biasa, ya. Saya sendiri, tahun lalu pernah menuliskan di Kompasiana tentang nilai anak saya yang penuh dengan angka kepala 9, padahal saya tahu sendiri seberapa kemampuannya. Dia belum terlalu mahir dan menurut saya, angka 90 lebih itu terlalu luar biasa jika dibandingkan dengan nilai 9 yang tertera di rapor zaman dulu.

Mengapa ini bisa terjadi? Penilaian dengan sistem norma (padahal harusnya dengan sistem kriteria). Sang guru yang memberikan angka KKM (misalnya 80) pada siswa yang nilainya paling rendah, otomatis akan menuliskan angka-angka yang lebih tinggi pada siswa lain yang lebih pandai. Dalam satu kelas, rentang kecerdasan anak jelas sekali. Ada yang benar-benar tak pandai, dan ada yang benar-benar sangat menguasai mata pelajaran tersebut.  Jika yang tak pandai saja mendapatkan 80, otomatis yang sangat pandai harusnya mendekati nilai sempurna. Alhasil, di rapor pun bertebaran angka besar, meskipun sesungguhnya kemampuan anak tak sebesar itu.

Itulah sebabnya, ada anak yang mendapatkan nilai 75 tapi tak bisa apa-apa. Nilai rapor sekarang mungkin memang mengalami penurunan nilai. Bolehlah dikatakan inflasi, kalau dianalogikan dengan nilai tukar mata uang. Inflasi ini pun saya amati terjadi juga pada nilai Ujian Nasional. Ketika zaman saya sekolah dulu, nilai rata-rata 7 sudah bisa masuk ke sekolah paling favorit di kota saya. Sekarang? 9 pakai koma, baru bisa masuk. Luar biasa, ya.

Yang masih perlu dipertanyakan, nilai yang bagus, benarkah menunjukkan mutu yang bagus? Atau hanya nilai-nilai semua pengejar istilah tuntas saja? Wallahu a'lam. Kalau ini memang yang terjadi, pendidikan kita tentu tak jauh beda nasibnya dengan nilai mata uang kita. Terpuruk jauh di bawah. Atau, bukankah ini memang sudah terjadi?

Salam prihatin.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun