Mohon tunggu...
Dian Kelana
Dian Kelana Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pengelana kehilangan arah

www.diankelana.web.id | www.diankelanaphotography.com | www.diankelana.id

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Keponakanku Hilang!

23 Maret 2018   05:00 Diperbarui: 4 April 2018   06:52 362
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Keponakanku Hila

Seorang sepupu menelpon ke tempat saya kerja, dia mengatakan bahwa keponakan saya Epi, tidak ketemu, walau sudah dicari kemana-mana. Aku lalu pulang ke rumah keluarga kakak di Pasar Mudik. Setelah mendapatkan penjelasan dari kakak ipar saya lalu pergi ke stasiun Pulau Air yang tidak jauh dari rumah. Saya membeli karcis kereta api jurusan Pariaman.

Setelah kereta berjalan, saya lalu mencari di setiap gerbong dengan fokus pencarian pada anak-anak berusia sekitar 7 tahun dan kelas 2 Sekolah Dasar. Pencarian di semua gerbong itu tak membuahkan hasil. 

Sampai di stasiun Terandam saya melihat ke seputar stasiun, nihil. Kereta berjalan dan sampai di stasiun Padang, kembali saya menelusuri stasiun dengan mata saya dari atas kereta. Namun Epi tak juga kelihatan, hingga kereta akhirnya meneruskan perjalanan. Pada setiap stasiun atau stoplat (stasiun kecil) yang dilewati kereta yang menuju Pariaman itu, saya tetap melakukan pencarian, namun tetap tak mendapatkan hasil.

Sampai di Pariaman saya turun dari Kereta. Sementara kereta meneruskan perjalanan menuju Naras, tujuan terakhir kereta tersebut, saya berkeliling di sekitar stasiun.  Bertanya kepada petugas maupun pedagang di sekitar stasiun dengan menyebutkan ciri-ciri keponakan saya, Epi.

Kereta yang saya tumpangi tadi akhirnya tiba lagi di stasiun Pariaman, kembali dari Naras. Saya menaiki lagi kereta tersebut untuk kembali ke Padang. Di atas kereta saya bertanya-tanya dalam hati, kemana gerangan keponakan saya tersebut pergi.

Sampai di Padang, saya langsung ke rumah. Wajah-wajah yang lesu tanpa harapan menyambut kedatangan saya. Airmata kakak maupun kakak iparpun semakin menderas saat saya selesai menceritakan perjalanan ke Pariaman yang tanpa hasil.  Tak sanggup melihat semua itu, saya lalu keluar rumah, mencari pengganjal perut yang menagih minta diisi.

Malam berlalu diiringi isak tangis keluarga kakakku, khususnya kakakku. Sementara suaminya atau kakak ujarku, walau airmata juga tak bisa berhenti mengalir di mukanya, masih bisa menahan diri. 

Diskusi rencana esok hari sering terputus oleh isakan yang diiringi dengan ratapan penyesalan kenapa hal ini terjadi. Keinginan melapor ke polisi maju mundur, ini disebabkan bayangan berapa biaya yang harus dikeluarkan. Sementara dia hanyalah seorang tukang perabot sebagaimana umumnya penduduk yang berasal dari kampung kami.

Hari berganti, beberapa keluarga lainnya yang tinggal berdekatan sudah diberi tahu mengenai hal ini.  Rencana pencarian akan dilanjutkan.

Mendekati jam 10, seorang tetangga mengatakan melihat Epi sekilas bersembunyi di balik pintu masjid yang ada di seberang jalan tidak jauh dari rumah. Antara percaya dan tidak, kami berlarian ke masjid Pasar Mudik tersebut. Benar saja, Epi kami temui tengah bersembunyi di balik pintu masjid, ayahnya langsung memeluknya dengan tangis yang tidak lagi bisa ditahan sambil memangku Epi berjalan menuju rumah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun