Mohon tunggu...
dian equanti
dian equanti Mohon Tunggu... Dosen - Pengajar Geografi

Menggemari isu Lingkungan, dan Kependudukan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Air Diam yang Menurunkan Kualitas Hidup Kita

18 Januari 2018   17:03 Diperbarui: 19 Januari 2018   15:43 2411
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: Kompas.com / Fitri Prawitasari

Bicara kesadaran ruang, bukan hanya domain geografi semata. Jika kita sadar bahwa setiap makhluk memiliki jiwa, kita akan merasa semua benda mengatur perilakunya menurut kondisi lingkungan. Setiap entitas di alam akan menyesuaikan diri dengan ruang yang mewadahi keberadaannya, sebagai proses aksi-reaksi. Penyesuaian diri setiap entitas, mengikuti keteraturan hukum alam, insting dan aktivitas kognisi yang melibatkan proses belajar. Manusia yang mendaku makhluk paling cerdas, dianugerahi kemampuan berbahasa yang lebih kompleks.

Ini memungkinkannya merangkai pemaknaan setiap peristiwa dan pengalaman untuk diwariskan dalam bentuk budaya dan peradaban. Bentuk budaya ini lahir dalam artefak peninggalannya. 

Kemampuan kognisi yang mendasari orientasi manusia, baik secara individu maupun kelompok, dalam memandang diri dan lingkungannya, dinamakan worldview. Worldviewmempengaruhi manusia secara individu maupun kolektif dalam merancang susunan properti dalam ruang hidup mereka dan menyematkan fungsi-fungsi properti dalam ruang itu bagi kehidupannya.

Dalam arsitektur hunian, di daerah pesisir masyarakat dahulu membangun rumah dengan tiang-tiang agak tinggi, sehingga lantai tidak langsung menapak ke tanah. Tujuannya agar air pasang tidak masuk ke dalam rumah. 

Selain itu ketinggian permukaan tanah yang rendah dibanding muka laut (Kota Pontianak sebagian besar wilayahnya memiliki ketinggian permukaan tanah 0 - 4 meter dari permukaan air laut) menyebabkan air mudah mengenang. Untungnya secara alami, aliran air mengukir permukaan bumi (yang) datar ini dengan sungai-sungai panjang dan lebar. Bahkan menjadi nama administrasi kelurahan (seperti Sungai Jawi) hingga kabupaten (Kapuas Hulu). 

Tanahnya yang sebagian besar tersusun dari remahan sisa-sisa tumbuhan hutan tropis yang terus terendam air, membentuk calon batu bara muda dikenal sebagai tanah gambut, membutuhkan pondasi yang kuat menghadapi kondisi asam. Tiang pondasi rumah, dahulu dibuat dari kayu belian. Ini adalah jenis kayu khas Kalimantan, yang tahan air, memiliki serat kayu rapat, berat, dan sangat keras.

Tanah gambut serupa spons alami, menampung air yang datang padanya, dan menyusut volumenya ketika kehilangan air. Tiang-tiang ini ditancapkan cukup dalam, agar tidak ambles akibat lahan yang labil.

Rumah-rumah dengan lantai tinggi masih banyak dijumpai di pesisir Kalimantan Barat. Dalam perkembangannya, lahan untuk permukiman terlebih dahulu dipadatkan (ditimbus, istilah lokal untuk menimbun lahan), sehingga penduduk dapat membangun rumah yang tinggi lantainya hampir sama dengan permukaan tanah. 

Insipirasi bentuk rumah seperti ini bisa jadi mengadopsi rumah-rumah di Pulau Jawa yang dibangun di atas lahan bermaterial tanah vulkanik, bertekstur pasiran dengan ciri ikatan butiran lepas. Tanah jenis ini memiliki drainase baik, sehingga air hujan mudah menelusup di antara rongga antar partikel tanah. Belum lagi di perkotaan, sisa-sisa rancangan drainase terpadu warisan Belanda biasanya masih diandalkan menjadi pengendali banjir dalam kota.

Adopsi desain hunian semestinya juga mempertimbangkan kondisi lokasi. Misalnya terkait perbedaan jenis tanah tadi. Tanah gambut cenderung jenuh air, sedangkan material penimbun biasanya diambil dari lahan-lahan perbukitan berjenis laterit. Tanah laterit atau dalam bahasa setempat disebut tanah merah (karena berwarna kuning merah), banyak dijumpai di Kalimantan Barat. Tanah ini terbentuk di wilayah dengan suhu tinggi (terasa panas di siang hari), lingkungan yang lembab, dan genangan-genangan air.

Curah hujan yang tinggi menyebabkan kandungan hara tanah rendah akibat terus tercuci. Ini menyebabkan laterit kurang cocok untuk budidaya tanaman pertanian, namun baik digunakan sebagai pondasi bangunan karena menyerap air, memiliki sifat yang padat dan kokoh sehingga dapat menopang bangunan di atasnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun