Mohon tunggu...
Dian Kelana
Dian Kelana Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pengelana kehilangan arah

www.diankelana.web.id | www.diankelanaphotography.com | www.diankelana.id

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Prabowo Tak Mau Belajar dari Kesalahan

19 April 2019   05:31 Diperbarui: 19 April 2019   05:49 253
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Berita Satu/Suara Pembaruan/Ruht Semiono

Tragis! itulah hal pertama yang saya rasakan, saat menonton siaran tv nasional yang melakukan siaran langsung pidato Prabowo dalam rangka menanggapi hasil awal penghitungan suara Pilpres 2019.

Kenapa saya katakan tragis, karena dalam pidatonya Prabowo menyatakan bahwa dirinya telah memenangkan pemilihan presiden, setelah menerima hasil penghitungan quick count dari kalangan sendiri, dalam hal ini tim pemenangan PBN Prabowo-Sandi,  yang meyatakan dirinya menang dengan perolehan suara lebih dari 60 persen. 

Rupanya Prabowo kembali terperangkap oleh apa yang dia dapatkan di Pilpres 2014 lalu, dimana saat itu dia begitu antusias dan begitu gembira, lalu tanpa berpikir panjang lagi melakukan sujud syukur, setelah menerima hasil quick count juga dari orang-orang yang berada di lingkungan Prabowo sendiri, bukan dari lembaga survey independen yang kredibiltasnya lebih bisa dipertanggung jawabkan.

Kini hal yang sama kembali dilakukan oleh Prabowo, melakukan sujud syukur. Padahal penghitungan suara masih berjalan dan belum tuntas. Dan seperti saya tulis di atas, laporan kemenangan ini juga hasil penghitungan team pemenangan Prabowo-Sandi. 

Seekor keledai takkan jatuh di lubang yang sama, demikian pepatah lama nenek moyang kita mengatakan. Sebagai calon presiden yang akan memimpin sebuah negara besar dengan penduduk lebih dari 250 juta, selayaknya Prabowo mempunyai kemampuan pengendalian diri yang lebih baik dibanding rakyat yang akan dipimpinnya. Namun karena ambisi yang begitu kuat mencengkeram dirinya, melebihi kuatnya akal sehat yang justru akan membawanya kepada situasi yang lebih baik, dia kembali terperosok. Dia hanya percaya kepada orang yang bisa menyanjungnya dan memberikan kabar yang hanya menguntungkan, walau berita yang diberikan hanyalah isapan jempol yang tidak bisa dipertanggung jawabkan.

Apa yang ditampilkan oleh Prabowo yang terlihat oleh kita saat ini, adalah buah didikan dan lingkungan masa lalunya. Lebih tepatnya saat karir militernya yang mencuat dengan cepat. Apalagi setelah dia berhasil memasuki lingkungan dalam penguasa orde baru, sebagai menantu Soeharto. Soeharto yang tak tak ingin tersentuh oleh apapun yang akan mengusik dirinya, keluarganya dan terlebih lagi kekuasannya, memanfaatkan dengan maksimal sang menantu.

Prabowopun memanfaatkan dengan baik privileges yang dia dapatkan dari sang mertua. Sehingga karirnyapun mencuat kencang bak meteor. Dikalangan militerpun Prabowo untouchable. Saat Feisal Tanjung jadi Panglima ABRI, walau berpangkat jenderal dengan bintang empat, Feisal berusaha menghindari berurusan dengan Prabowo, sang Komandan Jenderal Kopassus. 

Menikmati sebagai orang yang tak tersentuh saat di militer, menjadi bawaan Prabowo setelah menjadi orang sipil. Sehingga apapun yang dikatakan Prabowo, tak seorangpun yang berani membantahnya. Akibat buruk dari hal tersebut adalah, orang-orang di sekitar Prabowo juga tidak berani memberi masukan untuk setiap langkah dan kebijakan yang akan diambil prabowo, apalagi membantahnya. 

Lingkungan kehidupan politik pasti berbeda jauh dengan lingkungan kehidupan militer, karena senjatanya memang berbeda. Lingkungan militer senjatanya senjata api, sementara lingkungan politik senjatanya adalah lidah yang tak bertulang. Dalam militer disiplin adalah sesuatu yang tak bisa dibantah, dalam politik disiplin bisa dipelintir. Sehingga kita sering melihat pada saat sidang paripurna DPR ruang sidang sering lebih banyak yang kosong daripada berisi.

Pepatah Minang mengatakan, masuk kandang harimau mengaum, masuk kandang kambing membebek dan masuk kandang ayam berkotek. Pepatah ini menyiratkan, bahwa kemanapun kita pergi dan masuk ke dalam suatu lingkungan, kita harus bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan yang kita masuki. Kita akan dikucilkan bila memaksakan diri orang lain yang harus mengikuti kehendak atau kemauan kita, dan sebaliknya kita akan diterima dengan tangan terbuka bila kita menyesuaian diri.

Hal inilah yang tidak kita temukan pada seorang Prabowo. Latar belakang militer, kehidupan yang tak tersentuh, otoriter dan sebagaimana biasa seorang komandan, omongannya tak boleh dibantah. Kondisi psikologis seperti inilah yang dibawanya ke ranah politik yang penuh dengan tawar menawar, dan persoalan kepentingan, dimana ada sebuah adagium, tiada persahabatan abadi, yang ada hanyalah kepentingan abadi. Dunia yang penuh negosiasi, siapa mendapatkan apa .

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun