Mohon tunggu...
Diana PutriArini
Diana PutriArini Mohon Tunggu... Psikolog - Diana Putri Arini

Penyuka filsafat hidup, berusaha mencari makna hidup agar dapat menjalani hidup penuh kebermaknaan

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Tren Diagnosis Mandiri Gangguan Kejiwaan

3 Agustus 2021   19:26 Diperbarui: 3 Agustus 2021   22:23 357
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Sebenarnya aku dari dulu pengen bahas ini dan gatel banget untuk membahas mengenai tren netizen mencatut diagnosis gangguan mental di media sosialnya. Aku rada meragukan apakah diagnosis itu berdasarkan memang hasil asesmen ahli ataukah diagnosis mandiri berdasarkan literasi dibacanya di media sosialnya? 

Sekitar tahun 2019 muncullah film fenomenal mengenai Joker, sejak itu isu kesehatan mental mulai merebak. Para publik figur mulai berbicara mereka adalah survivor gangguan mental, sebutlah Awkarin yang menceritakan perjalanannya melawan depresi atau Ariel Tatum dengan kondisi bipolarnya. Sebagai praktisi kesehatan mental tentu aku senang dengan kehadiran publik figur yang membuka wawasan kepada masyarakat luas bahwa gangguan mental bukan suatu hal yang harus ditutupi. Sekitar awal tahun 2020, timku pernah membuat seminar mengenai stigma gangguan mental dengan menggandeng survivor gangguan kesehatan mental. Tentu disana saya juga hadir ikut mengedukasi. Salah satu narsum menjelaskan bagaimana dia bisa mengetahui mengalami gangguan kesehatan mental, bagaimana kesehariannya terganggu dan upayanya berjuang mengatasi gangguannya. Ia juga menguatkan peserta untuk tidak takut mengakses layanan psikologi, dia juga menjelaskan cara mengakses layanan psikologi menggunakan klaim asuransi pemerintah. 

Acaranya sukses! Bahkan ketua Ikatan Psikolog Klinis (IPK) wilayah Sumsel mengapresiasi kegiatan ini sebagai langkah untuk mengedukasi masyarakat. Tidak sedikit peserta antusias bertanya menceritakan kondisinya atau orang terdekatnya, ya sejenis konseling dibalut pertanyaan dalam seminar. 

Center Public Mental Health (2020) melaporkan literasi kesehatan mental masyarakat Indonesia rendah sehingga mereka tidak mengetahui jenis gangguan mental, upaya pertolongan dan cara mengakses layanan kesehatan mental. Rendahnya literasi mental ditambah kemajuan teknologi menjadi dua kombinasi berbahaya. Dalam dunia maya banyak bertebaran orang-orang mengaku 'ahli' dalam kesehatan mental padahal keilmuannya diragukan, mereka berbicara mengenai gangguan kesehatan mental membuat masyarakat yang literasi kesmennya rendah percaya. Medical School dari Universitas Texas menyatakan inilah tantangan mengedukasi masyarakat yang banyak melakukan diagnosis mandiri karena pengaruh medsos. (bisa dibaca di https://med.uth.edu/psychiatry/2021/03/26/a-challenge-with-social-media-self-diagnosing-mental-health/) 

David Giles dan Julie Newbold (2010) dalam jurnal Self- and Other-Diagnosis in User-Led Mental Health Online Communities menjelaskan bagaimana fungsi diagnosis diri pada identitas pribadi dan tren kuis online untuk mendiagnosis gangguan mental diri sendiri. Penggunaan diagnosis gangguan mental sebagai identitas pribadi di media sosial menjadi perhatian para praktisi klinis dari dulu. Sekedar berbagi pengalaman, sewaktu masih praktik saya tidak menemukan satu atau dua pasien  yang mengaku mengalami depresi karena menonton video pengakuan artis kesukaannya yang memproklamasi mengalami gangguan mental. Bahkan lebih gila lagi, saya punya pasien yang sudah membaca pedoman penggolongan gangguan jiwa dan mengaku mengalami beberapa simtom yang ditulis tersebut. 

Saya pernah mengikuti forum penanganan gangguan bipolar, pesertanya banyak survivor bipolar dan menceritakan berbagai pengalamannya. Saya ingat narsumnya menyarankan untuk tidak mengunggah kondisi mereka di media sosial karena akan menimbulkan kesalah pahaman masyarakat. Ketika mereka mengunggah suatu kondisi akan ada reaksi yang tidak diharapkan menimbulkan kondisinya semakin memburuk. Atau bisa jadi ditiru oleh survivor lainnya.

Lalu sebenarnya boleh gak sih unggah ke media sosial mengenai kondisi gangguan jiwa? 

Sebagai praktisi saya melihat berdasarkan tujuan, apa tujuannya? Jika untuk memberikan psikoedukasi kepada masyarakat seharusnya kamu sudah dalam tahapan 'sembuh' dan punya pemahaman baik mengenai kondisimu. Ada kondisi lain yang saya takutkan yaitu menarik simpati publik. Saya juga prihatin dengan beberapa tren kaos tentang kondisi kesehatan mental seperti kaos bertulis "mental health matters" "anxiety Queen", I'm Bipolar : You've been warned.

apa tujuan pembuatan kaos ini? 

Apakah ingin menyadarkan publik ataukah sebagai tren agar orang-orang bisa memaklumi kesalahanmu sehingga kamu bisa menghindari kesalahan atau tanggung jawab dengan alasan tersebut?  Jika memang merasa mengalami permasalahan yang menyebabkan hambatan dalam kehidupan sosial, diri sendiri atau aktivitas pribadi, maka segeralah mencari pertolongan. Anda bisa mencari bantuan melalui platform yang memberikan layanan psikologis. Meminta permakluman agar orang-orang memahami kamu bermasalah bukan tindakan orang dewasa, kamu harus bertanggung jawab atas tindakanmu. 

Pernah ada klien saya yang mengusulkan untuk membuat platform untuk orang-orang yang mengalami gangguan kesehatan mental ataupun mereka yang mengalami luka di masa lalu. Saya bertanya adakah pendamping disana? Minimal konselor. Dia menjawab tidak karena grup mereka tertutup hanya untuk sesama mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun