Mohon tunggu...
Diana F Singgih
Diana F Singgih Mohon Tunggu... baru belajar menulis

Pensiunan yang saat ini hobinya merajut dan traveling

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Ketika Anak Burung Meninggalkan Sarang

7 Februari 2025   10:57 Diperbarui: 7 Februari 2025   10:57 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Perempuan itu melepaskan pelukannya. Lengannya jatuh ke samping dan tanpa sadar jari-jarinya meremas bagian sisi gaunnya. Matanya mengikuti langkah anak lanangnya menggeret koper kabin memasuki pintu keberangkatan internasional. Di sana anak muda itu menengok, melambaikan tangan sambil tersenyum kecil, lalu berbalik dan menghilang di balik dinding.

Perempuan itu masih bertahan di tempatnya. Sudut-sudut bibirnya masih terangkat kaku membalas senyum anaknya. Senyum yang dipaksakan karena tak ingin anaknya melihatnya sedih. 

Kenapa muncul perasaan ini? Dia tak mengerti. Dia bukan perempuan baperan. Ini juga bukan pertama kali anak tunggalnya itu pergi dari rumah. Kuliah dia jalani di luar kota. Waktu kerja praktek dia juga pergi ke Sumatera. Lalu pernah juga ikut membantu dosennya penelitian 2 bulan di Kalimantan. 

Baca juga: Pertemuan

Tapi semua itu ada durasinya. Kuliah, kerja praktek, penelitian, hanya satu masa yang ada akhirnya. Sekarang? Dia diterima kerja di Jepang, permanent basis, dan jika anaknya betah, bisa saja dia akan selamanya di sana. Siapa yang tidak ingin kerja di luar negeri ketika situasi dalam negeri seperti ini? Boro-boro mendapatkan pekerjaan sesuai passion atau background pendidikan. Dipanggil interviu saja sulit bukan main kalau tidak punya kenalan orang dalam. Kerja di luar negeri, meski budayanya berbeda, makanannya berbeda, jauh dari keluarga, pastinya lebih menarik, apalagi anaknya bukan anak mami yang gampang homesick. Ketika kuliahpun dia jarang pulang kalau tidak diminta.

Kilasan kaleidoskop kehidupan anak lanangnya melintas di matanya. Dari bayi kecil yang gemuk dan lucu, menjadi bocah kecil yang tak banyak bicara. Dia tak suka mencoret-coret dinding tapi anteng di kamar membuka buku pop-up berbahasa Inggris yang ketika itu hanya gambarnya yang bisa dia nikmati. Sebelum masuk TK anak ini sudah lancar mengeja. Kalau diajak naik mobil dia akan berisik membaca iklan di papan dan bukannya menyanyikan lagu anak-anak. Pendidikan dasar dan menengah dilalui dengan nilai akademik yang cemerlang. Lalu masuk kuliah di universitas negeri bergengsi melalui jalur prestasi karena pernah memenangi kejuaraan sains tingkat nasional. Kuliahpun lancar dengan IPK yang membuat dia dan suaminya bangga dan bersyukur. Lalu sebelum sidang yang memberikannya nilai dengan pujian, dia sudah diterima di perusahaan internasional yang berlokasi di Jepang. 

Di antara waktu sidang sampai hari wisuda sarjana, anaknya sibuk mempersiapkan kepindahannya ke Jepang. Mengurus visa kerja, mencari tempat tinggal temporer, dsb. 

Baca juga: Pesawat Terakhir

Minggu lalu wisuda sudah dilaksanakan, dan tibalah hari ini, hari keberangkatannya ke Tokyo.

Mungkin ini juga perasaan ibuku dulu, pikir perempuan itu ketika sudah sampai di rumahnya. Atau mungkin juga tidak, karena dia bukan anak tunggal. Masih ada 1 kakak dan 2 adiknya yang tinggal di rumah ketika dia pergi keluar pulau untuk kuliah dan kemudian bekerja dan berumah tangga. Rumah tidak sepi karena masih banyak orang yang bisa diajak berbincang. Itu yang ada dalam pikirannya ketika itu. Ibu tidak akan kesepian saat aku tinggal pergi.

Tapi dia juga ingat ibunya pernah berkata, berapapun jumlah anakmu, pada suatu saat rumahmu akan kembali sepi. Anak-anak akan berumah tangga dan keluar dari rumah. Dan itu normal. Semua orang tua harus siap kehilangan anaknya. Kehilangan dalam arti anaknya menjadi dewasa dan hidup mandiri, tidak lagi sebagai anak kecil yang bergantung pada orang tuanya. Tugas orang tua salah satunya adalah let the children go, dan bukannya terus menerus melindungi mereka di dalam sayapnya seperti induk burung melindungi anak burung ketika mereka kecil. Memang tidak mudah karena naluri orang tua adalah melindungi anak-anaknya. Berapapun usia anaknya, mereka masih tetap anak di mata orang tua. Saat anak sakit, semua orang tua akan berpikiran seandainya sakitnya bisa dialihkan ke diri mereka. 

Orang tua yang baik adalah mereka yang bisa mendidik anak-anak menjadi dewasa dan bertanggung jawab. Karena orang tua tidak bisa mendampingi anak selamanya. Tidak ada orang tua yang ingin melihat anaknya kecewa atau gagal. Tapi orang tua yang bijak akan mengajari anaknya bagaimana menghadapi kegagalan, tidak menyalahkan orang lain, dan untuk bangkit lagi.  

Perempuan itu menghembuskan nafas dan menengadahkan jarinya. Lindungilah anakku di manapun dia berada, ya Allah. Tuntunlah dia pada jalan yang Engkau ridhoi. Hanya Engkau sebaik-baik pelindung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun