Mohon tunggu...
Kacamata Diani
Kacamata Diani Mohon Tunggu... Lainnya - Social Media Specialist

Kalau pikiran lagi semrawut, menulis adalah obatnya. Setidaknya, menulis bisa mengurangi 50% beban pikiran yang terlalu lama dipendam.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Perempuan Jangan Sekolah Tinggi-tinggi?

21 Oktober 2020   15:57 Diperbarui: 31 Mei 2021   10:37 4332
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Perempuan jangan sekolah tinggi-tinggi? | Ilustrasi: Shutterstock via kompas.com

Stigma masyarakat Indonesia rata-rata menekankan kalau perempuan cukup pintar masak dan bersih-bersih rumah. Faktanya ada hal lain yang tak kalah penting dari itu, salah satunya knowledge.

Narasi "masak dan bersih-bersih adalah kewajiban perempuan" terbentuk dari budaya patriarki yang turun temurun di Indonesia.

Sedari dulu, perempuan selalu dikaitkan dengan dapur dan pekerjaan rumah, bahkan tak jarang lontaran negatif didapatkan oleh perempuan yang mengenyam pendidikan tinggi.

"Percuma perempuan sekolah tinggi-tinggi, ujungnya juga di dapur."

Saya tegaskan sekali lagi, tidak ada kata percuma. Mau berakhir menjadi wanita karier atau ibu rumah tangga, tidak ada pendidikan tinggi yang sia-sia bagi perempuan.

Baca juga: Perempuan dalam Pendidikan: Perempuan dan Ibunda, Dua Sosok dalam Satu Raga

Pendidikan tinggi bukan hanya sebagai "jembatan" menggapai gelar dan membangun karir, melainkan tempat kita menimba ilmu, menambah wawasan, membentuk pola pikir, yang pastinya sangat berguna bagi diri sendiri dan orang di sekeliling.

Di masa yang akan mendatang, selain sebagai seorang istri, saya tentunya (jika dikaruniai) ingin menjadi ibu, teman, sekaligus guru bagi anak-anak kelak. Bukan hanya tentang melayani, tapi juga mengajari.

Saya ingin menjadi perempuan pertama yang dapat menanamkan nilai-nilai teladan kepada anak. Saya ingin menjadi perempuan pertama yang bisa menjawab pertanyaan anak dengan cerdas dan bijak. Saya ingin menjadi perempuan pertama yang dapat menjadi tempat diskusi anak secara sehat. Saya ingin melahirkan anak yang teredukasi agar bisa berkembang.

Semua itu tidak akan berjalan semudah membalikkan telapak tangan jika tidak didasari dengan ilmu, dan menempuh pendidikan merupakan salah satu jalan mencapai ilmu tersebut.

"Perempuan jangan sekolah tinggi-tinggi, nanti laki-laki minder."

Seringkali saya mendengar ujaran bahwa perempuan yang berpendidikan tinggi akan susah dapat jodoh, karena laki-laki minder duluan.

Lontaran kalimat di atas lebih mengacu pada "perempuan yang bersekolah tinggi", seolah-olah sifat minder laki-laki adalah tanggungjawab perempuan itu sendiri. Padahal fenomena tersebut terjadi karena kurangnya kepercayaan diri serta konsep diri yang dimiliki laki-laki.

Baca juga: Pendidikan Perempuan Terbentang Luas, Bagai Permadani Tanpa Batas

Saya rasa, laki-laki dengan rasa percaya diri dan konsep diri yang baik tidak akan bermasalah apabila berpasangan dengan perempuan yang pendidikannya tinggi. Sebaliknya, ia justru akan mendukung.

Banyak kok laki-laki lulusan S1 menikah dengan perempuan lulusan S2 atau bahkan keduanya sama-sama bergelar doktor. Jika toleransi dan saling menghargai dipelihara dalam sebuah hubungan, maka gelar setinggi apapun tidak akan menjadi masalah.

Hanya saja, dalam beberapa kasus, tak jarang rasa ketidakpercayaan diri tersebut terbentuk dari stigma masyarakat sekitar yang berpandangan bahwa idealnya laki-laki berpasangan dengan perempuan yang pendidikannya lebih rendah.

Semakin pintar perempuan, maka semakin besar pula peluang untuk mendominasi laki-laki. Padahal, pintar bukan tentang mengepalai atau mendominasi. Namun, bagaimana ia pintar mengontrol emosi, pintar mengelola uang, pintar bertukar pikiran, pintar mendidik anak, dan masih banyak lagi.

Baca juga: Gaya Hidup, Lingkungan Sekitar, dan Pola Pikir Orangtua Jadi Faktor Penghambat Pendidikan Perempuan

Semua sisi buruk tersebut tergantung dari individunya masing-masing, bukan tingkat pendidikan atau kepintaran seseorang. Jika seseorang yang pintar dapat menghargai satu sama lain, maka tidak akan ada rasa mendominasi atau didominasi. Sejatinya, laki-laki tetaplah pemimpin.

Pendidikan bukanlah identitas suatu kaum, melainkan hak semua orang terlepas apapun gendernya. Hapus segera pandangan bahwa perempuan tidak butuh pendidikan, bahwasanya semua orang berhak mengembangkan diri dengan caranya masing-masing.

Perempuan tidak dilahirkan untuk menjadi budak yang hidup di bawah kendali patriarkis, mereka juga berhak menentukan jalan hidupnya sendiri tanpa mengikuti tuntutan society selagi tidak melanggar aturan yang berlaku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun